Selasa, 18 Oktober 2016

BARAT DAN ISLAM MODERAT

*BARAT DAN ISLAM MODERAT*

Ahmad Sastra

Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan  Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dnegan lahap. Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika,  lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri. Islam Allah dan Rasulullah akan berubah menjadi Islam Barat.
Hermeneutika sebagai produk neomodernisme Barat telah melahirkan neosinkretisme Islam. Neosinkretisme Islam oleh kalangan kampus sering disebut dengan istilah pemikiran Islam modern. Beberapa “pemikiran Islam modern” yang kini tengah merasuki kaum akademisi dan intelektual muslim adalah istilah-istilah “aneh” sebagai hasil interpretasi epistemologis para sarjana studi Islam. Sebut saja misalnya istilah Islam nusantara, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam inklusif, Islam kebhinekaan, Islam progresif, Islam liberal, Islam sekuler, dan Islam dengan sifat isme-isme lainnya
Istilah-istilah di atas sesungguhnya selain tidak ditemukan jejaknya dalam khasanah sumber hukum Islam, istilah ini juga telah berhasil mengkotak-kotak Islam yang berpotensi menjadi pemicu pecahnya persatuan umat Islam. Bukan hanya itu, kini muncul juga kajian-kajian fiqih kontemporer yang tak kalah membingungkan seperti fiqih lintas agama dan fikih kebhinekaan. Perbedaan ijtihad fiqih ulama-ulama otoritatif terdahulu seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hambali bahkan kini dihadap-hadapkan dengan berbagai tuduhan bid’ah dan syirik satu sama lain. Bahkan terjadi juga gerakan intelektual yang menggugat fundamental Islam yang telah baku seperti gugatan ulang terhadap wajibnya haji, gugatan terhadap otensitas dan kandungan isi al Qur’an hingga pelarangan jilbab di sekolah-sekolah.

