Selasa, 18 Oktober 2016

BARAT DAN ISLAM MODERAT

*BARAT DAN ISLAM MODERAT*

Ahmad Sastra

Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan  Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dnegan lahap. Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika,  lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Islam Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam Barat.
Hermeneutika sebagai produk neomodernisme Barat telah melahirkan neosinkretisme Islam. Neosinkretisme Islam oleh kalangan kampus sering disebut dengan istilah pemikiran Islam modern. Beberapa “pemikiran Islam modern” yang kini tengah merasuki kaum akademisi dan intelektual muslim adalah istilah-istilah “aneh” sebagai hasil interpretasi epistemologis para sarjana studi Islam. Sebut saja misalnya istilah Islam nusantara, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam inklusif, Islam kebhinekaan, Islam progresif, Islam liberal, Islam sekuler, dan Islam dengan sifat isme-isme lainnya
Istilah-istilah di atas sesungguhnya selain tidak ditemukan jejaknya dalam khasanah sumber hukum Islam, istilah ini juga telah berhasil mengkotak-kotak Islam yang berpotensi menjadi pemicu pecahnya persatuan umat Islam. Bukan hanya itu, kini muncul juga kajian-kajian fiqih kontemporer yang tak kalah membingungkan seperti fiqih lintas agama dan fikih kebhinekaan. Perbedaan ijtihad fiqih ulama-ulama otoritatif terdahulu seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hambali bahkan kini dihadap-hadapkan dengan berbagai tuduhan bid’ah dan syirik satu sama lain. Bahkan terjadi juga gerakan intelektual yang menggugat fundamental Islam yang telah baku seperti gugatan ulang terhadap wajibnya haji, gugatan terhadap otensitas dan kandungan isi al Qur’an hingga pelarangan jilbab di sekolah-sekolah.

Menjadi Muslim Sejati
“Islam produk Barat”, mungkin bukan istilah yang tepat dalam menilai perkembangan pemikiran keagamaan ini. Namun, faktanya Barat telah menyebarkan paham-paham aneh yang dikaitkan dengan Islam. Barat yang dimaksud bukanlah letak geografis, melainkan Barat dalam makna pemikiran, ideologi dan peradaban yang sekuleristik dan kapitalistik. Pandangan ini menghendaki Barat harus dikritisi dan bahkan dilawan, karena dianggap sebagai neoimperialisme.  Barat, oleh seorang muslim  juga sering dianggap sebagai kiblat kemajuan teknologi dan kecanggihan metodologi penelitian.
Oleh Barat, pandangan pertama diberikan julukan sebagai muslim fundamentalis atau radikalis yang harus dimusuhi bahkan diberangus karena dianggap mengancam hegemoni Barat.  Sedangkan pandangan kedua diberi julukan  sebagai muslim moderat yang harus didukung eksistensinya karena dianggap mendukung dan menguntungkan Barat.
Semestinya seorang muslim melihat Barat dalam sudut pandang Islam yang obyektif, kritis dan syar’i. Barat sebagai ideologi sekuleristik dan imperialistik yang jelas-jelas telah merugikan sebagai besar negeri-negeri muslim jelas harus dilawan. Sementara terkait kemajuan teknologi, masih dalam ranah yang diperbolehkan mengadopsinya.  Sebab jika seorang muslim memandang Barat dari sudut pandangan Barat, maka identitas Islam sebagai peradaban dan muslim sebagai komunitas menjadi kabur. Cara pandang muslim dan sisi-sisi konseptual peradaban Islam terdistorsi oleh cara pandang ini. Selain hilangnya identitas kemusliman, cara pandang ini tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan Islam itu sendiri.
Karena itu, seorang muslim mesti berfikir cerdas untuk menyikapi pelabelan istilah-istilah Barat setelah kata Islam. Pelabelan dengan istilah muslim moderat atau muslim radikal dimaknai oleh Barat bahwa jika seorang muslim tidak mendukung Barat, maka akan dicap sebagai muslim radikal yang harus dimusuhi. Ironisnya, banyak kaum muslimin  yang mengikuti arus ini, sehingga terjadi kondisi kaum muslimin yang saling mencurigai dan bahkan memusuhi antar sesama muslim. Pelabelan istilah Barat terhadap kata Islam adalah politik adu domba Barat yang harus disadari oleh seluruh kaum muslimin di dunia.
Dalam pandangan al Qur’an, Islam adalah satu. Agama tauhid yang dibawa oleh Rasulullah. Agama sempurna yang meliputi seluruh ajaran kehidupan manusia. Agama kebenaran dan pelurus agama-agama yang telah tersimpangkan. Pelabelan Islam minimal akan mereduksi makna Islam yang komprehensif, maksimalnya justru akan menghilangkan hakekat Islam itu sendiri. Allah menegaskan dalam surat Ali Imran : 19, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Menjadi seorang muslim berarti menjadi manusia sesungguhnya (insan  kamil) yang memiliki pola fikir dan pola sikap yang sejalan dengan hukum-hukum Allah. Menjadi seorang muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kebajikan dan mencegah setiap bentuk kezaliman. Menjadi seorang muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menjalin persatuan dan kesatuan seluruh kaum muslimin di dunia, tanpa terjebak kepada sekat nasionalisme, sebab Islam adalah transnasional.
Muslim sejati adalah muslim kaaffah yang berjuang tegaknya supremasi hukum Allah di muka bumi. Sebab Islam adalah agama sekaligus sistem peradaban. Islam dalam perspektif sistem politik, ekonomi, pendidikan, budaya, keamanan, dan kemasyarakatan adalah sistem terbaik yang ada di muka bumi. Penerapan hukum-hukum Islam  secara kaffah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan seluruh manusia. “ Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan  benar; dan Tiadalah Allah berkehendak untuk Menganiaya hamba-hamba-Nya” *(QS Ali Imran : 108)*
Jaminan kesejahteraan lahir batin telah ditegaskan oleh Allah melalui janjiNya dalam surat an Nuur : 55, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”.
Karena itu, muslim adalah sebuah identitas permanen yang terbentuk dari interaksi dengan sumber hukum Islam yang murni dan holistik. Akan hilang identitas seorang muslim jika telah terkontaminasi oleh virus-virus pemikiran Barat. Akan hilang juga identitas seorang muslim jika mengadopsi Islam secara parsial. Identitas kepribadian Islam adalah perwujudan dari Islam yang murni sekaligus menyeluruh. Dalam al Qur’an, identitas muslim sejati diindikasikan dengan keimanan, ketaqwaan dan amal sholeh.
Jika suatu negeri telah diisi oleh suatu kaum yang memiliki kepribadian Islam kaffah, maka Allah akan menghadirkan sebuah keberkahan hidup yang tiada tara, “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah  Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” *(QS Al A’raf : 96)*
Jika demikian, umat Islam  tak perlu menjadi moderat jika ingin  ingin berbuat  baik, santun dan ramah kepada seluruh manusia, meski beda agama. Sebab Islam memang mengajarkan kebaikan dan memiliki pandangan sendiri terkait sikap terhadap orang lain. Umat Islam juga tidak perlu menjadi radikal jika jika ingin bersemangat memperjuangkan Islam, sebab Islam memang harus diperjuangkan dengan cara-cara yang dicontohkan Rasulullah, yakni dakwah hingga tegaknya supremasi hukum Allah di tengah-tengah masyarakat.
Sebab istilah moderat atau  radikal adalah jebakan Barat untuk memecah persatuan kaum muslimin. Yang terpenting adalah menjadi seorang muslim sejati yang kaaffah dan terus membendung virus  pemikiran Barat yang merugikan kaum muslimin. Allah telah memilih kaum muslimin sebagai umat terbaik. Allah telah menurunkan kebaikan untuk seluruh manusia agar kaum muslimin menjadi saksi atas hal itu.
Perhatikan firman Allah, “ Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa”. *(QS An Nahl : 30)* dan “ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.   *(QS Al Baqarah : 143)*
Islam adalah agama yang satu dan umat Islam juga umat yang satu. Islam yang benar adalah Islam Allah dan Rasulullah. Islam tidak perlu mendapatkan label dan sifat yang justru akan mereduksi kesempurnaan Islam itu sendiri. Sementara umat Islam bisa jadi memiliki berbagai perbedaan seiring kapasitas yang dimiliki. Jika terpaksa menggunakan istilah moderat, sematkan kepada muslimnya bukan Islamnya. Meski sejak awal telah disebutkan bahwa istilah moderat  bukan berasal dari khasanah epistemologi Islam, melainkan dari Barat. Fakta yang tidak terelakkan adalah bahwa dengan berbagai label Barat ini, kaum muslimin semakin terpolarisasi menjadi berbagai kelompok yang saling bertentangan dan terpecah. Semestinya hal ini disadari oleh para cendekiawan muslim di Indonesia.
Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas dari para cendekiawan muslim, pertama kali harus diorientasikan untuk membangun masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan manhaj Allah. Ketika masyarakat telah mengalami kerusakan total, ketika jahiliyah telah merajalela, ketika masyarakat dibangun dengan selain manhaj Allah dan ketika bukan syariat Allah yang dijadikan asas kehidupan, maka usaha-usaha yang bersifat parsial tidak akan ada artinya. Ketika itu usaha harus dimulai dari asas dan tumbuh dari akar, dimana seluruh energi dan jihad dikerahkan untuk mengukuhkan kekuasaan Allah di muka bumi. Jika kekuasaan ini telah tegak dan kuat, maka amar ma’ruf dan nahi munkar akan tertanam sampai ke akar-akarnya “
Dakwah ini memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari orang lain lain (baca : Barat). Jangan menuruti mereka, meski  jumlahnya sangat banyak.
Perhatikan firman Allah, “ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah *(QS Al An’am : 116)*

