Senin, 28 Juni 2010

Budaya Organisasi

KONSEPSI BUDAYA ORGANISASI

Ahmad Assastra



Berbagai literatur bidang manajemen dan teori organisasi yang ada, disana telah banyak dibahas mengenai arti budaya organisasi. Walaupun dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tidak ada yang persis sama, namun pada intinya mengandung komponen-komponen yang dominan dan serupa. Budaya organisasi yang dalam bahasa inggrisnya disebut organizational culture. Menurut Soejono dalam Sinaulan istilah culture yang berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan, hal ini merujuk pada pengolahan tanah atau bertani. Dari kata colore ini berkembang menjadi culture yang berarti segala daya dan kekuatan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
Adapun kata kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Sinaulan secara bahasa berasal dari dari bahasa Sansekerta : budhayah, yakni bentuk jamak dari budhi yang berarti akal. Dengan demikian budaya dapat dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan akal. Sedangkan kata budaya menurut Munandar dalam Sinaulan merupakan perkembangan, majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi sehingga dibedakan antara budaya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Dalam teori pengembangan organisasi aspek budaya menjadi pembahasan yang sangat penting. Sebab faktanya budaya sangat berperan dan berpengaruh sangat kuat dalam pencapaian visi sebuah organisasi. Tanpa dukungan budaya yang baik, maka dapat dipastikan sebuah organisasi tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan baik. Demikian pula dalam pencapaian visi organisasi. Hal ini dikarenakan budaya sangat erat hubungannya dengan perilaku manusia. Dalam arti jika perilaku anggota organisasi positif, maka dengan sendirinya akan menjadi sebuah energi positif yang berdampak baik dalam menjalankan organisasi. Hal ini senada dengan pengertian umum budaya menurut Sriwahyu Krisdayati . Menurutnya budaya adalah pola sikap perilaku konsisten, dalam konteks organisasi, budaya diartikan sebagai pola sikap perilaku konsisten tertentu dari seluruh anggota organisasi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert dalam Sinaulan (1995 : 181) merumuskan budaya sebagai “ the complex mixture of assumption, behaviors, stories, myths, metaphors, and other ideas that fit together to difine what is means to be a member of a particular society”. (Budaya sebagai perpaduan yang komplek antara asumsi-asumsi, perilaku, sejarah, mistis, perumpamaan, dan ide-ide lain untuk diusung bersama dan disepakati pengertiannya sebagai bagian dari kelompok). Pengertian budaya sebagai sebuah hasil sebagaimana dikemukakan oleh Hassan dalam Sinaulan yang mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat, berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain kepandaian.
Sedangkan Engkoswara dalam Sinaulan mengutamakan pengertian budaya sebagai sistem nilai dengan mengatakan bahwa budaya adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku dalam kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku.
Dengan demikian makna budaya tidak bisa dipisahkan dengan perilaku. Perilaku dengan bahasa lain adalah sebagai gaya hidup (lifestyle). Budaya sebagai sebuah gaya hidup dikemukakan oleh Franzoi (1996 : 15) yang mengatakan bahwa “ culture is the total lifestyle of people from a particular social grouping, including all the ideas, symbols, preferences, and material objects that they share”. (Budaya adalah totalitas gaya hidup seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok, terkandung didalamnya ide-ide, simbol-simbol, preferensi, dalam bentuk sharing tujuan). Dalam konteks organisasi gaya kepemimpinan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Karenanya style memimpin sangat menentukan kualitas dan kemajuan sebuah organisasi.
Dengan demikian budaya memiliki makna yang sangat luas dan bersifat abstraks maupun non abstrak. Luasnya makna budaya dikemukakan oleh Edward Burnett dan Vijae Santhe dalam Talizidudu Ndraha yang mengatakan bahwa budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat atau menurut bahasa Santhe sebagai seperangkat asumsi yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Budaya sebagai sebuah instrumen solusi atas permasalahan-permasalahan masyarakat dikemukakan oleh Edgar H Schein dalam Pabundu yang mengatakan bahwa budaya adalah pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan atau diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
Merujuk berbagai definisi tentang budaya yang telah dikemukakan diatas bisa diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa budaya merupakan kumpulan nilai oleh anggota masyarakat tertentu untuk dijadikan sebagai tolok ukur perilaku dalam berbagai bidang kehidupan baik yang berupa nilai abstraks maupun yang bisa dilihat dan diraba berupa karya-karya. Ada banyak ragam yang mengiringi teori budaya dari berbagai sudut pandang para pakar budaya. Misalnya teori tentang tingkat budaya, sifat budaya, jenis budaya, level budaya dan karakteristik budaya.