Menjadi Muslim Sejati
“Islam produk Barat”, mungkin bukan istilah yang tepat dalam menilai perkembangan pemikiran keagamaan ini. Namun, faktanya Barat telah menyebarkan paham-paham aneh yang dikaitkan dengan Islam. Barat yang dimaksud bukanlah letak geografis, melainkan Barat dalam makna pemikiran, ideologi dan peradaban yang sekuleristik dan kapitalistik. Pandangan ini menghendaki Barat harus dikritisi dan bahkan dilawan, karena dianggap sebagai neoimperialisme.  Barat, oleh seorang muslim  juga sering dianggap sebagai kiblat kemajuan teknologi dan kecanggihan metodologi penelitian.
Oleh Barat, pandangan pertama diberikan julukan sebagai muslim fundamentalis atau radikalis yang harus dimusuhi bahkan diberangus karena dianggap mengancam hegemoni Barat.  Sedangkan pandangan kedua diberi julukan  sebagai muslim moderat yang harus didukung eksistensinya karena dianggap mendukung dan menguntungkan Barat.
Semestinya seorang muslim melihat Barat dalam sudut pandang Islam yang obyektif, kritis dan syar’i. Barat sebagai ideologi sekuleristik dan imperialistik yang jelas-jelas telah merugikan sebagai besar negeri-negeri muslim jelas harus dilawan. Sementara terkait kemajuan teknologi, masih dalam ranah yang diperbolehkan mengadopsinya.  Sebab jika seorang muslim memandang Barat dari sudut pandangan Barat, maka identitas Islam sebagai peradaban dan muslim sebagai komunitas menjadi kabur. Cara pandang muslim dan sisi-sisi konseptual peradaban Islam terdistorsi oleh cara pandang ini. Selain hilangnya identitas kemusliman, cara pandang ini tidak memberikan sumbangan terhadap kemajuan Islam itu sendiri.
Karena itu, seorang muslim mesti berfikir cerdas untuk menyikapi pelabelan istilah-istilah Barat setelah kata Islam. Pelabelan dengan istilah muslim moderat atau muslim radikal dimaknai oleh Barat bahwa jika seorang muslim tidak mendukung Barat, maka akan dicap sebagai muslim radikal yang harus dimusuhi. Ironisnya, banyak kaum muslimin  yang mengikuti arus ini, sehingga terjadi kondisi kaum muslimin yang saling mencurigai dan bahkan memusuhi antar sesama muslim. Pelabelan istilah Barat terhadap kata Islam adalah politik adu domba Barat yang harus disadari oleh seluruh kaum muslimin di dunia.
Dalam pandangan al Qur’an, Islam adalah satu. Agama tauhid yang dibawa oleh Rasulullah. Agama sempurna yang meliputi seluruh ajaran kehidupan manusia. Agama kebenaran dan pelurus agama-agama yang telah tersimpangkan. Pelabelan Islam minimal akan mereduksi makna Islam yang komprehensif, maksimalnya justru akan menghilangkan hakekat Islam itu sendiri. Allah menegaskan dalam surat Ali Imran : 19, “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Menjadi seorang muslim berarti menjadi manusia sesungguhnya (insan  kamil) yang memiliki pola fikir dan pola sikap yang sejalan dengan hukum-hukum Allah. Menjadi seorang muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kebajikan dan mencegah setiap bentuk kezaliman. Menjadi seorang muslim berarti menjadi seorang yang senantiasa menjalin persatuan dan kesatuan seluruh kaum muslimin di dunia, tanpa terjebak kepada sekat nasionalisme, sebab Islam adalah transnasional.
Muslim sejati adalah muslim kaaffah yang berjuang tegaknya supremasi hukum Allah di muka bumi. Sebab Islam adalah agama sekaligus sistem peradaban. Islam dalam perspektif sistem politik, ekonomi, pendidikan, budaya, keamanan, dan kemasyarakatan adalah sistem terbaik yang ada di muka bumi. Penerapan hukum-hukum Islam  secara kaffah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan seluruh manusia. “ Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan  benar; dan Tiadalah Allah berkehendak untuk Menganiaya hamba-hamba-Nya” *(QS Ali Imran : 108)*
Jaminan kesejahteraan lahir batin telah ditegaskan oleh Allah melalui janjiNya dalam surat an Nuur : 55, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”.
Karena itu, muslim adalah sebuah identitas permanen yang terbentuk dari interaksi dengan sumber hukum Islam yang murni dan holistik. Akan hilang identitas seorang muslim jika telah terkontaminasi oleh virus-virus pemikiran Barat. Akan hilang juga identitas seorang muslim jika mengadopsi Islam secara parsial. Identitas kepribadian Islam adalah perwujudan dari Islam yang murni sekaligus menyeluruh. Dalam al Qur’an, identitas muslim sejati diindikasikan dengan keimanan, ketaqwaan dan amal sholeh.
Jika suatu negeri telah diisi oleh suatu kaum yang memiliki kepribadian Islam kaffah, maka Allah akan menghadirkan sebuah keberkahan hidup yang tiada tara, “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah  Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” *(QS Al A’raf : 96)*
Jika demikian, umat Islam  tak perlu menjadi moderat jika ingin  ingin berbuat  baik, santun dan ramah kepada seluruh manusia, meski beda agama. Sebab Islam memang mengajarkan kebaikan dan memiliki pandangan sendiri terkait sikap terhadap orang lain. Umat Islam juga tidak perlu menjadi radikal jika jika ingin bersemangat memperjuangkan Islam, sebab Islam memang harus diperjuangkan dengan cara-cara yang dicontohkan Rasulullah, yakni dakwah hingga tegaknya supremasi hukum Allah di tengah-tengah masyarakat.
Sebab istilah moderat atau  radikal adalah jebakan Barat untuk memecah persatuan kaum muslimin. Yang terpenting adalah menjadi seorang muslim sejati yang kaaffah dan terus membendung virus  pemikiran Barat yang merugikan kaum muslimin. Allah telah memilih kaum muslimin sebagai umat terbaik. Allah telah menurunkan kebaikan untuk seluruh manusia agar kaum muslimin menjadi saksi atas hal itu.
Perhatikan firman Allah, “ Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa”. *(QS An Nahl : 30)* dan “ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.   *(QS Al Baqarah : 143)*
Islam adalah agama yang satu dan umat Islam juga umat yang satu. Islam yang benar adalah Islam Allah dan Rasulullah. Islam tidak perlu mendapatkan label dan sifat yang justru akan mereduksi kesempurnaan Islam itu sendiri. Sementara umat Islam bisa jadi memiliki berbagai perbedaan seiring kapasitas yang dimiliki. Jika terpaksa menggunakan istilah moderat, sematkan kepada muslimnya bukan Islamnya. Meski sejak awal telah disebutkan bahwa istilah moderat  bukan berasal dari khasanah epistemologi Islam, melainkan dari Barat. Fakta yang tidak terelakkan adalah bahwa dengan berbagai label Barat ini, kaum muslimin semakin terpolarisasi menjadi berbagai kelompok yang saling bertentangan dan terpecah. Semestinya hal ini disadari oleh para cendekiawan muslim di Indonesia.
Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas dari para cendekiawan muslim, pertama kali harus diorientasikan untuk membangun masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan manhaj Allah. Ketika masyarakat telah mengalami kerusakan total, ketika jahiliyah telah merajalela, ketika masyarakat dibangun dengan selain manhaj Allah dan ketika bukan syariat Allah yang dijadikan asas kehidupan, maka usaha-usaha yang bersifat parsial tidak akan ada artinya. Ketika itu usaha harus dimulai dari asas dan tumbuh dari akar, dimana seluruh energi dan jihad dikerahkan untuk mengukuhkan kekuasaan Allah di muka bumi. Jika kekuasaan ini telah tegak dan kuat, maka amar ma’ruf dan nahi munkar akan tertanam sampai ke akar-akarnya “
Dakwah ini memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari orang lain lain (baca : Barat). Jangan menuruti mereka, meski  jumlahnya sangat banyak.
Perhatikan firman Allah, “ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah *(QS Al An’am : 116)*