GAGASAN

TUGAS INTELEKTUAL MUSLIM

Ahmad Sastra

Indonesia, negeri zamrud katulistiwa yang dianugerahi Allah kekayaan alam yang sangat melimpah. Tidak ada negara di dunia yang memiliki kekayaan alam seperti di Indonesia. Itulah kenapa dari dulu Indonesia selalu menjadi incaran para kolonial, baik kolonialisme gaya lama maupun penjajahan gaya baru. Sementara Indonesia sendiri tidak pernah berdaulat secara ideologis yang menyebabkan bangsa ini mudah diintervensi bahkan dijajah oleh bangsa lain, dari dulu hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan negeri ini tidak memiliki martabat. Dalam istilah  martabat terkandung nilai kemuliaan, keadaban, kemandirian, kehormatan, dan bahkan disegani oleh orang lain.  
Psikologi keterjajahan bangsa ini telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para cendekiawan muslim dengan gagasan dan pemikirannya. Sebab tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut  Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah. Quo Vadis intelektual muslim ? 
   Dalam Al Qur’an  kalimat yang paling banyak diulang yakni sebanyak 31  kali dengan redaksi yang persis sama adalah kalimat yang berkaitan dengan nikmat dan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Allah menekankan kalimat itu dengan sebuah pertanyaan, “  Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?. Seolah mengindikasikan sebuah sikap yang tidak adanya rasa syukur dalam diri manusia.  Sebab faktanya kebanyakan manusia tidak mensyukuri nikmat dan anugerah  yang diberikan Allah yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Ketidaksyukuran manusia kepada Allah direfleksikan dengan pengabaian nilai dan hukum Allah dalam mengelola bumi dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya yang terkait dengan bidang ekonomi. Pengabaian itu juga terjadi dalam mengelola manusia dalam pola fikir dan pola sikapnya yang terkait dengan bidang sosial, budaya, politik, hukum dan pendidikan. Allah mengingatkan sekaligus  mengancam  kaum muslimin yang abai terhadap peringatan dan hukum Allah dalam surat Thahaa : 124, “ Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta".
Diantara ayat-ayat pertanyaan tentang kenikmatan yang diberikan kepada manusia dalam surat Ar  Rahman , Allah membeberkan berbagai fenomena kosmos, sains  dan hubungannya dengan teologi. Adalah penting dan mendesak merealisasikan Islam rahmatan lil’alamin dalam perspektif  peradaban bermartabat yang mampu menjadikan bumi Indonesia ini terjaga, maju dan mensejahterakan rakyat, bukan peradaban sekuler apalagi komunis yang anti terhadap aspek teologis. Akibatnya,  kini bumi Indonesia diambang kerusakan ekologis dan sosiologis. Padahal Allah telah menata sedemikian sistemik dan sistematis.
Bahkan Allah mengingatkan dalam surat al A’raaf : 85, “ dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". Inilah karakteristik epistemologi Islam yang mengintegrasikan antara fenomena kosmos, sains dan teologis sekaligus. Dalam perspektif inilah peran strategis cendekiawan muslim menemukan relevansinya. Sebab menyandang gelar cendekiawan dan muslim sekaligus berarti mengintegrasikan sains dan teologi secara bersamaan. Cendekiawan muslim bukanlah cendekiawan sekuler parsial namun integratif holistik.
Peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristik dan ateisitik telah melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan  destruktif  demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi ala Barat sekuler hanya berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral. Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan  sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam surat ar Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Ada sebuah pertanyaan yang mendasar sekaligus keprihatinan yang mendalam, kenapa bangsa  mayoritas muslim ini belum memiliki kedaulatan dan martabat. Umat Islam yang dahulu mencapai puncak kejayaan peradaban, kini hanya tinggal kenangan. Kaum muslimin  tak lagi menjadi bangsa  yang disegani, sebagaimana dahulu semasa Rasulullah. Islam dan kaum muslim saat itu dan beberapa abad setelahnya begitu disegani oleh siapapun karena kemajuan di bidang sains teknologi, ekonomi, budaya  dibawah kekuatan teologinya. Padahal Rasulullah oleh Michael D Hart digambarkan sebagai sosok paripurna peletak peradaban agung, " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.." 
Hilangnya kedaulatan dan martabat  ini bermuara pada terpisahnya sains, kosmos dan teologi dari setiap diri muslim. Singkatnya adalah karena sekulerisasi yang telah merasuk ke dalam pikiran dan jiwa kaum  muslimin di semua bidang kehidupan seperti sains, politik, budaya, ekonomi,  pendidikan, dan sosial.  Keprihatinan inilah yang kemudian memunculkan ide untuk menyiapkan kader-kader umat terbaik yang akan meneruskan penegakan kembali peradaban Islam yang telah lama runtuh. Kini umat sedang tidur, namun tidurnya terasa terlalu panjang. Mesti ada kader umat yang menjadi pelopor yang menggali dan mencari mutiara yang hilang. Pemikiran Islam yang dulu menguasai dunia adalah mutiara paling berharga yang harus 'direbut' kembali. Kader pelopor kebangkitan peradaban Islam inilah yang disebut cendekiawan muslim dalam arti yang luas.
Islam adalah manhaj kehidupan bagi kebaikan manusia seluruhnya sebab ia berasal dari sang Pencipta manusia. Islam adalah manhaj kehidupan yang realistik, dengan berbagai susunan, sistematika, kondisi, nilai, akhlak, moralitas, ritual dan begitu juga atribut syiarnya. Ini semuanya menuntut risalah ini ditopang oleh power kekuasaan yang dapat merealisasikannya. Ditopang oleh manusia-manusia amanah dengan ketundukan jiwa secara bulat kepadanya, disertai ketaatan dan pelaksanaan. Allah menegaskan kemuliaan hukumNya dalam surat Al Maidah ayat 50, “ Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
Karena itu tugas seorang yang menyandang gelar cendekiawan muslim tidaklah ringan di mata Islam. Seluruh cendekiawan muslim, ilmuwan muslim dan para ulama terdahulu telah dengan gamblang memberikan contoh bagaimana mereka menghabiskan waktu demi meraih kemuliaan dan martabat Islam dan kaum muslimin sebagai sebuah bangsa. Dengan seluruh potensi yang dimiliki, para pendahulu telah menoreh sejarah kegemilangan kemajuan Islam yang adil dan beradab bagi seluruh manusia tanpa memandang ras, agama, suku, warna kulit dan bahasa.
Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas para cendekiawan muslim pertama kali harus diorientasikan bagi pembangunan masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun di atas manhaj Allah. Hal ini relevan dengan kondisi masyarakat negeri ini yang semakin mengalami degradasi sains dan moral. Usaha ini memerlukan keimanan  dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Para cendekiawan muslim harus berani memikul tanggungjawab besar ini tanpa menunggu imbalan duniawi jika masih ingin melihat bangsa ini bangkit dan bermartabat. Bukankah Allah sendiri yang mengkaitkan keimanan suatu masyarakat dengan kesejahteraan dan keberkahan kehidupan, “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.  (Qs Al A’raf : 96).
Menjadikan Islam sebagai dasar manhaj berfikir dan bertindak menuju bangsa yang bermartabat bukanlah jalan yang pendek dan mudah. Usaha besar ini membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang berkesinambungan. Para cendekiawan muslim mesti berhenti sejenak untuk merenungkan langkah-langkah strategis fundamental yang genuine dan tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Jika konsisten, gerakan peradaban cendekiawan muslim ini, dengan izin Allah akan membawa bangsa ini lebih bermartabat dalam arti yang sesungguhnya. Meski harus disadari juga, bahwa sampai kapanpun kebangkitan peradaban Islam akan terus menuai hambatan dan ujian.
Berapa lama para cendekiawan muslim  di Indonesia khususnya akan mampu mengukir bangsa yang bermartabat tidaklah penting. Sebab Allah akan menilai prosesnya bukan hasilnya. Ada baiknya direnungkan apa yang dikatakan oleh Ahmad Y al- Hasan, " Marilah kita meletakkan skenario hipotesis : jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton?. Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astronomer-astronomer muslim yang sekualitas  Copernicus dan  yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistem Heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis di bawah skenario hipotesis ini". 
Kesadaran mendalam untuk terus memberikan  arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum cendekiawan muslim yang lurus. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan[].

Senin, 28 Juni 2010

MERANCANG EFISIENSI ORGANISASI

MERANCANG EFISIENSI ORGANISASI

AHMAD ASSASTRA

Rasanya baru kemarin kita datang dan bergabung ke Darul Muttaqien. Rasanya kita baru kemarin menginjakkan kaki pertama kali untuk ikut berjuang di Darul Muttaqien. Begitulan karakter waktu, berlalu sangat cepat. Duapuluh satu tahun (21) sudah bersama-sama merasakan suka duka berjuang di lembaga pesantren ini. berbagai tantangan dan cobaan tidak akan pernah berhenti. Bahkan semakin tinggi keimanan seorang muslim, maka akan semakin besar ujian dari Allah. Satu-persatu para pejuang pesantren ini telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Sesungguhnya kita juga akan menyusul dan kini sedang menunggu giliran, cepat atau lambat. Namun demikian, alhamdulillah kita masih istiqamah dan masih diberikan umur panjang hingga hari ini.
Lihatlah cermin kehidupan para Nabi dan Rasul, yang sepanjang hidupnya justru diwarnai dengan berbagai ujian dan cobaan yang sangat berat. Padahal mereka adalah hamba-hamba terbaik yang dijamin masuk syurga. Sepanjang hidup mereka diwarnai dengan karya dan prestasi terbaik bagi umat dan dunia. Itulah kenapa para Nabi dan Rasul senantiasa di kenang, sekalipun telah ribuan tahun meninggal. Pertanyaannya adalah : sudahkah kita mewarisi para Nabi dan Rasul ? Sudahkan kita mengukir karya dan prestasi terbaik untuk umat dan dunia seperti mereka. Tidak ada istilah terlambat dalam mengukir kebaikan. Kinilah saatnya kita meneguhkan ulang cita-cita perjuangan umat dan dunia melalui lembaga pesantren Darul Muttaqien ini.
Pesantren adalah salah satu entitas sosio-pendidikan yang berdiri untuk berhitmat kepada umat dan bangsa. Pesantren tidak akan bisa dilepaskan dari umat dan bangsa. Maju mundurnya umat Islam di masa mendatang sangat bergantung pada kualitas pendidikan hari ini. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan kebutuhan papan, sandang dan pangan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama.
Pada awal tahun 1972 ketika program life long education sedang disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini sudah disuarakan oleh Edgar Faure, ketua The Internasional Commission for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting. SDM yang bermutu merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya, SDM yang buruk secara pasti akan melahirkan masyarakat yang buruk juga.
Hanya saja kita melihat pendidikan di negeri ini sangat jauh dari yang diharapkan, bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Indek kualitas SDM negeri ini masih dibawah malaysia. Sistem pendidikan di negeri ini belum mampu melahirkan manusia yang cerdas dan mulia. Para pelajar yang terlibat tawuran, narkoba dan pergaulan bebas mengindikasikan hal tersebut.
Apalagi jika kita menfokuskan pada pendidikan agama dan keagamaan (baca : Islam). Tentu kita semua sadar bahwa umat islam yang telah ditegaskan dalam Al Qur'an sebagai umat terbaik menunjukkan fakta yang berseberangan 180 derajat. Umat Islam dalam keterpurukan yang dalam. Pendidikan agama dan keagamaan telah keluar dari orbit. Pendidikan agama dan keagamaan tak lagi mampu merepresentasikan Islam sebagai sebuah peradaban.
Rasulullah sebagai seorang nabi juga sebagai seorang guru. Inni bu'istu mualimman. Sesungguhnya Rasulullah diutus untuk menjadi guru dalam arti yang luas. Sebab faktanya dari tangan Rasulullah telah lahir generasi-generasi terbaik umat. Dari tangan Rasulullah inilah lahir para generasi muslim perancang dan penegak kejayaan peradaban islam yang agung. Dari tangan mereka Islam menjadi sebuah kekuatan dunia yang mampu memimpin dunia dengan kemuliaan ajaranya. Islam menjadi sebuah peradaban yang agung selama berabad-abad.
Pengaruh perdaban agung yang dibawa Islam telah diakui oleh sejarah selama berabad-abad. Bahkan ketika bangsa Eropa masih dalam kegelapan, Islam telah menjadi sebuah peradaban yang maju dan cemerlang. Hart D Michael salah seorang ilmuwan Barat memberikan sebuah pengakuan ".... kesatuan tunggal yang tidak ada tandingannya dalam mempangaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan merupakan hal mamapu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi umat manusia ".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kenapa umat Islam kini semakin terpuruk ?. Kenapa Islam tak lagi mampu menjadi sebuah peradaban agung yang memimpin dunia ?. Mengapa pendidikan Islam tak mampu lagi melahirkan generasi-generasi muslim terbaik ?. Ada apa dengan pesantren ? Adakah pendidikan Islam telah mengalami disorientasi ?. Mengapa yang lahir sekarang justru para generasi muslim yang sekuler dan liberal ?.

Menyoal Kembali Paradigma Pendidikan Nasional
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar dunia harus diakui bahwa kualitas SDMnya masih tertinggal. Menurut Din Syamsuddin, ketertinggalan SDM Indonesia (baca : umat Islam) bisa dilihat dari dua indikasi (1). Masih terdapat kesenjangan antara kualitas dan kuantitas umat Islam dan (2) umat Islam belum sepenuhnya memainkan peranan penting di pentas Nasional maupun Internasional. Jika demikian tidak terlalu salah bila Prof. WF Wertheim dari Belanda mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah 'golongan mayoritas dengan mentalitas minoritas" atau menurut Donald Emmerson dengan istilah ' minoritas aktif dalam mayoritas bilangan'. Bahkan seorang kolonel Belanda pada zaman penjajahan pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa kuli.
Fakta kualitas SDM Indonesia sebagai hasil dari Sistem Pendidikan Nasional masih jauh panggang dari api. Dari sisi keahlian SDM di tingkat ASEAN kecuali Singapura dan Brunai Darusalam, Indonesia masuk dalam kategori negara yang indek pembangunan manusianya (IPM) di tingkat medium, atau tingkat 6 negara ASEAN, satu tingkat diatas Myanmar, Laos dan Kamboja. Bahkan indek pendidikan Vietnam - yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia – ternyata lebih baik.
Prestasi India dalam pendidikan dan teknologi sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-banyangi pengusiran dan pemerkosaan TKI di luar negeri, banyak orang India yang mendapat posisi bergengsi di pasar kerja internasional. Di Amerika 30 % dokter berasal dari India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi sekolah bisnis paling top di AS. Sekitar 40 % pekerja microsoft berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia adalah pendidikan yang sekuleristik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, adfokasi, keagamaan dan khusus. Dalam pasal ini jelas tampak adanya dikotomi pendidikan agama dan umum. Sistem pendidikan yang dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang berkepribadian mulia sekaligus mampu menjawab tantangan global.
Tentu menjadi fenomena yang sangat paradok ketika membaca tujuan pendidikan nasional yang bercita-cita melahirkan manusia yang cerdas , beriman dan bertaqwa dikaitkan dengan kenyataan kondisi pelajar yang justru sebaliknya. Secara de facto produk pendidikan nasional (sekalipun tidak semuanya) yang dikomandoi Departemen Pendidikan Nasional terbukti melahirkan generasi cerdas dalam ranah intelektual namun minus dalam ranah moral dan spiritual. Beberapa bulan yang lalu diberitakan di Radar Bogor ada sejumlah siswa SMA yang dirazia dan digeledah polisi, dalam tas mereka ditemukan HP dengan tayangan video porno, senjata tajam dan kondom. Ironis, ini adalah malapetaka pendidikan di negeri ini.
Inilah akibat jika sistem pendidikan menjauh dan membuang nilai-nilai agama sebagai paradigma (sekuler). Jika sebuah negara tidak dibangun diatas landasan nilai-nilai agama yang mulia, maka yang akan terjadi adalah sebuah kehancuran dan bebobrokan. Karenanya MUI dengan tegas mengeluarkan fatwa haram untuk liberalisme, sekulerisme dan pluralisme agama. Sebab kemajuan teknologi yang tidak diikuti oleh kualitas moral melahirkan manusia-manusia rakus dan merusak. Dari ulah tangan merekalah telah terjadi kerusakan di darat dan di laut. Dalam konteks inilah departemen agama mestinya melakukan langkah kepeloporan untuk mereformasi sistem pendidikan nasional yang sekuleristik menjadi satu kesatuan sistem pendidikan nasional dilandasi oleh nilai-nilai luhur agama Islam. Sebagaimana telah dicontohkan oleh kanjeng nabi Muhammad SAW. Bukankah umat Islam mayoritas. Berarti secara demokratis umat Islam berhak mengatur sistem pendidikan nasional berbasis nilai islam. Adakah ini sebuah utopia. Setidaknya ini adalah harapan kita, demi masa depan generasi yang cerdas dan bermoral.