Terkait dengan tingkat budaya jika menggunakan metodologi Hofstede dalam Ndraha dapat diidentifikasi tiga atau lima tingkat budaya : universal, kolektif (kelompok), dan individual (pribadi), atau universal, regional, nasional, lokal, dan pribadi. Schein dalam Ndraha juga menidentifikasi budaya menjadi tiga tingkatan. Ketiganya berkisar antara yang konkret dan yang abstrak. Pertama, artifacts, yaitu struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan. Kedua, espoused values, yaitu tujuan, strategi, filsafat dan ketiga, basic underlaying assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan dan sebagaimana yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Jika dihubungkan dengan nilai dan lembaga dimana nilai itu tertanam, tingkat budaya menurut Ndraha dapat diidentifikasi menurut kejelasan (clarity) nilai, kuantitas dan kualitas sharing (keberbagian) suatu nilai dalam masyarakat, sedalam mana suatu nilai tertanam (dibudayakan) di dalam diri seseorang dan sejauh mana proses budaya berjalan sebagai learning procces. Semakin banyak anggota masyarakat yang menganut, memiliki dan mentaati suatu nilai, semakin tinggi tingkat budaya. Dilihat dari sudut ini , ada budaya global, budaya regional, budaya bangsa, budaya daerah, budaya kelompok, dan budaya setempat.
Terkait dengan sifat budaya, Ndraha dalam buku Teori Budaya Organisasi mengatakan bahwa setiap orang atau kelompok memiliki budaya yang berbeda-beda dan bersifat khas. Budaya an sich itu menurutnya tidak dapat dikatakan sebagai baik atau buruk (beyond moral judgment). Kesan sifat budaya baik dan buruk bahkan konflik timbul tatkala seseorang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain yang budayanya beda dengan menggunakan budayanya sendiri (encorder) tanpa memperhatikan dan menyesuaikan dirinya dengan budaya orang lain itu (decorder). Pendapat ini tidaklah bersifat permanen. Bahkan penulis sendiri tidak sependapat dengan analisa Ndraha. Bagi penulis makna budaya an sich itu tidaklah bebas nilai. Dirinya tetap memuat nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Karenanya budaya itu tidak bebas nilai atau tidak netral.
Fenomena ini dapat dikonseptualisasi menjadi Ketidaknetralan budaya. Budaya itu bersifat tidak bebas nilai dalam arti tidak normatif : ada budaya yang tinggi ada budaya yang rendah, ada budaya yang benar dan ada budaya yang salah. Ada budaya yang miskin tetapi ada budaya kemiskinan. Ada budaya yang baik dan ada budaya yang buruk. Hal ini diakibatkan karena budaya adalah pengejawantahan sebuah nilai yang diyakini oleh sebuah komunitas. Budaya akan terasa lebih baik dan buruk jika ada proses interaksi dua jenis budaya tanpa mau memahami antar kedua budaya tersebut. Sebagai contoh kata “besuk” akan menjadi berbeda jika dilihat dari pemahaman budaya orang jawa dengan pemahaman budaya orang melayu.
Terkait dengan jenis-jenis budaya (organisasi) menurut Robert E Quinn dan Michael R McGrath dalam Pabundu dapat ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya. Berdasarkan proses informasi budaya dapat dibedakan menjadi budaya rasional, budaya ideologis, budaya konsensus dan budaya hirarkis. Sedangkan berdasarkan tujuannya jenis budaya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu budaya organisasi perusahaan, budaya organisasi publik dan budaya organisasi sosial.
Schein dalam Pabundu membagi level budaya organisasi menjadi tiga yaitu pertama, artifak dan kreasi yakni mencakup semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan. Kedua, nilai-nilai, yakni solusi yang muncul dari seorang pemimpin dalam organisasi dengan maksud memecahkan masalah-masalah rutin dalam organisasi tersebut. Ketiga, asumsi dasar, yang merupakan bagian budaya organisasi yang paling utama. Asumsi dasar menjadi jaminan (taken for granted) bahwa seseorang menemukan variasi kecil dalam unit budaya. Dalam asumsi dasar terdapat petunjuk-petunjuk yang harus dipatuhi anggota organisasi menyangkut perilaku nyata, termasuk menjelaskan kepada anggota kelompok bagaimana merasakan dan memikirkan segala sesuatu.