GAGASAN

TUGAS INTELEKTUAL MUSLIM

Ahmad Sastra

Indonesia, negeri zamrud katulistiwa yang dianugerahi Allah kekayaan alam yang sangat melimpah. Tidak ada negara di dunia yang memiliki kekayaan alam seperti di Indonesia. Itulah kenapa dari dulu Indonesia selalu menjadi incaran para kolonial, baik kolonialisme gaya lama maupun penjajahan gaya baru. Sementara Indonesia sendiri tidak pernah berdaulat secara ideologis yang menyebabkan bangsa ini mudah diintervensi bahkan dijajah oleh bangsa lain, dari dulu hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan negeri ini tidak memiliki martabat. Dalam istilah  martabat terkandung nilai kemuliaan, keadaban, kemandirian, kehormatan, dan bahkan disegani oleh orang lain.  
Psikologi keterjajahan bangsa ini telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para cendekiawan muslim dengan gagasan dan pemikirannya. Sebab tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut  Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah. Quo Vadis intelektual muslim ? 
   Dalam Al Qur’an  kalimat yang paling banyak diulang yakni sebanyak 31  kali dengan redaksi yang persis sama adalah kalimat yang berkaitan dengan nikmat dan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Allah menekankan kalimat itu dengan sebuah pertanyaan, “  Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?. Seolah mengindikasikan sebuah sikap yang tidak adanya rasa syukur dalam diri manusia.  Sebab faktanya kebanyakan manusia tidak mensyukuri nikmat dan anugerah  yang diberikan Allah yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Ketidaksyukuran manusia kepada Allah direfleksikan dengan pengabaian nilai dan hukum Allah dalam mengelola bumi dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya yang terkait dengan bidang ekonomi. Pengabaian itu juga terjadi dalam mengelola manusia dalam pola fikir dan pola sikapnya yang terkait dengan bidang sosial, budaya, politik, hukum dan pendidikan. Allah mengingatkan sekaligus  mengancam  kaum muslimin yang abai terhadap peringatan dan hukum Allah dalam surat Thahaa : 124, “ Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta".
Diantara ayat-ayat pertanyaan tentang kenikmatan yang diberikan kepada manusia dalam surat Ar  Rahman , Allah membeberkan berbagai fenomena kosmos, sains  dan hubungannya dengan teologi. Adalah penting dan mendesak merealisasikan Islam rahmatan lil’alamin dalam perspektif  peradaban bermartabat yang mampu menjadikan bumi Indonesia ini terjaga, maju dan mensejahterakan rakyat, bukan peradaban sekuler apalagi komunis yang anti terhadap aspek teologis. Akibatnya,  kini bumi Indonesia diambang kerusakan ekologis dan sosiologis. Padahal Allah telah menata sedemikian sistemik dan sistematis.
Bahkan Allah mengingatkan dalam surat al A’raaf : 85, “ dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". Inilah karakteristik epistemologi Islam yang mengintegrasikan antara fenomena kosmos, sains dan teologis sekaligus. Dalam perspektif inilah peran strategis cendekiawan muslim menemukan relevansinya. Sebab menyandang gelar cendekiawan dan muslim sekaligus berarti mengintegrasikan sains dan teologi secara bersamaan. Cendekiawan muslim bukanlah cendekiawan sekuler parsial namun integratif holistik.
Peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristik dan ateisitik telah melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan  destruktif  demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi ala Barat sekuler hanya berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral. Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan  sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam surat ar Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Ada sebuah pertanyaan yang mendasar sekaligus keprihatinan yang mendalam, kenapa bangsa  mayoritas muslim ini belum memiliki kedaulatan dan martabat. Umat Islam yang dahulu mencapai puncak kejayaan peradaban, kini hanya tinggal kenangan. Kaum muslimin  tak lagi menjadi bangsa  yang disegani, sebagaimana dahulu semasa Rasulullah. Islam dan kaum muslim saat itu dan beberapa abad setelahnya begitu disegani oleh siapapun karena kemajuan di bidang sains teknologi, ekonomi, budaya  dibawah kekuatan teologinya. Padahal Rasulullah oleh Michael D Hart digambarkan sebagai sosok paripurna peletak peradaban agung, " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.." 
Hilangnya kedaulatan dan martabat  ini bermuara pada terpisahnya sains, kosmos dan teologi dari setiap diri muslim. Singkatnya adalah karena sekulerisasi yang telah merasuk ke dalam pikiran dan jiwa kaum  muslimin di semua bidang kehidupan seperti sains, politik, budaya, ekonomi,  pendidikan, dan sosial.  Keprihatinan inilah yang kemudian memunculkan ide untuk menyiapkan kader-kader umat terbaik yang akan meneruskan penegakan kembali peradaban Islam yang telah lama runtuh. Kini umat sedang tidur, namun tidurnya terasa terlalu panjang. Mesti ada kader umat yang menjadi pelopor yang menggali dan mencari mutiara yang hilang. Pemikiran Islam yang dulu menguasai dunia adalah mutiara paling berharga yang harus 'direbut' kembali. Kader pelopor kebangkitan peradaban Islam inilah yang disebut cendekiawan muslim dalam arti yang luas.
Islam adalah manhaj kehidupan bagi kebaikan manusia seluruhnya sebab ia berasal dari sang Pencipta manusia. Islam adalah manhaj kehidupan yang realistik, dengan berbagai susunan, sistematika, kondisi, nilai, akhlak, moralitas, ritual dan begitu juga atribut syiarnya. Ini semuanya menuntut risalah ini ditopang oleh power kekuasaan yang dapat merealisasikannya. Ditopang oleh manusia-manusia amanah dengan ketundukan jiwa secara bulat kepadanya, disertai ketaatan dan pelaksanaan. Allah menegaskan kemuliaan hukumNya dalam surat Al Maidah ayat 50, “ Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
Karena itu tugas seorang yang menyandang gelar cendekiawan muslim tidaklah ringan di mata Islam. Seluruh cendekiawan muslim, ilmuwan muslim dan para ulama terdahulu telah dengan gamblang memberikan contoh bagaimana mereka menghabiskan waktu demi meraih kemuliaan dan martabat Islam dan kaum muslimin sebagai sebuah bangsa. Dengan seluruh potensi yang dimiliki, para pendahulu telah menoreh sejarah kegemilangan kemajuan Islam yang adil dan beradab bagi seluruh manusia tanpa memandang ras, agama, suku, warna kulit dan bahasa.
Usaha bijak dan pengorbanan yang cerdas para cendekiawan muslim pertama kali harus diorientasikan bagi pembangunan masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang dibangun di atas manhaj Allah. Hal ini relevan dengan kondisi masyarakat negeri ini yang semakin mengalami degradasi sains dan moral. Usaha ini memerlukan keimanan  dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Para cendekiawan muslim harus berani memikul tanggungjawab besar ini tanpa menunggu imbalan duniawi jika masih ingin melihat bangsa ini bangkit dan bermartabat. Bukankah Allah sendiri yang mengkaitkan keimanan suatu masyarakat dengan kesejahteraan dan keberkahan kehidupan, “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.  (Qs Al A’raf : 96).
Menjadikan Islam sebagai dasar manhaj berfikir dan bertindak menuju bangsa yang bermartabat bukanlah jalan yang pendek dan mudah. Usaha besar ini membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang berkesinambungan. Para cendekiawan muslim mesti berhenti sejenak untuk merenungkan langkah-langkah strategis fundamental yang genuine dan tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Jika konsisten, gerakan peradaban cendekiawan muslim ini, dengan izin Allah akan membawa bangsa ini lebih bermartabat dalam arti yang sesungguhnya. Meski harus disadari juga, bahwa sampai kapanpun kebangkitan peradaban Islam akan terus menuai hambatan dan ujian.
Berapa lama para cendekiawan muslim  di Indonesia khususnya akan mampu mengukir bangsa yang bermartabat tidaklah penting. Sebab Allah akan menilai prosesnya bukan hasilnya. Ada baiknya direnungkan apa yang dikatakan oleh Ahmad Y al- Hasan, " Marilah kita meletakkan skenario hipotesis : jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu, dan jika para ilmuwan muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton?. Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astronomer-astronomer muslim yang sekualitas  Copernicus dan  yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistem Heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis di bawah skenario hipotesis ini". 
Kesadaran mendalam untuk terus memberikan  arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum cendekiawan muslim yang lurus. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan[].