Pendidikan Agama Islam dalam Kubangan Dualisme Kebijakan
Pemberlakuan UU No 22 tahun 2009 tentang otonomi daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang perimbangan kewenangan pemerintah propinsi sebagai daerah otonomi berpengaruh terhadap sektor pendidikan. Kedua UU ini belum bisa menjadi instrumen untuk menyatukan paradigma pendidikan nasional berbasis nilai luhur Islam. Yang terjadi justru sebaliknya, semakin jauh dari yang kita idealkan. Sesungguhnya otonomi daerah perlu ditinjau kembali sebab tidak semua daerah mampu mengelola daerahnya, terutama kualitas SDMnya. SDM inilah yang menjadi kekuatan inti keberhasilan otda. Sebab merekalah yang akan mengelola SDA yang ada. . Otonomi daerah yang tidak siap juga berpotensi memicu praktek KKN yang lebih parah. Praktek otonomi daerah juga telah terbukti memicu kerawanan sosial. Kasus terbunuhnya ketua DPRD Sumatera Utara menguatkan hal itu.
. Secara kelembagaan paradigma sekuleristik pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, menengah, kejuruan dan perguruan tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ada kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ranah iptek dilakukan oleh depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Paradigma pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama dipandang sebagai entitas yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Bagaimana mungkin Sisdiknas akan melahirkan manusia yang cerdas beriman dan bertaqwa jika pada Bab X pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan yang tidak proporsional dan tidak dijadikan sebagai landasan bagi bidang mata pelajaran yang lain.
Dengan demikian depdiknas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasionalnya sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jelas yang menjadi akar masalah adalah asasnya yang sekuleristik yang berefek para struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguatan kepekaan spiritual dan pembentukan kepribadian mulia.
Adapun yang terjadi di madrasah sebagai basis pendidikan Islam yang terjadi juga tidak jauh berbeda. Porsi pelajaran agama belum proporsional dan tidak menjadikan paradigma Islam sebagai landasan pemikiran dalam mengkaji ilmu-ilmu saint. Akibatnya ilmu-ilmu saint di madrasah kering dengan nilai-nilai. Seolah ilmu umum tidak ada landasannya dalam Islam. Padahal bukankah para ilmuwan muslim seperti Ibn Sina adalah produk pendidikan Islam yang integralistik. Bagaimana mungkin madrasah hari ini mampu melahirkan Ibn Sina abad 21 jika yang diberlakukan di madrasah justru dikotomistik.
Namun demikian, Penyetaraan pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum yang tertuang dalam PP No 55 tahun 2007 sesungguhnya belum menuju kepada kondisi ideal yang kita inginkan sebagai umat Islam pengusung peradaban dan kejayaan. Namun demikian PP/55/2007 ini setidaknya menjadi pemicu bagi depag dan madrasah untuk melakukan revitalisasi kurikulum pendidikan agama dan keagamaan sebagai basis paradigma penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab ini adalah peluang dan tantangan tersendiri bagi umat Islam yang ingin membangun generasi unggul masa depan. Disinilah pesantren harus mampu mengambil peran strategis, sebab ini adalah peluang sekaligus tantangan.
Disinilah posisi pendidikan agama dan keagamaan tampak sangat dilematis. Dualisme kebijakan pendidikan oleh Depag di satu sisi yang hanya mengedepankan moral dan depdiknas yang mengembangkan iptek an sich disisi lain telah berpotensi melahirkan generasi muslim yang tidak berkualitas. Pelajar muslim yang sekolah umum maupun madrasah keduanya menjadi generasi setengah-setengah. Dengan kata lain menjadi ulama bukan, ilmuwan juga tidak. Generasi muslim hasil sistem pendidikan yang ada menjadi generasi bukan-bukan. Hal ini diakibatkan oleh sistem bernegara kita yang bukan-bukan juga. Mestinya generasi yang dilahirkan dari rahim sistem pendidikan ini adalah generasi yang ulama dan ilmuwan sekaligus. Generasi yang berilmu sekaligus berakhlak. Indonesia, seperti disinyalir oleh Hidayat Nur Wahid adalah negara yang bukan-bukan. Indonesia tidak berideologi kapitalis seperti Amerika, juga bukan berideologi sosialis seperti China dan parahnya lagi, Indonesia juga bukan negara yang berideologi Islam. Patut dipertanyakan, hendak kemanakah bangsa ini sebenarnya ?. Adakah masa depan cerah bagi negara bukan-bukan seperti Indonesia ini ?.

Berguru pada Generasi Muslim Terbaik
Kejayaan umat terdahulu telah menggoreskan kegemilangan dalam berbagai bidang kehidupan baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Berbagai peninggalan sejarah telah membuktikan hal tersebut. Selama kurang lebih 1000 tahun Islam telah memimpin dunia dengan landasan aqidah yang lurus. Dari sinilah kemudian lahir sebuah tatanan kehidupan yang penuh kemuliaan dan kemajuan. Ideologi Islam telah menjadi sumber kejayaan yang tidak pernah terbantahkan.
Semangat dan kesungguhan juang para pendahulu kita mestinya hari ini mampu menjadi daya ungkit dan pemicu motivasi kita untuk mewarisinya. Keberanian dan kemuliaan Nabi Muhammad di medan perang, kesungguhan Imam Syafe'i dalam menggali ilmu, kegagahan Uqbah bin Naafi dalam memimpin pasukan Islam, keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib, ketegasan Umar bin Khatab, dan kesungguhan para ulama terdahulu dalam menggali dan mengkaji khasanah keilmuwan Islam tercatat dengan jelas dalam lembaran sejarah.
Pada masa kejayaan Islam inilah, lahir para ilmuwan muslim yang telah menjadi inspirasi dan sumber rujukan para ilmuwan barat kini. Di bidang matematika kita mengenal Al Khawarizmi, Abu Kamil Suja', Al Khazin, Abu Al Banna, Abu Mansur Al Bagdadi, Al Khuyandi, Hajjaj bin Yusuf dan Al Kasaladi. Di bidang Fisika kita mengenal Ibnu Al Haytsam, Quthb Al Din Al Syirazi, Al Farisi dan Prof. Dr Abdus Salam. Dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, Izzudin Al Jaldaki, dan Abul Qosim Al Majriti. Dalam bidang biologi ada Ad Damiri, Al Jahiz, Ibnu Wafid, Abu Khayr, dan Rasyidudin Al Syuwari. Dalam bidang kedokteran ada Ibn Sina, Zakariyya Ar Razi, Ibnu Masawayh, Ibnu Jazla, Al Halabi, Ibnu Hubal dan masih banyak lagi. Dalam bidang astronomi kita mengenal Al Farghani, Al Battani, Ibnu Rusta Ibnu Irak, Abdul Rahman As Sufi, Al Biruni dan tokoh ilmuwan muslim lainnya. Dalam bidang geografi kita mengenal Ibnu Majid, Al Idrisi, Abu Fida', Al Balkhi, dan Yaqut al Hamawi. Dan dalam bidang sejarah kita mengenal Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Al Mas'udi, At Thabari, Al Maqrisi dan Ibnu Jubair. Para generasi muslim terbaik ini selain dikenal sebagai ilmuwan yang diakui oleh dunia, mereka juga adalah para ahli ibadah yang hafal al Qur'an. Luar biasa.
Kini semua ini telah menjadi kenangan. Seolah semuanya berlalu bagai mimpi, yang tinggal bayang-bayang saja. Umat Islam kini telah merosot kedudukannya, bersamaan dengan kemerosotan itu hilang pula kekuatan moral (akhlak) dan daya pikirnya. Sehingga pada siang hari yang cerahpun mereka melihat yang haq sebagai kebhatilan, sedangkan yang bhatil dianggap sebagai sesuatu yang haq dan benar. Kondisi umat hari ini telah menjadikan kebiasaan menjadi kebenaran dan tak lagi terbiasa dengan kebenaran. Ada sebuah keterputusan mata rantai sejarah kegemilangan ini.
Kini umat Islam dalam kondisi terjajah dalam semua bidang kehidupan. Dalam bidang politik, kini umat Islam tak lagi mampu menjadi pemimpin dunia bersamaan dengan runtuhnya Daulah Islamiyah, dari sinilah umat Islam mulai tercerai-berai menjadi berbagai ikatan kebangsaan (nasionalisme), kesukuan dan bahkan kepartaian yang sempit. Para penjajah telah membagi-bagi dunia Islam terkeping-keping dan menjadikannya terkotak-kotak. Dengan senjata demokrasi dan HAM ciptaan barat, umat Islam telah kehilangan segala-galanya.
Tidak jarang umat Islam mudah sekali diadu domba dikarenakan tak ada pemimpin umat yang dipatuhi. Ketika umat Islam dibelahan dunia dizalimi dan dibantai, kita bahkan tak bisa berbuat apa-apa. Inilah fakta kondisi umat jika tak ada kepemimpinan. Dalam bidang ekonomi, umat Islam hanyalah menjadi negeri miskin penghutang dan pengemis negara maju, padahal negeri-negeri Islam memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam telah dikeruk oleh negara-negara maju dengan sistem kapitalistiknya. Padahal dalam Al Qur'an kita dilarang untuk minta bantuan kepada kaum zalim penjajah itu. " Dan janganlah kamu cenderung (minta bantuan) kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api jahanam. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong selain Allah SWT, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan/kemenangan (atas musuh-musuh kalian) (QS. Huud : 113).

Kompetensi Global bagi Lulusan Pesantren
Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos dalam The Learning Revolution mengidentifikasi 16 kecenderungan utama yang akan membentuk dunia di masa datang. Keenembelas kecenderungan tersebut adalah :

(1) Adanya zaman komunikasi instant.
(2) Dunia tanpa batas ekonomi.
(3) Empat lompatan menuju ekonomi dunia-tunggal.
(4) perdagangan dan pembelajaran melalui internet.
(5) Masyarakat layanan baru.
(6) Penyatuan yang besar dengan yang kecil.
(7) Adanya era baru kesenangan.
(8) Perubahan bentuk kerja.
(9) perempuan sebagai pemimpin.
(10) Penemuan terbaru tentang otak yang mengagumkan.
(11) Nasionalisme budaya.
(12) Kelas bawah yang semakin besar.
(13) Semakin besarnya jumlah manusia.
(14) Ledakan praktek mandiri.
(15) Perusahaan kooperatif dan
(16) adanya kemenangan individu.

Karenanya, sebagai calon generasi muslim penerus, lulusan pesantren/madrasah harus menyadari bahwa fenomena perkembangan kekinian tidak akan pernah bisa dibendung. Kita hanya bisa menandingi atau akan terlindas oleh roda perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan dan akan terus menggelinding sampai waktu yang tidak bisa ditebak. Yang menjadi persoalan adalah apakah kita memiliki peran utama dalam perubahan ini atau tidak. Atau bahkan kita hanya menjadi penonton. Apakah generasi penerus yang dilahirkan dari pesantren/madrasah ini akan menjadi pengendali perubahan (agent of change) peradaban dunia ini atau tidak, itu sangat bergantung kepada kita hari ini. Apakah kita mau merevolusi diri atau berdiam diri sambil bernostalgia dengan masa lalu. Bernostalgia dan berkhayal tidak akan pernah memberikan kontribusi apapun dalam pusaran perubahan dunia ini. Kita harus punya peran dan siap fight (tentunya harus menang). Saatnya pesanten memperkuat barisan yang kuat, baik secara konseptual maupun secara personal (baca : sistem dan SDM).
Untuk itu sebagai generasi penerus, para lulusan pesantren/madrasah harus meningkatkan kompetensi dalam rangka menghadapi dan mengendalikan perubahan masa depan. Setidaknya ada 10 kompetensi terkait dengan tuntutan dunia global hari ini.
1. Kompetensi lingkungan, yaitu kemampuan memahami lingkungan internasional, atau minimal kondisi negara di mana kita tinggal.
2. Kompetensi analitik, yaitu kemampuan untuk menganalisis peluang-peluang untuk diberdayakan demi kemajuan diri dan umat.
3. Kompetensi strategik, yaitu kemampuan menyusun dan mengembangkan strategik didasarkan analisa ke depan dan belakang (backward and forward linkages).
4. Kompetensi fungsional, yaitu kemampuan untuk merancang program dalam mengantisipasi setiap peluang dan perubahan yang mungkin terjadi.
5. Kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk mengelola setiap kegiatan yang diarahkan pada peningkatan kualitas diri dan umat.
6. Kompetensi profesi, yaitu kemampuan menguasai keterampilan secara professional atau keahlian pada suatu bidang tertentu.
7. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan suasana baru dalam setiap perubahan.
8. Kompetensi intelektual, yaitu kemampuan untuk mengembangkan intelektualitas dan daya nalar, yang sangat dibutuhkan agar mampu membangun konsepsi demi tegaknya sebuah peradaban.
9. Kompetensi individu, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan menggunakan keunggulan yang dimilikinya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnlogi, atau keunggulan dalam bidang yang lain.
10. Kompetensi perilaku, yaitu kemampuan untuk bersikap baik dalam setiap prilaku sesuai ajaran Islam.