Hatch yang dikutip Pebundu dari buku Organization Theory : Model Symbolic and Post Modern Perspective, memodifikasi level budaya menurut Schein dengan menempatkan simbol disamping artifak, nilai, dan asumsi. Simbol diartikan oleh Hatch sebagai anything that represents a conscious or unconscious association with some wider concept or meaning. Weinberg menambahkan dan memodifikasi level budaya organisasi Schein dengan menambahkan perspektif disamping artifak, nilai dan asumsi. Perspektif dalam arti norma sosial dan peraturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana para anggota organisasi harus berperilaku dalam situasi-situasi khusus.
Adapun budaya dilihat dari sisi karakteristiknya menurut Luthan dalam Purwanto dapat diidentifikasi menjadi 6 karakteristik. Pertama, kebiasaan sikap perilaku yang dapat diamati ketika para anggota organisasi berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi mereka akan menggunakan bahasa, tehnologi dan ritual, yang sama. Kedua, norma-norma, yaitu standar-standar sikap perilaku yang ditetapkan bersama dalam organisasi atau masyarakat. Ketiga, nilai-nilai dominan, yaitu nilai-nilai umum yang sengaja didorong dan menjadi harapan oleh semua anggota organisasi untuk dapat diterapkan. Keempat, filosofi, yakni kebijakan-kebijakan fundamental yang sengaja diciptakan sebagai landasan moral kerja dan kredo atau motto organisasi. Kelima, aturan-aturan main, yakni berbagai aturan yang bisa menjadikan kesadaran untuk menyesuaikan diri dalam menjalankan organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Dan keenam, iklim organisasi, yakni meliputi keadaan atau kondisi psikologis yang terfokuskan melalui hubungan interaksi antar anggota organisasi secara internal maupun eksternal dengan pihak luar organisasi.
Charles Hampden dan Turner dalam Kasali menggunakan istilah korporat dalam melakukan identifikasi karaktristik budaya. Diantara karaktristik budaya korporat adalah sebagai berikut. Pertama, budaya korporat dibentuk oleh keyakinan individu-individu korporat. Kedua, budaya korporat mencerminkan aspirasi anggota-anggotanya. Ketiga, budaya korporat memiliki sosiodinamika. Keempat, budaya korporat memiliki konskuensi. Kelima, budaya korporat sulit dipahami. Keenam, budaya korporat membentuk indentitas, memperkuat image, positioning, dan pencapaian tujuan. Ketujuh, budaya menuntut keseimbangan antara nilai-nilai. Kedelapan budaya korporat ‘belajar’. Kesembilan, budaya adalah pola. Kesepuluh, budaya membentuk hubungan sinergi. Kesebelas, budaya terdiri atas subkultur.
Menurut Robbins dalam Perilaku Organisasi karakteristik budaya dalam tingkat organisasi ada tujuh karakteristik utama. Pertama, inovasi dan pengambilan resiko (Innovation and risk taking). Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko. Kedua, perhatian terhadap detail (attention to detail). Sejauh mana para karyawan diharapkan memperhatikan presis (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail. Ketiga, orientasi hasil (outcome orientation). Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Keempat, orientasi manusia (people orientation). Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di organisasi tersebut. Kelima, orientasi tim (team orientation). Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukan berdasarkan individu. Keenam, keagresifan (agressiveness). Sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. Ketujuh, kemantapan (stability). Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
Adapun tentang organisasi banyak para pakar menawarkan berbagai definisi yang melihat dari berbagai sudut pandang. Organisasi secara bahasa berasal dari kata organ yang artinya bagian tubuh dan mendapatkan akhiran asing isasi yang artinya sistem atau proses.
Dalam mengawali tulisan dalam buku Manajemen edisi II T Hani Handoko mengungkapkan bahwa setiap manusia dalam perjalanan hidupnya selalu akan menjadi anggota dari beberapa macam organisasi, seperti organisasi sekolah, perkumpulan olah raga, kelompok musik, militer maupun organisasi perusahaan. Semua jenis organisasi ini memiliki persamaan dasar, walupun dapat berbeda satu dengan yang lain dalam beberapa hal. Sebagai contoh organisasi perusahaan atau departemen pemerintah dikelola secara lebih formal dibanding kelompok olah raga atau rukun tetangga. Kesamaan mendasar antarorganisasi itu terletak pada fungsi-fungsi manajerial yang dijalankan.
Ungkapan Handoko menunjukkan bahwa betapa pentingnya kedudukan organisasi bagi kehidupan manusia. Tidak mungkin manusia bisa dilepaskan dari kecenderungan untuk berorganisasi. Kecenderungan untuk berorganisasi dilandasi oleh paradigma manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya menurut Stephen P Robbins (2003) dalam bukunya Perilaku Organisasi edisi kesepuluh bahwa kajian organisasi tidak bisa dilepaskan dari ilmu sosiologi yang notabene mempelajari tentang kecenderungan sosial pada setiap individu manusia. Kecenderungan sosial ini direfleksikan dengan membentuk organisasi yang berisi hubungan atau interaksi antar individu untuk meraih tujuan bersama.
Meminjam istilah Warren Bannis sebagaimana telah diungkapkan diawal pendahuluan bahwa kedudukan sebuah organisasi tidak bisa dipandang kecil, karena dengan adanya organisasi orang akan dapat mencapai tujuan bersama sebuah komunitas. Hal ini senada apa yang diungkapkan Prof. Soelaiman Sukmalana, bahwa organisasi didirikan karena satu alasan utama yakni karena organisasi dapat mencapai berbagai hal yang tidak dapat dicapai secara perseorangan
Sedangkan menurut istilah banyak sekali yang mendefinisikan tentang organisasi. Dalam En Carta Dictionary, organisasi dimaknai dengan empat hal yang sekaligus manjadi ciri dari organisasi diantaranya adalah : 1). Group of people indentified by shared interest or purpose. 2) Coordinating of separate elements into a unit of structure. 3). The relationship that exixst between separate element arranged into a coherent whole. 4). Effeciency in the way separate element are arranged into a coherent whole. Dari beberapa ciri diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah sekumpulan manusia yang terikat satu dengan yang lain dalam sebuah struktur untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya sesuatu itu bisa disebut terorganisir dalam En Carta Divtionary adalah ketika existing in a large scale and involving the systematic coordination of many different element and working in a systematic ang affecient way. Dengan kata lain sesuatu itu disebut terorganisir jika terjadi sebuah interaksi dan kinerja yang terkordinasi secara sistemik dari semua elemen yang ada dalam organisai tersebut.
Pada prinsipnya dalam sebuah organisasi adalah sebuah perserikatan. Perserikatan menghajadkan sebuah ikatan. Dengan ikatan-ikatan inilah kemudian orang-orang dalam organisasi itu bekerja untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal senada dikemukakan oleh Malayu SP Hasibuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia. Secara lengkap Malayu SP Hasibuan mendefiniskan organisasi sebagai suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Perserikatan formal dalam organisasi diwujudkan dengan adanya struktur. Struktur apapun bentuknya menjadi sangat penting akan keberlangsungan organisasi. Sebab dalam sebuah organisasi akan terdapat apa yang disebut dengan kewenangan dan tanggungjawab yang bersifat hirarkis.
Struktur organisasi yang hirarkis ini akan membentuk sebuah sistem kerja yang sinergis. Struktur dalam sebuah organisasi (organization structure) akan memberikan manfaat diantaranya adalah sebagai berikut : 1). Pembagian kerja artinya setiap kotak akan mewakili tanggungjawab seseorang atau subunit untuk bagian tertentu dari beban kerja organisasi. 2). Informasi atasan dan bawahan artinya bagan organisasi akan menunjukkan garis komando atau siapa atasan dan siapa bawahan. 3). Jenis pekerjaan yang dilaksanakan artinya uraian kotak-kotak menunjukkan tugas-tugas kerja organisasi atau bidang-bidang tanggungjawab yang berbeda. 4) Pengelompokan bagian-bagian kerja artinya keseluruhan bagan menunjukkan dasar pembagian aktivitas organisasi (atau dasar wilayah, produksi, interprice function, dan lain sebagainya). 5). Tingkat manajer artinya sebuah bagan tidak hanya menunjukkan manajer dan bawahan secara perseorangan, tetapi juga hirarki manajemen secara keseluruhan. 6). Pimpinan organisasi artinya bagan organisasi menunjukkan sistem kepemimpinan organisasi, apa pimpinan tunggal atau pimpinan kolektif.
Prof. DR. Soelaiman Sukmalana, MM memberikan gambarkan bahwa struktur dalam organisasi akan sangat menentukan hubungan resmi dalam sebuah organisasi. Artinya berbagai pekerjaan yang berbeda diperlukan untuk melakukan semua aktifitas organisasi. Ada manajer dan pegawai bukan manajer, akuntan dan perakit. Orang-orang ini harus dihubungkan dengan cara tertentu yang terstruktur agar pekerjaan mereka efektif. Semua hubungan ini menimbulkan berbagai masalah kerja sama, perundingan dan pengambilan keputusan rumit.
Berbagai hubungan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa organisai adalah bagian dari sebuah sistem sosial dan refleksi dari kepentingan bersama. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Soelaiman (2006) bahwa hakekat organisai adalah sebagai sistem sosial dan kepentingan bersama. Dalam konteks ilmu kemasyarakatan organisasi berarti sistem sosial. Definisi ini senada dengan apa yang diungkapkan Robbins dalam Purwanto, dkk (2000) dengan mengatakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja secara terus-menerus untuk mencapai suatu atau sekelompok tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian definisi organisasi Robbins setidaknya mengandung empat hal penting yaitu adanya kesatuan sosial, batasan yang bisa diidentifikasi, keterikatan dan adanya tujuan yang jelas.
Dalam membahas budaya organisasi Robbins (2003) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi dari organisasi-organisasi lain. Pelembagaan budaya diartikan oleh Robbins yaitu ketika organisasi memiliki kehidupan sendiri, terlepas dari para pendirinya atau anggotanya, dan mendapatkan ketenaran dan terlepas dari orang-orang tersebut. Budaya dominan dimaknai sebagai ungkapan nilai-nilai yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi tersebut. Sub budaya dalam sebuah organisasi diberikan arti sebagai budaya kecil didalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis. Sedangkan nilai inti dimaknai Robbins dengan istilah nilai pokok atau dominan yang diterima oleh seluruh orang yang berada didalam organisasi itu.
JR. Schemerhorn dalam Pabundu (2005) mendefinisikan organisasi sebagai kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. (organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose). Carles J Bernand mendefinisikan organisasi sebagai kerjasama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Sedangkan Philip Selznick mendefinisikan organisasi sebagai pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggungjawab.
Organisasi dapat diamati sebagai gejala sosial dari level makro dan bisa juga dilihat sebagai gejala administrasi dari sudut mikro. Menurut Stephen P Robbins dalam Ndraha (2005) mendefinisikan organisasi sebagai a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals. (Kerjasama yang dengan sengaja dilakukan sebuah entitas sosial, dengan pembatasan tertentu yang bersifat relatif, yang secara relatif pula dimaksudkan untuk meraih sebuah tujuan bersama). Definisi ini mirip dengan definisi organisasi yang dikemukakan Warren B Brown dan Dennis J Moberg dengan mengatakan bahwa organisasi adalah relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior. Chester I Bernand mendefinisikan organisasi dengan cooperation of two or more persons, a system of consciously coordinated personal activities or forces. (kerjasa antara dua atau lebih orang yang dengan sengaja membentuk sebuah sistem hubungan dalam melakukan aktifitas tertentu).
Hakekat organisasi sebagai sistem sosial menurut Soelaiman memiliki arti bahwa hubungan antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam organisasi menciptakan pengharapan-pengharapan bagi perilaku individu-individu. Dari pengharapan inilah timbul adanya peran-peran tertentu. Beberapa orang memainkan peran pemimpin dan beberapa orang memainkan peran pengikut. Manajer menengah memainkan kedua peran itu dimana kelompok-kelompok dalam organisasi juga mempunyai dampak kuat pada perilaku individu dan kinerja organisasi.
Adapun hakekat organisasi sebagai refleksi kepentingan bersama memiliki arti bahwa organisasi memerlukan orang-orang dan orang-orang memerlukan organisasi. Organisasi memilki tujuan manusia. Organisasi dibentuk dan dipertahankan atas dasar kebersamaan kepentingan dikalangan anggotanya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa sebuah organisasi berdiri untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan tujuannya organisasi menurut Hasibuan terbagi menjadi dua yaitu organisasi perusahaan (business organization) dan organisasi sosial (public organization). Organisasi perusahaan atau yang sering disebut dengan istilah corporate bertujuan untuk meraih profit atau keuntungan. Tidak ada perusahaan yang tidak ingin untung. Begitulah, sebab profit menjadi fokus tujuan didirikannya sebuah perusahaan. Sedangkan organisasi sosial bertujuan untuk pelayanan dengan prinsip kegiatannya adalah pengabdian sosial, seperti organisasi kenegaraan dan atau organisasi kependidikan.
Jika demikian maka budaya dan organisasi jika disatukan menjadi istilah baru yakni budaya organisasi (organizational culture). Banyak definisi yang terkait dengan istilah budaya organisasi ini. Piti Sithi Amnuai dalam Ndraha (2005) mendefinisikan budaya organisasi dengan a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adabtation and internal integration. (seperangkat asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh para anggota organisasi, yang kemudian dikembangkan dan diwariskan untuk mengatasi segala masalah baik yang terkait dengan adaptasi eksternal maupun integrasi iternal).
Definisi budaya organisasi yang bersifat operasional disajikan oleh Edgar H Schein dalam Ndraha dengan mengatakan bahwa the culture of a group can now be defined as a patern of shared basic assumption that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correc way to perceive, think, and feel in relation to those problems. (Budaya kelompok atau organisasi bisa didefinisikan sebagai sharing asumsi-asumsi dasar yang dipalajari oleh sekelompok orang untuk mengatasi berbagai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang dilakukan sebaik mungkin agar bisa terukur dan agar bisa dipahami oleh anggota baru sebagai sesuatu yang dianggap benar untuk dipikirkan, dan dirasakan dalam hubungan dengan permasalahan-permasalahan yang ada).
Peter F Druicker dalam Ndraha mendefinisikan budaya organisasi sebagai the body of solutions to external and internal problems that has worker consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about and feel in relations to those problem. (Seperangkat solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah internal maupun eksternal yang pelaksanaanya dilakukan secara konsisten oleh suatu sekelompok orang yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru organisasi tersebut sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah yang terkait diatas ).
Soelaiman Sukmalana mendifinisikan budaya organisasi sebagai hasil interaksi fungsi-fungsi manajemen, perilaku, struktur, serta proses organisasi dan budaya lingkungan yang lebih luas tempat organisasi itu berada, yang mempengaruhi perilaku individu-individu atau kelompok-kelompok.
Dalam sebuah organisasi biasanya mempunyai prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Prinsip-prinsip organisasi itu bisa berupa nilai-nilai, konsensus, budaya, sikap, persepsi, komunikasi, dan kepemimpinan. Bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini sangat bergantung pada kebutuhan organisasi yang bersangkutan berdasarkan kesepakatan para anggotanya.
Penamaan prinsip dalam buku ini karena mengacu pada konsepsi baku. Namun pada kenyataannya di lapangan prinsip-prinsip sebuah organisasi bisa dinamakan apa saya sesuai kesepakatan para anggota organisasi itu. Apapun namanya pada substansinya adalah apa yang disebut dengan istilah prinsip-prinsip atau asas-asas organisasi.
Banyak para pakar manajemen yang berbeda pandangan terkait dengan prinsip-prinsip organisasi ini. Keragaman pandangan para pakar manajemen itu bermuara pada satu hal penting bahwa apapun bentuk organisasi harus memiliki prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota untuk menjaga eksistensi, kinerja dan ketercapaian visi organisasi. Apapun prinsip-prinsipnya.
Pada kenyataanya penjagaan terhadap prinsip-prinsip yang disepakati akan sangat berpengaruh pada keberlangsungan organisasi itu. Meminjam bahasa Arie de Geus (1997) keberlangsungan organisasi dengan istilah organisasi yang berumur panjang. Berdasarkan penelitian Arie de Geus ditemukan empat karakteristik organisasi atau perusahaan yang berumur panjang, diantaranya adalah : Pertama, Sensitif terhadap lingkungan : yang dipresentasikan pada kemampuan perusahaan untuk belajar dan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan arah perubahan lingkungan bisnis. Kedua, Memiliki identitas / jati diri yang kuat : yaitu kemampuan perusahaan untuk membangun integritas atau jati diri, yang melekat dan tergambar pada sikap dan perilaku para anggota komunitasnya sehari-hari, sehingga tumbuh sense of belonging yang tinggi terhadap perusahaan. Ketiga, Memiliki sikap toleran terhadap perbedaan dan mampu melaksanakan proses desentralisasi kewenangan berdasarkan rasa saling percaya : yaitu memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan berbagai entitas yang berbeda, baik diantara anggota organisasi maupun dengan institusi di luar perusahaan. Keempat, Melaksanakan manajemen investasi yang rasional : yaitu melaksanakan kebijakan penggunaan uang (khususnya investasi yang berasal dari hutang) dengan hati-hati dan didasarkan pada rasionalitas, bukan spekulasi. Kalaupun terpaksa mereka melakukan pinjaman untuk investasi, mereka sudah menganalisis dengan cermat dan akan disiplin untuk dapat mengembalikan pinjaman atau cicilan dengan tepat waktu.
Dalam sebuah organisasi juga berlaku apa yang disebut dengan nilai. Nilai adalah sebuah pandangan normatif yang menjadi pegangan yang baik dan dikehendaki. Soelaiman Sukmalana mengemukakan setidaknya ada empat tingkat nilai yang berkembang dan melekat dalam sebuah organisasi. Diantara keempat nilai itu adalah sebagai berikut: pertama, Individual value, adalah nilai yang bersifat formal maupun informal yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan organisasi. Kedua, organization value, adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi yang merupakan pertimbangan nilai-nilai dari pada individu kelompok dan organisasi. Ketiga, Value of constutuante the task environment / specific environment, adalah nilai yang dimiliki oleh suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap organisasi. Keempat, culture value, adalah nilai masyarakat yang terdiri dari : a). individual human desired, adalah kebanggaan individu sebagai hak untuk perorangan menjadi suatu prestasi yang dicapai seseorang dan sebagai suatu nilai yang diterima dari masyarakat. b). Individual prepentsity rights, adalah hak akan kecenderungan yang dimiliki olah hak perorangan. c). Acceptance of legitimate authority, yaitu penerimaan dari pihak masyarakat untuk mengakui wewenang formal yang dimiliki seseorang, hal ini berlaku bagi organisasi kecil ataupun masyarakat dari suatu bangsa.
Max Weber dalam Sukmalana mengenalkan prinsip-prinsip organisasi dalam istilah birokrasi model. Didalam kantor atau organisai pemerintahan, menurut Weber, akan tampak model birokrasi yang akan memberi arah jalannya organisasi itu sendiri dan aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi.
Ada enam prinsip dalam birokrasi organisasi menurut Weber, diantaranya adalah , 1). Pembagian tugas yang didasarkan kepada spesialisasi fungsional. 2). Adanya kejelasan tentang hirarki wewenang dalam organisasi. 3). Adanya peraturan-peraturan yang menyangkut hak dan tanggungjawab atau kewajiban bagi masing-masing jabatan. 4). Berlakunya prosedur dan berhubungan dengan pekerjaan yang berlaku dalam organisai tersebut. 5). Hubungan yang terdapat dalam organisasi merupakan hubungan yang impersonal. 6). Promosi dan seleksi harus didasarkan pada kemampuan teknis baik untuk karyawan maupun manajer.
Sedangkan Henry Fayol dalam Robbins seorang ahli manajemen terdahulu yang merupakan seorang industriawan terkemuka Perancis mengemukakan setidaknya harus ada empat belas prinsip-prinsip dalam sebuah organisasi. Keempatbelas prinsip organisai henry Fayol ini ditulis dalam buku berbahasa Perancis berjudul Administration Industrielle et Generale pada tahun 1916. Buku ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sampai tahun 1929 dan tidak beredar secara luas di Amerika Serikat sampai tahun 1949. Pada tahun 1949 buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul General and Industrial management oleh Constance Storrs, Sr Issac Pitman and Sons, Ltd, London.
Keempat belas prinsip organisai Henry Fayol adalah sebagai berikut: 1). Pembagian kerja (Division of work). 2). Kekuasaan dan tanggungjawab, (Autority and responsibility ). 3). Disiplin (dicipline). 4). Kesatuan komando (Unity of Command). 5) .Kesatuan pengarahan (Unity of Direction). 6). Kepentingan individu-individu dibawah kepentingan organisasi (subordination of individual interest to general interest). 7) Pemberian ganjaran pada pegawai (remuneration of personel). 8). Sentralisasi (centralization). 9). Mata rantai (scalar chain). 10). Penempatan (order). 11). Persamaan (equity). 12). Stabilitas seseorang melakukan tugasnya (stability of tenture of personal). 13) Inisiatif (initiative). Dan 14). Kerja sebagai sebuah tim (Esprit de corps)..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar