Senin, 28 Juni 2010

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

AHMAD ASSASTRA

Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir
(Ali Bin Abi Thalib)



Manusia selain sebagai individu adalah makhluk sosial. Dimensi sosial manusia ditandai dengan saling kebergantungan satu dengan yang lain (interdependensi). Dalam menjalani kehidupan, seseorang akan selalu terkait dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Sebab dalam memenuhi tujuan hidupnya, manusia akan melibatkan orang lain. Tidak mungkin semuanya dilakukan sendiri. Jika satu saat kita mau makan nasi, maka otomatis kita harus membeli beras di pasar. Itu artinya kita membutuhkan keberadaan penjual beras. Untuk mendapatkan beras yang akan dijual, seorang pedagang beras membutuhkan keberadaan petani padi. Untuk menanam padi agar subur, seorang petani membutuhkan keberadaan penjual pupuk. Begitu seterusnya.
Dimensi sosial manusia yang ditandai dengan saling kebergantungan ini biasanya membutuhkan apa yang disebut katarsis atau sarana penyaluran. Dalam konteks pemenuhan tujuan biologis, seseorang akan menikah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Terbentuklah sebuah keluarga. Dalam konteks pemenuhan tujuan sosial yang lebih luas, sebuah keluarga akan membuat sebuah perkumpulan antarkeluarga yang diikat dengan berbagai peraturan. Terbentuklah sebuah masyarakat.
Institusi keluarga dan masyarakat terdiri dari individu-individu yang saling bergantung untuk memenuhi tujuan bersama. Institusi inilah yang kemudian disebut dengan istilah organisasi. Jadi pada dasarnya lahirnya sebuah organisasi adalah refleksi dari pemenuhan kebutuhan sosial manusia. Jadi dimana ada sebuah perkumpulan orang dengan ikatan tertentu untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka dengan sendirinya mereka sedang memasuki sebuah organisasi, seberapapun ukuran organisasi itu.
Dr. Muhammad Yusuf Musa yang dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad menuturkan bahwa rumah tangga atau keluarga sebagai ikatan hidup adalah bentuk organisasi terkecil yang yang pertama ditegakkan oleh manusia, yang paling kurang terdiri dari laki-laki (suami), wanita (istri), anak-anak dan pembantu. Sedangkan organisasi yang lebih besar adalah sebuah negara dengan ikatan resmi yang menghubungkan segenap manusia sebagai warga negara. Jika demikian organisasi memiliki peran yang sangat penting dalam merealisasikan tujuan sosial. Meminjam istilah Warren Bennis , seorang professor dari Dubell Distinguished Of management Universitas Of Southern California dengan ungkapan bahwa persoalan organisasi bukanlah persoalan kecil. Prof. Warren melakukan penelitian bahwa 95 % tenaga kerja Amerika Serikat bekerja dalam kerangka organisasi, dan hanya kurang dari 5 % yang bekerja untuk dirinya sendiri. Misalnya bekerja dalam badan hukum, pemerintahan dan perusahaan.
Ketika manusia telah mengenal organisasi, dan aktif didalamnya muncul kebutuhan baru. Kebutuhan baru itu terkait dengan sebuah pertanyaan : bagaimana mempertahankan organisasi itu agar terus bertahan dan mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Dari pertanyaan ini muncul pula pertanyaan bagaimana menyepakati sebuah nilai-nilai yang bisa dijalankan secara kolektif oleh semua anggota organisasi tersebut. Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan budaya organisasi.
Dengan demikian antara budaya dan organisasi adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya adalah setali mata uang. Artinya dimana ada sekelompok orang yang membentuk sebuah organisasi, maka pada saat yang sama sadar maupun tidak sadar akan terbentuk pula budaya organisasi yang mereka sepakati dan secara komitmen mereka jalankan, sebab mereka sadar telah menjadi anggota organisasi tersebut.
Organisasi sendiri pada umumnya terbagi menjadi dua jenis dilihat dari segi tujuan, yakni organisasi yang bertujuan profit seperti perusahaan (corporate) dan organisasi non profit yang berorientasi pelayanan seperti LSM dan lembaga pendidikan. Dalam kedua jenis organisasi tersebut akan berlaku sebuah budaya yang khas sesuai dengan tujuan masing-masing organisasi. Sebab setiap budaya yang disepakati dalam sebuah organisasi akan sangat dipengaruhi oleh tujuan organisasi dan gaya kepemimpinan organisasi yang bersangkutan.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa lembaga pendidikan adalah sebagai salah satu bentuk organisasi non profit, dimana didalamnya terdapat sebuah budaya yang khas. Lembaga pendidikan dilihat dari sisi strategi pembinaan siswanya terbagi menjadi dua, yakni lembaga pendidikan berasrama (boarding school) dan tidak berasrama. Lembaga pendidikan berasrama juga memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah lembaga pesantren yang berciri khas nilai-nilai keislaman. Didalam pesantren juga berlaku sebuah budaya organisasi yang khas sebagaimana tujuan yang khas dari lembaga pesantren tersebut.
Pesantren merupakan sekolah Islam dengan sistem asrama (boarding school) . Pesantren merupakan model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren pertama di perkenalkan di daerah jawa sekita 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren mengalami peningkatan yang signifikan dalam perannya mencerdaskan masyarakat.
Pesantren memiliki khas lain adalah kemandiriannya dalam mengelola proses pendidikan santri-santrinya. Dengan model asrama, pesantren melakukan pendidikan dan bimbingan terhadap para santrinya selama 24 jam. Artinya dalam waktu 24 jam itulah santri dalam proses pendidikan dan bimbingan oleh para pendidik yang biasa dipanggil dengan istilah ustadz. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dengan model pendidikan di sekolah biasa yang tidak berasrama.
Tipe pesantren sendiri sangat beragam. Ada tipe pesantren yang hanya mengajarkan khasanah ilmu-ilmu klasik yang terdapat dalam kitab kuning (kutubut turost). Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren salafiyah (pesantren tradisional). Ada tipe pesantren yang kedua yakni yang mengajarkan khasanah ilmu-ilmu kekinian. Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren khalafiyah (pesantren modern). Dan tipe ketiga adalah tipe pesantren yang menggabungkan antara kedua tipe tersebut dan biasa disebut pesantren tipe kombinasi. Klasifikasi pesantren ini tidaklah bersifat mutlak sebab pada prinsipnya apapun jenis pesantren tetap merupakan sebuah institusi Islam yang bertujuan menyiapkan generasi Islam yang siap meneruskan perjuangan dan menegakkan peradaban Islam. tujuan ini lebih penting dan prinsipil dibandingkan wacana klasifikasi pesantren itu sendiri.
Salah satu contoh pesantren dan lembaga pendidikan berasrama yang bertipe modern adalah pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo dan Universitas Al Azhar Mesir. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, kedua lembaga pendidikan Islam tersebut juga memiliki sebuah budaya baik yang disepakati oleh seluruh anggota lembaga secara komitmen sehingga keduanya bertahan lama. Sebab pada faktanya Ada lembaga pesantren yang berumur panjang dan sebaliknya ada pula yang berumur pendek.
Lembaga pendidikan model pesantren adalah salah satu bentuk organisasi non profit. Panjang pendeknya umur sebuah lembaga pendidikan, jika merujuk pada pendapat Fremont , sangat terkait dengan budaya yang dikembangkan. Lembaga pendidikan Darussalam Gontor Ponorogo kini telah berumur 80 tahun atau telah berumur dua generasi, bahkan Universitas Al Azhar Mesir hingga sekarang telah berumur kira-kira 1036 tahun, dibangun sejak masa Bani Fatimiyah. Namun tidak jarang lembaga pendidikan yang baru berumur kurang dari 10 tahun telah “gulung tikar”. Tentu kita sadar bahwa yang dilaksud budaya organisasi pesantren adalah aplikasi dari nilai-nilai keislaman yang tertuang dalam berbagai perilaku organisasi. Budaya organisasi pesantren memiliki muatan ruh keislaman. Inilah yang kemudian membedakan dengan budaya organisasi lembaga lain.