Kompetensi ini menjadi sangat penting sebab sistem yang baik tapi jika tidak diiringi dengan kualitas yang baik pula, maka akan menjadi kesia-siaan. Kehebatan sistem normatif yang tertulis dalam Al Qur'an ditunjang dengan kualitas SDM Rasulullah telah melahirkan sinergitas yang maha dahsyat. Begitulah idealnya. Islam telah sempurna dan final. Namun SDM umat Islam sebagai penerus yang belum berkualitas. Untuk itu kitalah orang-orang yang bertanggungjawab mencetak para generasi berkulitas melalui pendidikan Islam di madrasah atau pesantren, atau lebih khusus melalui pendidikan agama dan keagamaan ini.

Islamisasi Saint sebagai Alternatif Solusi
Posisi PP No 55 Tahun 2007 dalam konteks keprihatinan rendahnya kualitas lulusan madrasah sesungguhnya belum bisa menjawab cita-cita ideal yang hendaknya dicapai oleh pesantren/madrasah yakni melahirkan generasi ilmuwan yang ulama. Pendidikan agama dan keagamaan mestinya menjadi sebuah ruh yang terinternalisasi dan terintegrasi dalam mata pelajaran saint di pesantren/madrasah. Lebih tepatnya mesti ada langkah islamisasi saint. Tidak mudah memang, merumuskan konsepsi islamisasi saint. Namun demikian ini bukanlah hal yang mustahil. Tinggal kita mau apa tidak. Setiap kemauan yang kuat, maka akan ditemukan jalan keluarnya. Sebab dengan islamisasi saint akan terintegrasi antara iptek dan imtaq yang kemudian akan melahirkan generasi ulama yang ilmuwan atau ilmuwan yang ulama.
Dalam bidang keilmuwan diperlukan sebuah langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan yang menyeluruh. Sebab ilmu pengetahuan yang akan menjadi landasan berfikir para siswa pesantren/madrasah yang nota bene sebagai seorang muslim. Setidaknya ada lima agenda besar dalam islamisasi ilmu pengetahuan ini. Pertama, penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua, penguasaan warisan ilmu pengetahuan Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat, mencari sintesis-kreatif antara warisan ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Kelima, memberikan arah bagi pemikiran Islam ke jalan yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
Adapun langkah-langkah penting dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al Faruqi setidaknya ada 12 langkah :
1. Menguasai dan ahli dalam disiplin ilmu pengetahuan modern : penguraian kategori, prinsip, metodologi dan tema.
2. Tinjauan disiplin ilmu pengetahuan baik yang terkait dengan asal-usul, perkembangannya, metodologinya, serta keluasan visinya yang kemudian disepakati identitas, sejarah, tipologi dan obyek yang akan diislamisasikan.
3. Menguasai warisan Islam, sebagai titik tolak ontologi dengan cara menerbitkan sebagai rujukan.
4. Menguasai warisan Islam sebagai tahap analisis agar jelas dalam upaya menggali visi Islam yang telah digagas oleh para pendahulu menjadi aturan-aturan praktis.
5. Penentuan penyesuaian Islam yang khusus terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan. Dengan demikian akan terlihat seberapa besar sumbangan Islam terhadap ilmu pengetahuan modern dan perlu dilakukan pelengkapan jika ada yang belum tersentuh.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern, hakekat dan kedudukannya saat ini.
7. Penilaian kritis terhadap warisan intelektual ilmuwan Islam dalam perkembangan saat ini.
8. Kajian masalah utama umat Islam yang sedang tertidur panjang ini. Sehingga dari seluruh bidang kehidupan (ipoleksosbudhankam) umat Islam terpuruk.
9. Kajian yang dihadapi umat manusia mengingat Islam adalah rahmatan lil'alamin. Artinya penerapan Islam adalah amanah untuk kebaikan jagat raya seluruhnya.
10. Analisis kreatif dan sintesis untuk membuat lompatan kreatif pemikiran Islam. Suatu metode baru harus dilahirkan oleh Islam sebagai antitesis peradaban barat yang destruktif untuk membangun kembali kemuliaan peradaban berdasarkan aqidah Islam.
11. Membentuk kembali disiplin ilmu modern dalam kerangkan kerja Islam isalnya berupa buku teks pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.
12. Pendistribusian ilmu yang telah diislamisasi kepada semua kalangan.

Acara raker pesantren hari ini adalah bagian penting dari proses dan langkah kecil dari 'proyek raksasa' islamisasi saint ini. Karenanya hendaknya kita sebagai generasi penerus umat untuk terus memupuk optimisme dalam rangka membangun kualitas diri agar kelak bisa memberikan kontribusi konstruktif bagi kemajuan umat Islam di masa mendatang. Saatnya umat Islam mandiri, dan tidak lagi bergantung kepada orang lain. Amien Rais pernah mengatakan bahwa kita ini adalah cucu-cucu dari Panglima Polim, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro dan Mohammad Natsir (pen). Mereka adalah singa-singa bermental baja yang berani menetang dan melawan kaum penjajah. Saat ini kita bermental kerdil, terjajah seperti kelinci. Umat telah turun-temurun terjajah, sehingga akan memberikan pengaruh psikologi sebagai orang terjajah yang tidak peka. Tatkala melihat transfer sumber daya alam ke asing, masyarakat hanya pringas-pringis. Kini kemandirian itu telah hilang. Anehnya masyarakat Indonesia tidak sadar jika dirinya sedang dijajah. Islamisasi saint adalah langkah awal dari refleksi kemandirian itu.
Merespons dan menindaklanjuti PP no 55 tahun 2007 dengan langkah-langkah islamisasi saint bukan pekerjaan ringan. Sebab sampai hari ini belum tercatat negara muslim yang telah berhasil melakukannya dengan baik. Belum didapatkan konsepsi yang integral tentang islamisasi saint ini. Al Faruqi telah meletakkan dasar epistimologi, tinggal bagaimana kita menjabarkan dalam ranah aksiologi. Pesantren/madrasah bekerja sama dengan pemerintah dalam hal ini mesti menjadi pelopor 'proyek raksasa' ini.

Saatnya Pesantren jadi Pelopor
Sebuah pepatah Arab mengatakan bahwa barang siapa tahu akan jauhnya perjalanan, maka bersiaplah dengan bekalnya. Pepatah ni sangat tepat jika dianalogkan dengan perjuangan kita di pesantren ini, demi kemajuan umat dan agama. Beratnya tantangan masa depan, beratnya godaan dan tingginya persaingan mengharuskan kita untuk menyiapkan bekal yang cukup. Sebab perjalanan ini begitu panjang, perjalanan perjuangan tak berujung. Hanya kematian yang mampu menghentikan langkah-langkah perjuangan kita.
Oleh karenanya melalui raker yang kita gagas hari ini, semoga dapat menyegarkan kembali niat tulus kita untuk berbakti kepada Allah dengan cara memperjuangkan agamaNya melalui lembaga pesantren darul Muttaqien ini. saatnya Darul Muttaqien menjadi pelopor kebangkitan pesantren di Indonesia. Saatnya kita meneguhkan ulang visi misi yang kita canangkan. Saatnya kita menyatukan langkah dan pemahaman untuk memajukan Darul Muttaqien agar lebih baik. Bagaimana mungkin pesantren ini akan maju jika paradigma berfikir kita tentang visi dan paradigma pendidikan pesantren berbeda-beda satu dengan yang lain. Apalagi jika visi dan misi lembaga tidak dipahami dengan baik dan benar. Entah apa jadinya nasib Darul Muttaqien di masa mendatang. Kini maju mundurnya Darul Muttaqien ada di pundak kita semua. Ini adalah amanah besar yang haurs kita jalankan. Pertanggungjwaban kita bukan dihadapan manusia, melainkan langsung dihadapan Allah kelak. Semoga kita termasuk orang-orang pilihan yang amanah.
Pada intinya semoga raker kali ini kita mampu merevitalisasi visi yang telah ada dan merekonsiliasi paradigma berfikir kita agar memiliki pemahaman yang sama untuk kemudian melahirkan kemajuan lembaga di masa mendatang. Itulah sebabnya kenapa tema raker kali ini adalah Merancang Esisiensi organisasi untuk Darul Muttaqien yang lebih baik.

Paradigma Perubahan : Merancang Efisiensi
Tahun ini diharapkan akan muncul ide-ide baru yang cemerlang demi kemajuan lembaga ke depan. Hal ini penting karena tantangan lembaga pendidikan Islam bukan tambah ringan, melainkan semakin berat. Karena secara organisatoris diperlukan juga sebuah kepengurusan yang lebih efektif dan efisien. Birokrasi organisasi tidak terlalu panjang, ramping tapi efektif untuk mencapai sasaran. Konsekuensinya akan ada penambahan program kerja di tingkat lini, seperti para kepala sekolah dan kepala bagian. Sebab menghilangkan biro dalam struktur akan sangat berpengaruh pada mekanisme organisasi dan perubahan pola kerja kepala sekolah dan kepala bagian yang notabene sebelumnya ada dalam kordinasi biro. Begitupun dengan dihilangkannya lembaga litbang, maka otomatis kerja pengembangan program dan SDM guru sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab dan program kerja para kepala sekolah.
Kebijakan ini merupakan evaluasi selama enam tahun kebelakang. Kelebihan dari kebijakan ini adalah adanya peluang kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kepala sekolah dan para kepala bagian. Begitupun kewenangan bagian keuangan yang otomatis akan menjadi pengendali sepenuhnya keuangan lembaga, yang sebelumnya dibawah koordinasi biro administrasi umum. Dengan demikian keuangan otomatis menjadi bendahara lembaga, tanpa mengubah sistem keuangan yang sentralistik. Begitupun sekretaris pimpinan merangkap menjadi sekretaris lembaga yang memiliki kewenangan di tingkat manajemen organisasi. Tentunya kewenangan keuangan dan sekretaris tetap dalam koridor aturan lembaga dan dibawah kebijakan pimpinan pesantren.
Memaknai kurikulum terpadu dalam perspektif perubahan organisasi pada prinsipnya diberikan kewenangannya kepada para kepala sekolah untuk merancang ulang atau merevitalisasi sesuai visi misi setiap lini pendidikan baik TMI, SMPIT, SDIT, RA maupun diniyah. Pada dasarnya makna dari kurikulum terpadu adalah kesatuan sistemik dalam semua proses pembelajaran dan kegiatan kependidikan. Tidak ada satu kegiatanpun di pesantren ini yang terpisah, satu sama lain saling terikat dan saling melengkapi/ menunjang. Adapun bidang-bidang non pendidikan yang dikomandoi oleh para kelapa bagian merupakan daya dukung utama yang akan mempercepat proses terwujudnya visi misi lembaga yang telah dicanangkan bersama. Karenanya tidak ada yang tidak penting di pesantren ini. Semuanya penting dan saling melengkapi dan mendukung.
Karenanya perubahan organisasi ini menuntut kepala sekolah dan kepala bagian untuk lebih fokus pada tingkat manajerial dan konseptual. Adapun wakasek dan kepala-kepala lini fokus pada tataran teknis operasional. Kepala sekolah, kepala pengasuhan dan kepala bagian sebagai manajer harus memberikan kerangka kerja yang jelas dan sistemik berupa kebijakan-kebijakan yang mendorong bawahan untuk selalu bergerak. Para pimpinan juga harus selalu fokus pada pengembangan konseptual untuk lembaga yang lebih maju dan berkualitas di masa mendatang. Agar terukur, maka semua proses pengembangan harus dilaporkan untuk dievaluasi setiap triwulan oleh pimpinan pesantren. Dengan demikian organisasi akan tampak lebih efisien dan terukur.
Efisiensi organisasi juga bisa diindikasikan dengan kondusifnya komunikasi organisasi internal bagian maupun lintas bagian. Rapat dan pertemuan-pertemuan setiaqp bagian harus dilakukan semaksimal mungkin hingga tercipta budaya kerja yang kondusif. Budaya kerja yang kondusif akan meningkatkan sikap positif, produktif dan kontributif. Ketiga sikap ini akan berbanding lurus dengan kemajuan dan kualitas lembaga.
Perubahan struktur organisasi dalam konteks ini jangan menjadi alasan baru dalam penurunan kinerja, mestinya justru menjadi motivasi baru dalam mengeksplor potensi diri agar lebih berkembang dan maju. Karenanya setelah ditetapkan struktur baru, semua pejabat struktural harus segera melakukan langkah-langkah manajerial strategis berupa perencanaan dan pengorganisasian. Visi misi lembaga dan bagian harus segera disosialisasikan kembali kepada semua anggota organisasi. Termasuk mensosialisasikan perubahan organisasi yang ada. Para pimpinan harus segera membentuk struktur kepengurusan yang baru dan mendata semua kondisi bagian sebagai laporan awal kepada pimpinan pesantren.
Efisiensi pada dasarnya adalah langkah rasionalisasi organisasi dalam rangka mencapai visi lembaga secara lebih simpel. Karenanya diperlukan fokus yang tinggi dari setiap kelapa bagian baik akademik maupun non akademik. Bagian pengasuhan mestinya menjadi pengasuh yang memiliki fokus kerja di pengasuhan. Sebab program keasramaan merupakan ujung tombak lembaga pendidikan model pesantren. Pengasuhan harus mulai menata manajemennya dengan profesional dengan SDM pengelola yang berkualitas dan terlatih. Karenanya seorang kepala pengasuhan kedudukannya sama dengan kepala sekolah, hanya beda ranah kerja. Oleh karenanya efisiensi menuntut pengasuhan untuk tidak banyak mengajar di kelas apalagi rangkap jabatan wali kelas, ini tidak akan efisien dan tidak akan mencapai titik optimal kinerja. Secara filosofis sebenarnya pengasuhan itu mewakili bagian wakasek bidang kesiswaan mengingat pengasuhan menangani kegiatan ekstrakulikuler siswa. Jika pengasuhan optimal kinerjanya dan fokus, maka wakasek kesiswaan bisa saja dihapuskan. Jikapun harus mengajar, pengasuhan mungkin hanya dua hari mengajar, selanjutnya harus fokus mengurus keasramaan. Begitu juga kepala sekolah harus fokus pada manajemen sekolah, tidak boleh rangkap jabatan dengan wali kelas atau wakasek misalnya. Sekali lagi efisiensi menuntut fokus. Hal ini berlaku juga untuk bagian-bagian lain seperti keuangan, humas, sekretaris dan bagian-bagian lainnya. Mereka harus fokus pada tugas masing-masing. Rangkap jabatan hanya bisa dilakukan jika sangat darurat dan tidak tumpang tindih hak dan kewajiban.
Adapun bagian penilik dalam perspektif perubahan organisasi Darul Muttaqien adalah sebagai mitra strategis bagai sekolah untuk menggagas program-program inovatif demi kemajuan lembaga di masa mendatang. Adapun bagian humas dan kerja sama juga merupakan mitra strategis bagi lembaga keseluruhan agar tercipta jejaring yang lebih baik dibawah kordinasi sekretariat. Jejaring yang kuat akan menjadi promosi gratis yang sangat efisien. Karenanya, bagian humas dan kerjasama harus menjalin komunikasi dengan seluruh elemen lembaga (stake holder) seperti orang tua siswa, rekanan bisnis, alumni, pemerintah, masyarakat, tokoh-tokoh, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga ekonomi dan sosial, dan lain sebagainya. Penilik dan humas akan menjadi mitra sinergi bagi sekolah dan bagian lain.

Setia pada Visi
Salah satu cara untuk membangun efisiensi kinerja organisasi adalah kesetiaan anggota organisasi pada visi lembaga yang telah ditetapkan bersama. Sebab seringkali ketidakefisienan proses dan kinerja organisasi adalah jika aktivitas itu tidak dilandaskan oleh visi yang ada. Bagaimana bisa dikatakan efisien jika visi menyuruh ke barat sedangkan para anggota malah berjalan ke timur. Mungkin satu saat akan sampai juga pada titik visi, nemun membutuhkan waktu yang terlalu panjang alias tidak efisien.
Membangun efisiensi juga bisa diwujudkan sebuah sinergitas antar bagian dalam organisasi itu. Antar organisasi saling bekerja sama, bukan malah saling menjatuhkan. Antar bagian sesungguhnya adalah potensi dan kekuatan. Dengan membangun kerja sama antar bagian berarti organisasi tersebut telah menghimpun kekuatan internal demi tercapainya visi lembaga lebih cepat. Bagaimana mungkin sebuah partai akan menang jika di dalam tubuhnya terjadi perpecahan antar anggota organisasi.
Dalam sebuah organisasi tentu ada konflik dan resistensi. Ini adalah hal yang wajar. Dalam literatur ilmu perang kuno Sun Tzu (500 BC) kita belajar bahwa untuk memenangkan sebuah peperangan "know the situation, know the circumstances", yakni kenali dirimu, kenali musuhmu, dan lihatlah situasi. Kita hanya akan bisa menyusun strategi dan menag, saat kita jelas betul apa yang kita perjuangkan, tahu luar dalam kekuatansekaligus kelemahan yang kita miliki. Sebaliknya, bagaiman kita bisa menag jika kita tidak paham apa kesamaan dan perbedaan kita dengan lawan, serta kelemahan dan kekuatan.
Filosofi Sun Tzu juga mengatakan bahwa," the supreme art of war is to subdue the enemy without fighting". Kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan menaklukkan, tetapi mengelola konflik untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi keseluruhan humanitas. Karenanya kepemimpinan yang bijak akan mengelola konflik menjadi satu kekuatan tersendiri untuk mewujudkan kemajuan lembaga. Tidak mudah memang. Tapi yang pasti pola kepemimpinan dalam menangani konflik akan menjadikan faktor efisiensi organisasi juga. .


Penutup
Pekerjaan besar hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Orang besar adalah orang yang selalu bersungguh-sungguh mengubah dirinya menjadi lebih baik. Dia bersabar dan dan tidak mudah putus asa. Semoga kita semua termasuk generasi terbaik pilihan Allah. Semoga dari usaha kita hari ini terlahir generasi Islam terbaik yang akan mewarnai dunia dengan cahaya peradaban Islam yang agung. Melalui pesantren/madrasah inilah kita akan memulai. Dari pendidikan agama dan keagamaan inilah kita akan bertolak. Dengan konsepsi islamisasi saint inilah kita melangkah. Seribu meter perjalanan harus dimulai dengan satu langkah kedepan. Siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan sekarang. Selamat berfikir, semoga Allah meridhai usaha kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. 1974. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta : Bulan Bintang.
Albrecht, Karl. 1983. Pengembangan Organisasi : Pendekatan system yang menyeluruh untuk Mencapai Perubahan Positif dan dalam setiap Organisasi Usaha, Bandung : Penerbit Angkasa
Alma, Buchori. 2003. Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta
Amin, Mahrus. 2008. Dakwah melalui Pondok Pesantren : Pengalaman Merintis dan Memimpin Darunnajah Jakarta. Jakarta : Penerbit Grup Dana.
Annabhani, Taqiuddin. 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Bogor : Thariqah Izzah.
Antonio, Muhammad Syafii. 2007. The Super Leader Super Manager. Jakarta : Tazkia Multimedia dan Pro LM
Arcaro, Jerome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
Armush, Ahmad ratib. 2006. The Great Leader, Strategi dan Kepemimpinan Muhammad SAW. Jakarta : Embun Publising.
Azzaini, Jamil, Farid Poniman dan Indrawan Nugroho. 2006. Kubik Leadership, solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup. Jakarta : Hikmah Zaman Baru.
Bacal, Robert. 2002. Performance Management : Memberdayakan Karyawan, meningkatkan Kinerja Melalui Umpan balik, Mengukur Kinerja. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bennis, Warren dan Michael Mische, 1996, Organisasi Abad 21, Reinventing Melalui Reengineering, Jakarta : PT Pustaka Binamah Pressindo.
C, Nevizond. 2007. Profil Budaya Organisasi. Bandung.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Jakarta : Kaifa.
Dessler, Gari. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Klaten.
Dubin, R., et.al. 1965. Leadership and Produktivity, Chandler Publising Company.
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bagian II : Sekolah Masa Depan. Jakarta : Kaifa
Effendi. R. 1990. Budaya Organisasi. Jakarta : Prisma

Feinberg, Mortimer R, Robert Tanofsky dan John J Tarrant, 1996, Psikologi Manajemen, Jakarta : Mitra Utama
Handoko, T Hani. 1985. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Yogyakarta : Liberty.
Hafidhuddin, Didin. 2006. Agar layer Tetap Terkembang, Upaya Menyelamatkan Umat. Jakarta : Gema Insani Press.
Hasibuan, Malayu SP. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia : Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara
Hubeis, Musa. 2005. Manajemen Kreatifitas dan Inovasi dalam Bisnis. Jakarta : Hecca Publising.
Hesselbein, Frances. Et al (editor). 2001. The Organization of the Future. Jakarta : Alex Madia Komputindo.
Iqbal, Muhammad. 1966. Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam. Jakarta : Tintamas.
Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Luth, Thohir. 1999. Mohammad Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta : Gema Insani Press.
Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning : Handbook, Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta : Kaifa.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Poerwanto. 2008. Budaya Perusahaan. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Poster, Cyril. 2000. Gerakan Menciptakan Sekolah Unggulan. Jakarta : Lembaga Adidaya Indonesia.
Purwanto, Agus Joko, et.al. 2000. Teori Organisasi. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Rahman, Jamal Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Robbins, Stephen P, 2003, Perilaku Organisasi : edisi kesepuluh. Jakarta : Indeks
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran : untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Jakarta : Alfabeta.
Sallies, Edward. 2006. Total Quality Management in Education : Manajemen Mutu Pendidikan. Jakarta : IRCiSoD

Shaleh, Abdul Rahman. 2003. Psikologi Organisasi : Bagian Pertama bahan Ajar. Jakarta : Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sukarta, Mad Rodja. 2008. Catatan untuk Para Pejuang : Sebuah Refleksi tentang Pemikiran Pendidikan dan Keagamaan. Bogor : Darul Muttaqien Grafika Press.
Sukmalana, Soelaiman, 2006, Perilaku Organisasi : Modul Kuliah, Program Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen.
------------------, 2007. Manajemen Kinerja : Langkah Efektif untuk Membangun, Mengendalikan, dan Evaluasi Kerja. Jakarta : PT. Intermedia Personalia Utama.
-----------------, 2007. Manajemen Strategi dan Kebijakan Bisnis : untuk Mencapai Keunggulan Bersaing. Jakarta : PT. Intermedia Personalia Utama.
Tjakraatmadja, Jann Hidayat dan Donald Crestofel Lantu. 2006. Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar. Jakarta : School of Bussiness and` Management Institut Teknologi Bandung.
Luthan, F, 1995. Organizational Behavior, Sevent Edition, Mc. Graw- Hill International Editioan.
Tika, Mohammad Pabundu. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta : Bumi Aksara.
Tilaar, HAR. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional : kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Uwes, Sanusi. 1999. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta : Logos.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta : Rajawali Press.
Zarkasyi, Imam. 1975. Materi Khutbatul ‘Arsy. Gontor : Darussalam Press.

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

AHMAD ASSASTRA

Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir
(Ali Bin Abi Thalib)



Manusia selain sebagai individu adalah makhluk sosial. Dimensi sosial manusia ditandai dengan saling kebergantungan satu dengan yang lain (interdependensi). Dalam menjalani kehidupan, seseorang akan selalu terkait dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Sebab dalam memenuhi tujuan hidupnya, manusia akan melibatkan orang lain. Tidak mungkin semuanya dilakukan sendiri. Jika satu saat kita mau makan nasi, maka otomatis kita harus membeli beras di pasar. Itu artinya kita membutuhkan keberadaan penjual beras. Untuk mendapatkan beras yang akan dijual, seorang pedagang beras membutuhkan keberadaan petani padi. Untuk menanam padi agar subur, seorang petani membutuhkan keberadaan penjual pupuk. Begitu seterusnya.
Dimensi sosial manusia yang ditandai dengan saling kebergantungan ini biasanya membutuhkan apa yang disebut katarsis atau sarana penyaluran. Dalam konteks pemenuhan tujuan biologis, seseorang akan menikah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Terbentuklah sebuah keluarga. Dalam konteks pemenuhan tujuan sosial yang lebih luas, sebuah keluarga akan membuat sebuah perkumpulan antarkeluarga yang diikat dengan berbagai peraturan. Terbentuklah sebuah masyarakat.
Institusi keluarga dan masyarakat terdiri dari individu-individu yang saling bergantung untuk memenuhi tujuan bersama. Institusi inilah yang kemudian disebut dengan istilah organisasi. Jadi pada dasarnya lahirnya sebuah organisasi adalah refleksi dari pemenuhan kebutuhan sosial manusia. Jadi dimana ada sebuah perkumpulan orang dengan ikatan tertentu untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka dengan sendirinya mereka sedang memasuki sebuah organisasi, seberapapun ukuran organisasi itu.
Dr. Muhammad Yusuf Musa yang dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad menuturkan bahwa rumah tangga atau keluarga sebagai ikatan hidup adalah bentuk organisasi terkecil yang yang pertama ditegakkan oleh manusia, yang paling kurang terdiri dari laki-laki (suami), wanita (istri), anak-anak dan pembantu. Sedangkan organisasi yang lebih besar adalah sebuah negara dengan ikatan resmi yang menghubungkan segenap manusia sebagai warga negara. Jika demikian organisasi memiliki peran yang sangat penting dalam merealisasikan tujuan sosial. Meminjam istilah Warren Bennis , seorang professor dari Dubell Distinguished Of management Universitas Of Southern California dengan ungkapan bahwa persoalan organisasi bukanlah persoalan kecil. Prof. Warren melakukan penelitian bahwa 95 % tenaga kerja Amerika Serikat bekerja dalam kerangka organisasi, dan hanya kurang dari 5 % yang bekerja untuk dirinya sendiri. Misalnya bekerja dalam badan hukum, pemerintahan dan perusahaan.
Ketika manusia telah mengenal organisasi, dan aktif didalamnya muncul kebutuhan baru. Kebutuhan baru itu terkait dengan sebuah pertanyaan : bagaimana mempertahankan organisasi itu agar terus bertahan dan mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Dari pertanyaan ini muncul pula pertanyaan bagaimana menyepakati sebuah nilai-nilai yang bisa dijalankan secara kolektif oleh semua anggota organisasi tersebut. Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan budaya organisasi.
Dengan demikian antara budaya dan organisasi adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya adalah setali mata uang. Artinya dimana ada sekelompok orang yang membentuk sebuah organisasi, maka pada saat yang sama sadar maupun tidak sadar akan terbentuk pula budaya organisasi yang mereka sepakati dan secara komitmen mereka jalankan, sebab mereka sadar telah menjadi anggota organisasi tersebut.
Organisasi sendiri pada umumnya terbagi menjadi dua jenis dilihat dari segi tujuan, yakni organisasi yang bertujuan profit seperti perusahaan (corporate) dan organisasi non profit yang berorientasi pelayanan seperti LSM dan lembaga pendidikan. Dalam kedua jenis organisasi tersebut akan berlaku sebuah budaya yang khas sesuai dengan tujuan masing-masing organisasi. Sebab setiap budaya yang disepakati dalam sebuah organisasi akan sangat dipengaruhi oleh tujuan organisasi dan gaya kepemimpinan organisasi yang bersangkutan.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa lembaga pendidikan adalah sebagai salah satu bentuk organisasi non profit, dimana didalamnya terdapat sebuah budaya yang khas. Lembaga pendidikan dilihat dari sisi strategi pembinaan siswanya terbagi menjadi dua, yakni lembaga pendidikan berasrama (boarding school) dan tidak berasrama. Lembaga pendidikan berasrama juga memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah lembaga pesantren yang berciri khas nilai-nilai keislaman. Didalam pesantren juga berlaku sebuah budaya organisasi yang khas sebagaimana tujuan yang khas dari lembaga pesantren tersebut.
Pesantren merupakan sekolah Islam dengan sistem asrama (boarding school) . Pesantren merupakan model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren pertama di perkenalkan di daerah jawa sekita 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren mengalami peningkatan yang signifikan dalam perannya mencerdaskan masyarakat.
Pesantren memiliki khas lain adalah kemandiriannya dalam mengelola proses pendidikan santri-santrinya. Dengan model asrama, pesantren melakukan pendidikan dan bimbingan terhadap para santrinya selama 24 jam. Artinya dalam waktu 24 jam itulah santri dalam proses pendidikan dan bimbingan oleh para pendidik yang biasa dipanggil dengan istilah ustadz. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dengan model pendidikan di sekolah biasa yang tidak berasrama.
Tipe pesantren sendiri sangat beragam. Ada tipe pesantren yang hanya mengajarkan khasanah ilmu-ilmu klasik yang terdapat dalam kitab kuning (kutubut turost). Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren salafiyah (pesantren tradisional). Ada tipe pesantren yang kedua yakni yang mengajarkan khasanah ilmu-ilmu kekinian. Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren khalafiyah (pesantren modern). Dan tipe ketiga adalah tipe pesantren yang menggabungkan antara kedua tipe tersebut dan biasa disebut pesantren tipe kombinasi. Klasifikasi pesantren ini tidaklah bersifat mutlak sebab pada prinsipnya apapun jenis pesantren tetap merupakan sebuah institusi Islam yang bertujuan menyiapkan generasi Islam yang siap meneruskan perjuangan dan menegakkan peradaban Islam. tujuan ini lebih penting dan prinsipil dibandingkan wacana klasifikasi pesantren itu sendiri.
Salah satu contoh pesantren dan lembaga pendidikan berasrama yang bertipe modern adalah pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo dan Universitas Al Azhar Mesir. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, kedua lembaga pendidikan Islam tersebut juga memiliki sebuah budaya baik yang disepakati oleh seluruh anggota lembaga secara komitmen sehingga keduanya bertahan lama. Sebab pada faktanya Ada lembaga pesantren yang berumur panjang dan sebaliknya ada pula yang berumur pendek.
Lembaga pendidikan model pesantren adalah salah satu bentuk organisasi non profit. Panjang pendeknya umur sebuah lembaga pendidikan, jika merujuk pada pendapat Fremont , sangat terkait dengan budaya yang dikembangkan. Lembaga pendidikan Darussalam Gontor Ponorogo kini telah berumur 80 tahun atau telah berumur dua generasi, bahkan Universitas Al Azhar Mesir hingga sekarang telah berumur kira-kira 1036 tahun, dibangun sejak masa Bani Fatimiyah. Namun tidak jarang lembaga pendidikan yang baru berumur kurang dari 10 tahun telah “gulung tikar”. Tentu kita sadar bahwa yang dilaksud budaya organisasi pesantren adalah aplikasi dari nilai-nilai keislaman yang tertuang dalam berbagai perilaku organisasi. Budaya organisasi pesantren memiliki muatan ruh keislaman. Inilah yang kemudian membedakan dengan budaya organisasi lembaga lain.
Sedangkan dalam pesantren tradisional metode belajar yang dikembangkan menggunakan sistem bandongan (kyai yang sekaligus pendiri mengajarkan dan membacakan manuskrip keagamaan klasik dan para santri menyimaknya). Metode belajar kedua adalah sorogan yakni kebalikan dari sistem bandongan. Adapun pesantren modern biasanya pelajaran lebih beragam dengan metode yang beragam baik di kelas maupun diluar kelas. Kategorisasi ini tidaklah bersifat permanen. Sebab pada substansinya lembaga pesantren tidak bisa dikategorisasi menjadi modern dan tradisional, sebab hal ini bisa menjadi semacam jebakan epistimologis. Pesantren apapun kekhasan yang dimilikinya adalah lembaga Islam yang berdiri untuk memberikan dedikasinya bagi kemajuan umat Islam dan kebaikan bagi lingkungannya.
Santri secara umum adalah yang tinggal 24 jam di dalam asrama yang bertujuan untuk menggali ilmu-ilmu keagamaan dengan tujuan tafaquh fiddin. Semua pesantren umumnya adalah swasta dibawah naungan yayasan, organisasi atau perseorangan. Pesantren memiliki potensi yang sangat bagus. Dari sisi kuantitas pesantren kini berjumlah lebih dari 21.000 yang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 2. 737.805 jiwa. Dalam sistem pendidikan pesantren kyai sebagai pimpinan pesantren, ustadz, ustadzah sebagai pendidik dan pembimbing. Mereka bekerja dan beraktivitas selama 24 jam mengarahkan para santrinya.
Sebagai lembaga pendidikan yang khas, pesantren menyimpan budaya atau karakteristik yang khas pula. Bagaimana sebenarnya nilai-nilai yang disepakati dalam pesantren yang kemudian menjadi sebuah budaya. Konsepsi budaya yang dikembangkan oleh para ahli juga sangat beragam, sekalipun pada substansinya memiliki muara yang sama. Terkait dengan pesantren dan budaya organisasi, maka akan timbul beberapa pertanyaan mendasar, sebagai berikut : Bagaimana proses sosialisasi budaya organisasi yang dilakukan pondok pesantren kepada para pengurusnya ? Bagaimana gaya kepemimpinan budaya organisasi yang diterapkan oleh para pimpinan di pesantren? Bagaimanana pondok pesantren pada umumnya menerapkan budaya organisasinya ? Bagaimana strategi pesantren dalam membangun budaya organisasi yang kuat untuk menghadapi segala tantangan internal dan eksternal organisasi ? Bagaimana gambaran konsepsi budaya organisasi yang dibangun para pakar ? Apa peran dan fungsi budaya dalam sebuah organisasi ? Bagaimana budaya dan lingkungan bekerja sama ?
Jika kita menilik kerangka pemikiran diatas maka dengan demikian budaya organisasi merupakan faktor penting maju mundurnya dan berkualitas tidaknya, bahkan jaya dan runtuhnya organisasi, apapun bentuk organisasinya. Segala sesuatu yang tidak dimanaje akan berakibat buruk cepat atau lambat, dan sebaliknya segala sesuatu yang dimanaje dengan baik akan lebih bertahan lama, sekalipun sesuatu itu mungkin negatif. Sebab pengelolaan organisasi itu bersifat manusiawi dan memiliki hukum sebab akibat. Karenanya tidaklah mengherankan jika Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan : Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.
Para pimpinan pesantren dan semua struktur pengurusnya sudah harus menakar budaya organisasi yang dibangunnya, apakah memiliki pondasi yang kuat atau masih rapuh. Tema-tema pertanyaan diatas akan dibahas lebih jauh dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini. Pesantren sebagai institusi biasanya memiliki lini-lini bawahan yang dipimpin oleh kepala lini masing-masing. Kebijakan pesantren yang bersifat general mesti dianalisa dan dirumuskan secara lebih sistematis dan terukur oleh para pimpinan lini. Pimpinan lini harus mambangun budaya organisasinya sesuai dengan visi dan kondisi organisasi lini dengan catatan tidak menyimpang dari visi pesantren. Denganb demikian semua komponen organisasi ini harus berjalan sinergi. Pada hakekatnya budaya organisasi pesantren bersifat sistemik sekalipun setiap lini organisasi memiliki keleluasan untuk membangun budaya organisasinya sendiri.

Budaya Organisasi

KONSEPSI BUDAYA ORGANISASI

Ahmad Assastra



Berbagai literatur bidang manajemen dan teori organisasi yang ada, disana telah banyak dibahas mengenai arti budaya organisasi. Walaupun dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tidak ada yang persis sama, namun pada intinya mengandung komponen-komponen yang dominan dan serupa. Budaya organisasi yang dalam bahasa inggrisnya disebut organizational culture. Menurut Soejono dalam Sinaulan istilah culture yang berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan, hal ini merujuk pada pengolahan tanah atau bertani. Dari kata colore ini berkembang menjadi culture yang berarti segala daya dan kekuatan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
Adapun kata kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Sinaulan secara bahasa berasal dari dari bahasa Sansekerta : budhayah, yakni bentuk jamak dari budhi yang berarti akal. Dengan demikian budaya dapat dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan akal. Sedangkan kata budaya menurut Munandar dalam Sinaulan merupakan perkembangan, majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi sehingga dibedakan antara budaya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Dalam teori pengembangan organisasi aspek budaya menjadi pembahasan yang sangat penting. Sebab faktanya budaya sangat berperan dan berpengaruh sangat kuat dalam pencapaian visi sebuah organisasi. Tanpa dukungan budaya yang baik, maka dapat dipastikan sebuah organisasi tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan baik. Demikian pula dalam pencapaian visi organisasi. Hal ini dikarenakan budaya sangat erat hubungannya dengan perilaku manusia. Dalam arti jika perilaku anggota organisasi positif, maka dengan sendirinya akan menjadi sebuah energi positif yang berdampak baik dalam menjalankan organisasi. Hal ini senada dengan pengertian umum budaya menurut Sriwahyu Krisdayati . Menurutnya budaya adalah pola sikap perilaku konsisten, dalam konteks organisasi, budaya diartikan sebagai pola sikap perilaku konsisten tertentu dari seluruh anggota organisasi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert dalam Sinaulan (1995 : 181) merumuskan budaya sebagai “ the complex mixture of assumption, behaviors, stories, myths, metaphors, and other ideas that fit together to difine what is means to be a member of a particular society”. (Budaya sebagai perpaduan yang komplek antara asumsi-asumsi, perilaku, sejarah, mistis, perumpamaan, dan ide-ide lain untuk diusung bersama dan disepakati pengertiannya sebagai bagian dari kelompok). Pengertian budaya sebagai sebuah hasil sebagaimana dikemukakan oleh Hassan dalam Sinaulan yang mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat, berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain kepandaian.
Sedangkan Engkoswara dalam Sinaulan mengutamakan pengertian budaya sebagai sistem nilai dengan mengatakan bahwa budaya adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku dalam kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku.
Dengan demikian makna budaya tidak bisa dipisahkan dengan perilaku. Perilaku dengan bahasa lain adalah sebagai gaya hidup (lifestyle). Budaya sebagai sebuah gaya hidup dikemukakan oleh Franzoi (1996 : 15) yang mengatakan bahwa “ culture is the total lifestyle of people from a particular social grouping, including all the ideas, symbols, preferences, and material objects that they share”. (Budaya adalah totalitas gaya hidup seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok, terkandung didalamnya ide-ide, simbol-simbol, preferensi, dalam bentuk sharing tujuan). Dalam konteks organisasi gaya kepemimpinan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Karenanya style memimpin sangat menentukan kualitas dan kemajuan sebuah organisasi.
Dengan demikian budaya memiliki makna yang sangat luas dan bersifat abstraks maupun non abstrak. Luasnya makna budaya dikemukakan oleh Edward Burnett dan Vijae Santhe dalam Talizidudu Ndraha yang mengatakan bahwa budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat atau menurut bahasa Santhe sebagai seperangkat asumsi yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Budaya sebagai sebuah instrumen solusi atas permasalahan-permasalahan masyarakat dikemukakan oleh Edgar H Schein dalam Pabundu yang mengatakan bahwa budaya adalah pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan atau diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
Merujuk berbagai definisi tentang budaya yang telah dikemukakan diatas bisa diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa budaya merupakan kumpulan nilai oleh anggota masyarakat tertentu untuk dijadikan sebagai tolok ukur perilaku dalam berbagai bidang kehidupan baik yang berupa nilai abstraks maupun yang bisa dilihat dan diraba berupa karya-karya. Ada banyak ragam yang mengiringi teori budaya dari berbagai sudut pandang para pakar budaya. Misalnya teori tentang tingkat budaya, sifat budaya, jenis budaya, level budaya dan karakteristik budaya.
Terkait dengan tingkat budaya jika menggunakan metodologi Hofstede dalam Ndraha dapat diidentifikasi tiga atau lima tingkat budaya : universal, kolektif (kelompok), dan individual (pribadi), atau universal, regional, nasional, lokal, dan pribadi. Schein dalam Ndraha juga menidentifikasi budaya menjadi tiga tingkatan. Ketiganya berkisar antara yang konkret dan yang abstrak. Pertama, artifacts, yaitu struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan. Kedua, espoused values, yaitu tujuan, strategi, filsafat dan ketiga, basic underlaying assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan dan sebagaimana yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Jika dihubungkan dengan nilai dan lembaga dimana nilai itu tertanam, tingkat budaya menurut Ndraha dapat diidentifikasi menurut kejelasan (clarity) nilai, kuantitas dan kualitas sharing (keberbagian) suatu nilai dalam masyarakat, sedalam mana suatu nilai tertanam (dibudayakan) di dalam diri seseorang dan sejauh mana proses budaya berjalan sebagai learning procces. Semakin banyak anggota masyarakat yang menganut, memiliki dan mentaati suatu nilai, semakin tinggi tingkat budaya. Dilihat dari sudut ini , ada budaya global, budaya regional, budaya bangsa, budaya daerah, budaya kelompok, dan budaya setempat.
Terkait dengan sifat budaya, Ndraha dalam buku Teori Budaya Organisasi mengatakan bahwa setiap orang atau kelompok memiliki budaya yang berbeda-beda dan bersifat khas. Budaya an sich itu menurutnya tidak dapat dikatakan sebagai baik atau buruk (beyond moral judgment). Kesan sifat budaya baik dan buruk bahkan konflik timbul tatkala seseorang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain yang budayanya beda dengan menggunakan budayanya sendiri (encorder) tanpa memperhatikan dan menyesuaikan dirinya dengan budaya orang lain itu (decorder). Pendapat ini tidaklah bersifat permanen. Bahkan penulis sendiri tidak sependapat dengan analisa Ndraha. Bagi penulis makna budaya an sich itu tidaklah bebas nilai. Dirinya tetap memuat nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Karenanya budaya itu tidak bebas nilai atau tidak netral.
Fenomena ini dapat dikonseptualisasi menjadi Ketidaknetralan budaya. Budaya itu bersifat tidak bebas nilai dalam arti tidak normatif : ada budaya yang tinggi ada budaya yang rendah, ada budaya yang benar dan ada budaya yang salah. Ada budaya yang miskin tetapi ada budaya kemiskinan. Ada budaya yang baik dan ada budaya yang buruk. Hal ini diakibatkan karena budaya adalah pengejawantahan sebuah nilai yang diyakini oleh sebuah komunitas. Budaya akan terasa lebih baik dan buruk jika ada proses interaksi dua jenis budaya tanpa mau memahami antar kedua budaya tersebut. Sebagai contoh kata “besuk” akan menjadi berbeda jika dilihat dari pemahaman budaya orang jawa dengan pemahaman budaya orang melayu.
Terkait dengan jenis-jenis budaya (organisasi) menurut Robert E Quinn dan Michael R McGrath dalam Pabundu dapat ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya. Berdasarkan proses informasi budaya dapat dibedakan menjadi budaya rasional, budaya ideologis, budaya konsensus dan budaya hirarkis. Sedangkan berdasarkan tujuannya jenis budaya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu budaya organisasi perusahaan, budaya organisasi publik dan budaya organisasi sosial.
Schein dalam Pabundu membagi level budaya organisasi menjadi tiga yaitu pertama, artifak dan kreasi yakni mencakup semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan. Kedua, nilai-nilai, yakni solusi yang muncul dari seorang pemimpin dalam organisasi dengan maksud memecahkan masalah-masalah rutin dalam organisasi tersebut. Ketiga, asumsi dasar, yang merupakan bagian budaya organisasi yang paling utama. Asumsi dasar menjadi jaminan (taken for granted) bahwa seseorang menemukan variasi kecil dalam unit budaya. Dalam asumsi dasar terdapat petunjuk-petunjuk yang harus dipatuhi anggota organisasi menyangkut perilaku nyata, termasuk menjelaskan kepada anggota kelompok bagaimana merasakan dan memikirkan segala sesuatu.
Hatch yang dikutip Pebundu dari buku Organization Theory : Model Symbolic and Post Modern Perspective, memodifikasi level budaya menurut Schein dengan menempatkan simbol disamping artifak, nilai, dan asumsi. Simbol diartikan oleh Hatch sebagai anything that represents a conscious or unconscious association with some wider concept or meaning. Weinberg menambahkan dan memodifikasi level budaya organisasi Schein dengan menambahkan perspektif disamping artifak, nilai dan asumsi. Perspektif dalam arti norma sosial dan peraturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana para anggota organisasi harus berperilaku dalam situasi-situasi khusus.
Adapun budaya dilihat dari sisi karakteristiknya menurut Luthan dalam Purwanto dapat diidentifikasi menjadi 6 karakteristik. Pertama, kebiasaan sikap perilaku yang dapat diamati ketika para anggota organisasi berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi mereka akan menggunakan bahasa, tehnologi dan ritual, yang sama. Kedua, norma-norma, yaitu standar-standar sikap perilaku yang ditetapkan bersama dalam organisasi atau masyarakat. Ketiga, nilai-nilai dominan, yaitu nilai-nilai umum yang sengaja didorong dan menjadi harapan oleh semua anggota organisasi untuk dapat diterapkan. Keempat, filosofi, yakni kebijakan-kebijakan fundamental yang sengaja diciptakan sebagai landasan moral kerja dan kredo atau motto organisasi. Kelima, aturan-aturan main, yakni berbagai aturan yang bisa menjadikan kesadaran untuk menyesuaikan diri dalam menjalankan organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Dan keenam, iklim organisasi, yakni meliputi keadaan atau kondisi psikologis yang terfokuskan melalui hubungan interaksi antar anggota organisasi secara internal maupun eksternal dengan pihak luar organisasi.
Charles Hampden dan Turner dalam Kasali menggunakan istilah korporat dalam melakukan identifikasi karaktristik budaya. Diantara karaktristik budaya korporat adalah sebagai berikut. Pertama, budaya korporat dibentuk oleh keyakinan individu-individu korporat. Kedua, budaya korporat mencerminkan aspirasi anggota-anggotanya. Ketiga, budaya korporat memiliki sosiodinamika. Keempat, budaya korporat memiliki konskuensi. Kelima, budaya korporat sulit dipahami. Keenam, budaya korporat membentuk indentitas, memperkuat image, positioning, dan pencapaian tujuan. Ketujuh, budaya menuntut keseimbangan antara nilai-nilai. Kedelapan budaya korporat ‘belajar’. Kesembilan, budaya adalah pola. Kesepuluh, budaya membentuk hubungan sinergi. Kesebelas, budaya terdiri atas subkultur.
Menurut Robbins dalam Perilaku Organisasi karakteristik budaya dalam tingkat organisasi ada tujuh karakteristik utama. Pertama, inovasi dan pengambilan resiko (Innovation and risk taking). Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko. Kedua, perhatian terhadap detail (attention to detail). Sejauh mana para karyawan diharapkan memperhatikan presis (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail. Ketiga, orientasi hasil (outcome orientation). Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Keempat, orientasi manusia (people orientation). Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di organisasi tersebut. Kelima, orientasi tim (team orientation). Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukan berdasarkan individu. Keenam, keagresifan (agressiveness). Sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. Ketujuh, kemantapan (stability). Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
Adapun tentang organisasi banyak para pakar menawarkan berbagai definisi yang melihat dari berbagai sudut pandang. Organisasi secara bahasa berasal dari kata organ yang artinya bagian tubuh dan mendapatkan akhiran asing isasi yang artinya sistem atau proses.
Dalam mengawali tulisan dalam buku Manajemen edisi II T Hani Handoko mengungkapkan bahwa setiap manusia dalam perjalanan hidupnya selalu akan menjadi anggota dari beberapa macam organisasi, seperti organisasi sekolah, perkumpulan olah raga, kelompok musik, militer maupun organisasi perusahaan. Semua jenis organisasi ini memiliki persamaan dasar, walupun dapat berbeda satu dengan yang lain dalam beberapa hal. Sebagai contoh organisasi perusahaan atau departemen pemerintah dikelola secara lebih formal dibanding kelompok olah raga atau rukun tetangga. Kesamaan mendasar antarorganisasi itu terletak pada fungsi-fungsi manajerial yang dijalankan.
Ungkapan Handoko menunjukkan bahwa betapa pentingnya kedudukan organisasi bagi kehidupan manusia. Tidak mungkin manusia bisa dilepaskan dari kecenderungan untuk berorganisasi. Kecenderungan untuk berorganisasi dilandasi oleh paradigma manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya menurut Stephen P Robbins (2003) dalam bukunya Perilaku Organisasi edisi kesepuluh bahwa kajian organisasi tidak bisa dilepaskan dari ilmu sosiologi yang notabene mempelajari tentang kecenderungan sosial pada setiap individu manusia. Kecenderungan sosial ini direfleksikan dengan membentuk organisasi yang berisi hubungan atau interaksi antar individu untuk meraih tujuan bersama.
Meminjam istilah Warren Bannis sebagaimana telah diungkapkan diawal pendahuluan bahwa kedudukan sebuah organisasi tidak bisa dipandang kecil, karena dengan adanya organisasi orang akan dapat mencapai tujuan bersama sebuah komunitas. Hal ini senada apa yang diungkapkan Prof. Soelaiman Sukmalana, bahwa organisasi didirikan karena satu alasan utama yakni karena organisasi dapat mencapai berbagai hal yang tidak dapat dicapai secara perseorangan
Sedangkan menurut istilah banyak sekali yang mendefinisikan tentang organisasi. Dalam En Carta Dictionary, organisasi dimaknai dengan empat hal yang sekaligus manjadi ciri dari organisasi diantaranya adalah : 1). Group of people indentified by shared interest or purpose. 2) Coordinating of separate elements into a unit of structure. 3). The relationship that exixst between separate element arranged into a coherent whole. 4). Effeciency in the way separate element are arranged into a coherent whole. Dari beberapa ciri diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah sekumpulan manusia yang terikat satu dengan yang lain dalam sebuah struktur untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya sesuatu itu bisa disebut terorganisir dalam En Carta Divtionary adalah ketika existing in a large scale and involving the systematic coordination of many different element and working in a systematic ang affecient way. Dengan kata lain sesuatu itu disebut terorganisir jika terjadi sebuah interaksi dan kinerja yang terkordinasi secara sistemik dari semua elemen yang ada dalam organisai tersebut.
Pada prinsipnya dalam sebuah organisasi adalah sebuah perserikatan. Perserikatan menghajadkan sebuah ikatan. Dengan ikatan-ikatan inilah kemudian orang-orang dalam organisasi itu bekerja untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal senada dikemukakan oleh Malayu SP Hasibuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia. Secara lengkap Malayu SP Hasibuan mendefiniskan organisasi sebagai suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Perserikatan formal dalam organisasi diwujudkan dengan adanya struktur. Struktur apapun bentuknya menjadi sangat penting akan keberlangsungan organisasi. Sebab dalam sebuah organisasi akan terdapat apa yang disebut dengan kewenangan dan tanggungjawab yang bersifat hirarkis.
Struktur organisasi yang hirarkis ini akan membentuk sebuah sistem kerja yang sinergis. Struktur dalam sebuah organisasi (organization structure) akan memberikan manfaat diantaranya adalah sebagai berikut : 1). Pembagian kerja artinya setiap kotak akan mewakili tanggungjawab seseorang atau subunit untuk bagian tertentu dari beban kerja organisasi. 2). Informasi atasan dan bawahan artinya bagan organisasi akan menunjukkan garis komando atau siapa atasan dan siapa bawahan. 3). Jenis pekerjaan yang dilaksanakan artinya uraian kotak-kotak menunjukkan tugas-tugas kerja organisasi atau bidang-bidang tanggungjawab yang berbeda. 4) Pengelompokan bagian-bagian kerja artinya keseluruhan bagan menunjukkan dasar pembagian aktivitas organisasi (atau dasar wilayah, produksi, interprice function, dan lain sebagainya). 5). Tingkat manajer artinya sebuah bagan tidak hanya menunjukkan manajer dan bawahan secara perseorangan, tetapi juga hirarki manajemen secara keseluruhan. 6). Pimpinan organisasi artinya bagan organisasi menunjukkan sistem kepemimpinan organisasi, apa pimpinan tunggal atau pimpinan kolektif.
Prof. DR. Soelaiman Sukmalana, MM memberikan gambarkan bahwa struktur dalam organisasi akan sangat menentukan hubungan resmi dalam sebuah organisasi. Artinya berbagai pekerjaan yang berbeda diperlukan untuk melakukan semua aktifitas organisasi. Ada manajer dan pegawai bukan manajer, akuntan dan perakit. Orang-orang ini harus dihubungkan dengan cara tertentu yang terstruktur agar pekerjaan mereka efektif. Semua hubungan ini menimbulkan berbagai masalah kerja sama, perundingan dan pengambilan keputusan rumit.
Berbagai hubungan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa organisai adalah bagian dari sebuah sistem sosial dan refleksi dari kepentingan bersama. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Soelaiman (2006) bahwa hakekat organisai adalah sebagai sistem sosial dan kepentingan bersama. Dalam konteks ilmu kemasyarakatan organisasi berarti sistem sosial. Definisi ini senada dengan apa yang diungkapkan Robbins dalam Purwanto, dkk (2000) dengan mengatakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja secara terus-menerus untuk mencapai suatu atau sekelompok tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian definisi organisasi Robbins setidaknya mengandung empat hal penting yaitu adanya kesatuan sosial, batasan yang bisa diidentifikasi, keterikatan dan adanya tujuan yang jelas.
Dalam membahas budaya organisasi Robbins (2003) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi dari organisasi-organisasi lain. Pelembagaan budaya diartikan oleh Robbins yaitu ketika organisasi memiliki kehidupan sendiri, terlepas dari para pendirinya atau anggotanya, dan mendapatkan ketenaran dan terlepas dari orang-orang tersebut. Budaya dominan dimaknai sebagai ungkapan nilai-nilai yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi tersebut. Sub budaya dalam sebuah organisasi diberikan arti sebagai budaya kecil didalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis. Sedangkan nilai inti dimaknai Robbins dengan istilah nilai pokok atau dominan yang diterima oleh seluruh orang yang berada didalam organisasi itu.
JR. Schemerhorn dalam Pabundu (2005) mendefinisikan organisasi sebagai kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. (organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose). Carles J Bernand mendefinisikan organisasi sebagai kerjasama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Sedangkan Philip Selznick mendefinisikan organisasi sebagai pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggungjawab.
Organisasi dapat diamati sebagai gejala sosial dari level makro dan bisa juga dilihat sebagai gejala administrasi dari sudut mikro. Menurut Stephen P Robbins dalam Ndraha (2005) mendefinisikan organisasi sebagai a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals. (Kerjasama yang dengan sengaja dilakukan sebuah entitas sosial, dengan pembatasan tertentu yang bersifat relatif, yang secara relatif pula dimaksudkan untuk meraih sebuah tujuan bersama). Definisi ini mirip dengan definisi organisasi yang dikemukakan Warren B Brown dan Dennis J Moberg dengan mengatakan bahwa organisasi adalah relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior. Chester I Bernand mendefinisikan organisasi dengan cooperation of two or more persons, a system of consciously coordinated personal activities or forces. (kerjasa antara dua atau lebih orang yang dengan sengaja membentuk sebuah sistem hubungan dalam melakukan aktifitas tertentu).
Hakekat organisasi sebagai sistem sosial menurut Soelaiman memiliki arti bahwa hubungan antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam organisasi menciptakan pengharapan-pengharapan bagi perilaku individu-individu. Dari pengharapan inilah timbul adanya peran-peran tertentu. Beberapa orang memainkan peran pemimpin dan beberapa orang memainkan peran pengikut. Manajer menengah memainkan kedua peran itu dimana kelompok-kelompok dalam organisasi juga mempunyai dampak kuat pada perilaku individu dan kinerja organisasi.
Adapun hakekat organisasi sebagai refleksi kepentingan bersama memiliki arti bahwa organisasi memerlukan orang-orang dan orang-orang memerlukan organisasi. Organisasi memilki tujuan manusia. Organisasi dibentuk dan dipertahankan atas dasar kebersamaan kepentingan dikalangan anggotanya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa sebuah organisasi berdiri untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan tujuannya organisasi menurut Hasibuan terbagi menjadi dua yaitu organisasi perusahaan (business organization) dan organisasi sosial (public organization). Organisasi perusahaan atau yang sering disebut dengan istilah corporate bertujuan untuk meraih profit atau keuntungan. Tidak ada perusahaan yang tidak ingin untung. Begitulah, sebab profit menjadi fokus tujuan didirikannya sebuah perusahaan. Sedangkan organisasi sosial bertujuan untuk pelayanan dengan prinsip kegiatannya adalah pengabdian sosial, seperti organisasi kenegaraan dan atau organisasi kependidikan.
Jika demikian maka budaya dan organisasi jika disatukan menjadi istilah baru yakni budaya organisasi (organizational culture). Banyak definisi yang terkait dengan istilah budaya organisasi ini. Piti Sithi Amnuai dalam Ndraha (2005) mendefinisikan budaya organisasi dengan a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adabtation and internal integration. (seperangkat asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh para anggota organisasi, yang kemudian dikembangkan dan diwariskan untuk mengatasi segala masalah baik yang terkait dengan adaptasi eksternal maupun integrasi iternal).
Definisi budaya organisasi yang bersifat operasional disajikan oleh Edgar H Schein dalam Ndraha dengan mengatakan bahwa the culture of a group can now be defined as a patern of shared basic assumption that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correc way to perceive, think, and feel in relation to those problems. (Budaya kelompok atau organisasi bisa didefinisikan sebagai sharing asumsi-asumsi dasar yang dipalajari oleh sekelompok orang untuk mengatasi berbagai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang dilakukan sebaik mungkin agar bisa terukur dan agar bisa dipahami oleh anggota baru sebagai sesuatu yang dianggap benar untuk dipikirkan, dan dirasakan dalam hubungan dengan permasalahan-permasalahan yang ada).
Peter F Druicker dalam Ndraha mendefinisikan budaya organisasi sebagai the body of solutions to external and internal problems that has worker consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about and feel in relations to those problem. (Seperangkat solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah internal maupun eksternal yang pelaksanaanya dilakukan secara konsisten oleh suatu sekelompok orang yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru organisasi tersebut sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah yang terkait diatas ).
Soelaiman Sukmalana mendifinisikan budaya organisasi sebagai hasil interaksi fungsi-fungsi manajemen, perilaku, struktur, serta proses organisasi dan budaya lingkungan yang lebih luas tempat organisasi itu berada, yang mempengaruhi perilaku individu-individu atau kelompok-kelompok.
Dalam sebuah organisasi biasanya mempunyai prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Prinsip-prinsip organisasi itu bisa berupa nilai-nilai, konsensus, budaya, sikap, persepsi, komunikasi, dan kepemimpinan. Bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini sangat bergantung pada kebutuhan organisasi yang bersangkutan berdasarkan kesepakatan para anggotanya.
Penamaan prinsip dalam buku ini karena mengacu pada konsepsi baku. Namun pada kenyataannya di lapangan prinsip-prinsip sebuah organisasi bisa dinamakan apa saya sesuai kesepakatan para anggota organisasi itu. Apapun namanya pada substansinya adalah apa yang disebut dengan istilah prinsip-prinsip atau asas-asas organisasi.
Banyak para pakar manajemen yang berbeda pandangan terkait dengan prinsip-prinsip organisasi ini. Keragaman pandangan para pakar manajemen itu bermuara pada satu hal penting bahwa apapun bentuk organisasi harus memiliki prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota untuk menjaga eksistensi, kinerja dan ketercapaian visi organisasi. Apapun prinsip-prinsipnya.
Pada kenyataanya penjagaan terhadap prinsip-prinsip yang disepakati akan sangat berpengaruh pada keberlangsungan organisasi itu. Meminjam bahasa Arie de Geus (1997) keberlangsungan organisasi dengan istilah organisasi yang berumur panjang. Berdasarkan penelitian Arie de Geus ditemukan empat karakteristik organisasi atau perusahaan yang berumur panjang, diantaranya adalah : Pertama, Sensitif terhadap lingkungan : yang dipresentasikan pada kemampuan perusahaan untuk belajar dan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan arah perubahan lingkungan bisnis. Kedua, Memiliki identitas / jati diri yang kuat : yaitu kemampuan perusahaan untuk membangun integritas atau jati diri, yang melekat dan tergambar pada sikap dan perilaku para anggota komunitasnya sehari-hari, sehingga tumbuh sense of belonging yang tinggi terhadap perusahaan. Ketiga, Memiliki sikap toleran terhadap perbedaan dan mampu melaksanakan proses desentralisasi kewenangan berdasarkan rasa saling percaya : yaitu memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan berbagai entitas yang berbeda, baik diantara anggota organisasi maupun dengan institusi di luar perusahaan. Keempat, Melaksanakan manajemen investasi yang rasional : yaitu melaksanakan kebijakan penggunaan uang (khususnya investasi yang berasal dari hutang) dengan hati-hati dan didasarkan pada rasionalitas, bukan spekulasi. Kalaupun terpaksa mereka melakukan pinjaman untuk investasi, mereka sudah menganalisis dengan cermat dan akan disiplin untuk dapat mengembalikan pinjaman atau cicilan dengan tepat waktu.
Dalam sebuah organisasi juga berlaku apa yang disebut dengan nilai. Nilai adalah sebuah pandangan normatif yang menjadi pegangan yang baik dan dikehendaki. Soelaiman Sukmalana mengemukakan setidaknya ada empat tingkat nilai yang berkembang dan melekat dalam sebuah organisasi. Diantara keempat nilai itu adalah sebagai berikut: pertama, Individual value, adalah nilai yang bersifat formal maupun informal yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan organisasi. Kedua, organization value, adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi yang merupakan pertimbangan nilai-nilai dari pada individu kelompok dan organisasi. Ketiga, Value of constutuante the task environment / specific environment, adalah nilai yang dimiliki oleh suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap organisasi. Keempat, culture value, adalah nilai masyarakat yang terdiri dari : a). individual human desired, adalah kebanggaan individu sebagai hak untuk perorangan menjadi suatu prestasi yang dicapai seseorang dan sebagai suatu nilai yang diterima dari masyarakat. b). Individual prepentsity rights, adalah hak akan kecenderungan yang dimiliki olah hak perorangan. c). Acceptance of legitimate authority, yaitu penerimaan dari pihak masyarakat untuk mengakui wewenang formal yang dimiliki seseorang, hal ini berlaku bagi organisasi kecil ataupun masyarakat dari suatu bangsa.
Max Weber dalam Sukmalana mengenalkan prinsip-prinsip organisasi dalam istilah birokrasi model. Didalam kantor atau organisai pemerintahan, menurut Weber, akan tampak model birokrasi yang akan memberi arah jalannya organisasi itu sendiri dan aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi.
Ada enam prinsip dalam birokrasi organisasi menurut Weber, diantaranya adalah , 1). Pembagian tugas yang didasarkan kepada spesialisasi fungsional. 2). Adanya kejelasan tentang hirarki wewenang dalam organisasi. 3). Adanya peraturan-peraturan yang menyangkut hak dan tanggungjawab atau kewajiban bagi masing-masing jabatan. 4). Berlakunya prosedur dan berhubungan dengan pekerjaan yang berlaku dalam organisai tersebut. 5). Hubungan yang terdapat dalam organisasi merupakan hubungan yang impersonal. 6). Promosi dan seleksi harus didasarkan pada kemampuan teknis baik untuk karyawan maupun manajer.
Sedangkan Henry Fayol dalam Robbins seorang ahli manajemen terdahulu yang merupakan seorang industriawan terkemuka Perancis mengemukakan setidaknya harus ada empat belas prinsip-prinsip dalam sebuah organisasi. Keempatbelas prinsip organisai henry Fayol ini ditulis dalam buku berbahasa Perancis berjudul Administration Industrielle et Generale pada tahun 1916. Buku ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sampai tahun 1929 dan tidak beredar secara luas di Amerika Serikat sampai tahun 1949. Pada tahun 1949 buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul General and Industrial management oleh Constance Storrs, Sr Issac Pitman and Sons, Ltd, London.
Keempat belas prinsip organisai Henry Fayol adalah sebagai berikut: 1). Pembagian kerja (Division of work). 2). Kekuasaan dan tanggungjawab, (Autority and responsibility ). 3). Disiplin (dicipline). 4). Kesatuan komando (Unity of Command). 5) .Kesatuan pengarahan (Unity of Direction). 6). Kepentingan individu-individu dibawah kepentingan organisasi (subordination of individual interest to general interest). 7) Pemberian ganjaran pada pegawai (remuneration of personel). 8). Sentralisasi (centralization). 9). Mata rantai (scalar chain). 10). Penempatan (order). 11). Persamaan (equity). 12). Stabilitas seseorang melakukan tugasnya (stability of tenture of personal). 13) Inisiatif (initiative). Dan 14). Kerja sebagai sebuah tim (Esprit de corps)..