Sedangkan dalam pesantren tradisional metode belajar yang dikembangkan menggunakan sistem bandongan (kyai yang sekaligus pendiri mengajarkan dan membacakan manuskrip keagamaan klasik dan para santri menyimaknya). Metode belajar kedua adalah sorogan yakni kebalikan dari sistem bandongan. Adapun pesantren modern biasanya pelajaran lebih beragam dengan metode yang beragam baik di kelas maupun diluar kelas. Kategorisasi ini tidaklah bersifat permanen. Sebab pada substansinya lembaga pesantren tidak bisa dikategorisasi menjadi modern dan tradisional, sebab hal ini bisa menjadi semacam jebakan epistimologis. Pesantren apapun kekhasan yang dimilikinya adalah lembaga Islam yang berdiri untuk memberikan dedikasinya bagi kemajuan umat Islam dan kebaikan bagi lingkungannya.
Santri secara umum adalah yang tinggal 24 jam di dalam asrama yang bertujuan untuk menggali ilmu-ilmu keagamaan dengan tujuan tafaquh fiddin. Semua pesantren umumnya adalah swasta dibawah naungan yayasan, organisasi atau perseorangan. Pesantren memiliki potensi yang sangat bagus. Dari sisi kuantitas pesantren kini berjumlah lebih dari 21.000 yang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 2. 737.805 jiwa. Dalam sistem pendidikan pesantren kyai sebagai pimpinan pesantren, ustadz, ustadzah sebagai pendidik dan pembimbing. Mereka bekerja dan beraktivitas selama 24 jam mengarahkan para santrinya.
Sebagai lembaga pendidikan yang khas, pesantren menyimpan budaya atau karakteristik yang khas pula. Bagaimana sebenarnya nilai-nilai yang disepakati dalam pesantren yang kemudian menjadi sebuah budaya. Konsepsi budaya yang dikembangkan oleh para ahli juga sangat beragam, sekalipun pada substansinya memiliki muara yang sama. Terkait dengan pesantren dan budaya organisasi, maka akan timbul beberapa pertanyaan mendasar, sebagai berikut : Bagaimana proses sosialisasi budaya organisasi yang dilakukan pondok pesantren kepada para pengurusnya ? Bagaimana gaya kepemimpinan budaya organisasi yang diterapkan oleh para pimpinan di pesantren? Bagaimanana pondok pesantren pada umumnya menerapkan budaya organisasinya ? Bagaimana strategi pesantren dalam membangun budaya organisasi yang kuat untuk menghadapi segala tantangan internal dan eksternal organisasi ? Bagaimana gambaran konsepsi budaya organisasi yang dibangun para pakar ? Apa peran dan fungsi budaya dalam sebuah organisasi ? Bagaimana budaya dan lingkungan bekerja sama ?
Jika kita menilik kerangka pemikiran diatas maka dengan demikian budaya organisasi merupakan faktor penting maju mundurnya dan berkualitas tidaknya, bahkan jaya dan runtuhnya organisasi, apapun bentuk organisasinya. Segala sesuatu yang tidak dimanaje akan berakibat buruk cepat atau lambat, dan sebaliknya segala sesuatu yang dimanaje dengan baik akan lebih bertahan lama, sekalipun sesuatu itu mungkin negatif. Sebab pengelolaan organisasi itu bersifat manusiawi dan memiliki hukum sebab akibat. Karenanya tidaklah mengherankan jika Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan : Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.
Para pimpinan pesantren dan semua struktur pengurusnya sudah harus menakar budaya organisasi yang dibangunnya, apakah memiliki pondasi yang kuat atau masih rapuh. Tema-tema pertanyaan diatas akan dibahas lebih jauh dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini. Pesantren sebagai institusi biasanya memiliki lini-lini bawahan yang dipimpin oleh kepala lini masing-masing. Kebijakan pesantren yang bersifat general mesti dianalisa dan dirumuskan secara lebih sistematis dan terukur oleh para pimpinan lini. Pimpinan lini harus mambangun budaya organisasinya sesuai dengan visi dan kondisi organisasi lini dengan catatan tidak menyimpang dari visi pesantren. Denganb demikian semua komponen organisasi ini harus berjalan sinergi. Pada hakekatnya budaya organisasi pesantren bersifat sistemik sekalipun setiap lini organisasi memiliki keleluasan untuk membangun budaya organisasinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar