Senin, 28 Juni 2010

MERANCANG EFISIENSI ORGANISASI

MERANCANG EFISIENSI ORGANISASI

AHMAD ASSASTRA

Rasanya baru kemarin kita datang dan bergabung ke Darul Muttaqien. Rasanya kita baru kemarin menginjakkan kaki pertama kali untuk ikut berjuang di Darul Muttaqien. Begitulan karakter waktu, berlalu sangat cepat. Duapuluh satu tahun (21) sudah bersama-sama merasakan suka duka berjuang di lembaga pesantren ini. berbagai tantangan dan cobaan tidak akan pernah berhenti. Bahkan semakin tinggi keimanan seorang muslim, maka akan semakin besar ujian dari Allah. Satu-persatu para pejuang pesantren ini telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Sesungguhnya kita juga akan menyusul dan kini sedang menunggu giliran, cepat atau lambat. Namun demikian, alhamdulillah kita masih istiqamah dan masih diberikan umur panjang hingga hari ini.
Lihatlah cermin kehidupan para Nabi dan Rasul, yang sepanjang hidupnya justru diwarnai dengan berbagai ujian dan cobaan yang sangat berat. Padahal mereka adalah hamba-hamba terbaik yang dijamin masuk syurga. Sepanjang hidup mereka diwarnai dengan karya dan prestasi terbaik bagi umat dan dunia. Itulah kenapa para Nabi dan Rasul senantiasa di kenang, sekalipun telah ribuan tahun meninggal. Pertanyaannya adalah : sudahkah kita mewarisi para Nabi dan Rasul ? Sudahkan kita mengukir karya dan prestasi terbaik untuk umat dan dunia seperti mereka. Tidak ada istilah terlambat dalam mengukir kebaikan. Kinilah saatnya kita meneguhkan ulang cita-cita perjuangan umat dan dunia melalui lembaga pesantren Darul Muttaqien ini.
Pesantren adalah salah satu entitas sosio-pendidikan yang berdiri untuk berhitmat kepada umat dan bangsa. Pesantren tidak akan bisa dilepaskan dari umat dan bangsa. Maju mundurnya umat Islam di masa mendatang sangat bergantung pada kualitas pendidikan hari ini. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan kebutuhan papan, sandang dan pangan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama.
Pada awal tahun 1972 ketika program life long education sedang disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini sudah disuarakan oleh Edgar Faure, ketua The Internasional Commission for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting. SDM yang bermutu merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya, SDM yang buruk secara pasti akan melahirkan masyarakat yang buruk juga.
Hanya saja kita melihat pendidikan di negeri ini sangat jauh dari yang diharapkan, bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Indek kualitas SDM negeri ini masih dibawah malaysia. Sistem pendidikan di negeri ini belum mampu melahirkan manusia yang cerdas dan mulia. Para pelajar yang terlibat tawuran, narkoba dan pergaulan bebas mengindikasikan hal tersebut.
Apalagi jika kita menfokuskan pada pendidikan agama dan keagamaan (baca : Islam). Tentu kita semua sadar bahwa umat islam yang telah ditegaskan dalam Al Qur'an sebagai umat terbaik menunjukkan fakta yang berseberangan 180 derajat. Umat Islam dalam keterpurukan yang dalam. Pendidikan agama dan keagamaan telah keluar dari orbit. Pendidikan agama dan keagamaan tak lagi mampu merepresentasikan Islam sebagai sebuah peradaban.
Rasulullah sebagai seorang nabi juga sebagai seorang guru. Inni bu'istu mualimman. Sesungguhnya Rasulullah diutus untuk menjadi guru dalam arti yang luas. Sebab faktanya dari tangan Rasulullah telah lahir generasi-generasi terbaik umat. Dari tangan Rasulullah inilah lahir para generasi muslim perancang dan penegak kejayaan peradaban islam yang agung. Dari tangan mereka Islam menjadi sebuah kekuatan dunia yang mampu memimpin dunia dengan kemuliaan ajaranya. Islam menjadi sebuah peradaban yang agung selama berabad-abad.
Pengaruh perdaban agung yang dibawa Islam telah diakui oleh sejarah selama berabad-abad. Bahkan ketika bangsa Eropa masih dalam kegelapan, Islam telah menjadi sebuah peradaban yang maju dan cemerlang. Hart D Michael salah seorang ilmuwan Barat memberikan sebuah pengakuan ".... kesatuan tunggal yang tidak ada tandingannya dalam mempangaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan merupakan hal mamapu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi umat manusia ".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, kenapa umat Islam kini semakin terpuruk ?. Kenapa Islam tak lagi mampu menjadi sebuah peradaban agung yang memimpin dunia ?. Mengapa pendidikan Islam tak mampu lagi melahirkan generasi-generasi muslim terbaik ?. Ada apa dengan pesantren ? Adakah pendidikan Islam telah mengalami disorientasi ?. Mengapa yang lahir sekarang justru para generasi muslim yang sekuler dan liberal ?.

Menyoal Kembali Paradigma Pendidikan Nasional
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar dunia harus diakui bahwa kualitas SDMnya masih tertinggal. Menurut Din Syamsuddin, ketertinggalan SDM Indonesia (baca : umat Islam) bisa dilihat dari dua indikasi (1). Masih terdapat kesenjangan antara kualitas dan kuantitas umat Islam dan (2) umat Islam belum sepenuhnya memainkan peranan penting di pentas Nasional maupun Internasional. Jika demikian tidak terlalu salah bila Prof. WF Wertheim dari Belanda mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah 'golongan mayoritas dengan mentalitas minoritas" atau menurut Donald Emmerson dengan istilah ' minoritas aktif dalam mayoritas bilangan'. Bahkan seorang kolonel Belanda pada zaman penjajahan pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa kuli.
Fakta kualitas SDM Indonesia sebagai hasil dari Sistem Pendidikan Nasional masih jauh panggang dari api. Dari sisi keahlian SDM di tingkat ASEAN kecuali Singapura dan Brunai Darusalam, Indonesia masuk dalam kategori negara yang indek pembangunan manusianya (IPM) di tingkat medium, atau tingkat 6 negara ASEAN, satu tingkat diatas Myanmar, Laos dan Kamboja. Bahkan indek pendidikan Vietnam - yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia – ternyata lebih baik.
Prestasi India dalam pendidikan dan teknologi sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-banyangi pengusiran dan pemerkosaan TKI di luar negeri, banyak orang India yang mendapat posisi bergengsi di pasar kerja internasional. Di Amerika 30 % dokter berasal dari India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi sekolah bisnis paling top di AS. Sekitar 40 % pekerja microsoft berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia adalah pendidikan yang sekuleristik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, adfokasi, keagamaan dan khusus. Dalam pasal ini jelas tampak adanya dikotomi pendidikan agama dan umum. Sistem pendidikan yang dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang berkepribadian mulia sekaligus mampu menjawab tantangan global.
Tentu menjadi fenomena yang sangat paradok ketika membaca tujuan pendidikan nasional yang bercita-cita melahirkan manusia yang cerdas , beriman dan bertaqwa dikaitkan dengan kenyataan kondisi pelajar yang justru sebaliknya. Secara de facto produk pendidikan nasional (sekalipun tidak semuanya) yang dikomandoi Departemen Pendidikan Nasional terbukti melahirkan generasi cerdas dalam ranah intelektual namun minus dalam ranah moral dan spiritual. Beberapa bulan yang lalu diberitakan di Radar Bogor ada sejumlah siswa SMA yang dirazia dan digeledah polisi, dalam tas mereka ditemukan HP dengan tayangan video porno, senjata tajam dan kondom. Ironis, ini adalah malapetaka pendidikan di negeri ini.
Inilah akibat jika sistem pendidikan menjauh dan membuang nilai-nilai agama sebagai paradigma (sekuler). Jika sebuah negara tidak dibangun diatas landasan nilai-nilai agama yang mulia, maka yang akan terjadi adalah sebuah kehancuran dan bebobrokan. Karenanya MUI dengan tegas mengeluarkan fatwa haram untuk liberalisme, sekulerisme dan pluralisme agama. Sebab kemajuan teknologi yang tidak diikuti oleh kualitas moral melahirkan manusia-manusia rakus dan merusak. Dari ulah tangan merekalah telah terjadi kerusakan di darat dan di laut. Dalam konteks inilah departemen agama mestinya melakukan langkah kepeloporan untuk mereformasi sistem pendidikan nasional yang sekuleristik menjadi satu kesatuan sistem pendidikan nasional dilandasi oleh nilai-nilai luhur agama Islam. Sebagaimana telah dicontohkan oleh kanjeng nabi Muhammad SAW. Bukankah umat Islam mayoritas. Berarti secara demokratis umat Islam berhak mengatur sistem pendidikan nasional berbasis nilai islam. Adakah ini sebuah utopia. Setidaknya ini adalah harapan kita, demi masa depan generasi yang cerdas dan bermoral.

Pendidikan Agama Islam dalam Kubangan Dualisme Kebijakan
Pemberlakuan UU No 22 tahun 2009 tentang otonomi daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang perimbangan kewenangan pemerintah propinsi sebagai daerah otonomi berpengaruh terhadap sektor pendidikan. Kedua UU ini belum bisa menjadi instrumen untuk menyatukan paradigma pendidikan nasional berbasis nilai luhur Islam. Yang terjadi justru sebaliknya, semakin jauh dari yang kita idealkan. Sesungguhnya otonomi daerah perlu ditinjau kembali sebab tidak semua daerah mampu mengelola daerahnya, terutama kualitas SDMnya. SDM inilah yang menjadi kekuatan inti keberhasilan otda. Sebab merekalah yang akan mengelola SDA yang ada. . Otonomi daerah yang tidak siap juga berpotensi memicu praktek KKN yang lebih parah. Praktek otonomi daerah juga telah terbukti memicu kerawanan sosial. Kasus terbunuhnya ketua DPRD Sumatera Utara menguatkan hal itu.
. Secara kelembagaan paradigma sekuleristik pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, menengah, kejuruan dan perguruan tinggi dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ada kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ranah iptek dilakukan oleh depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Paradigma pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama dipandang sebagai entitas yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Bagaimana mungkin Sisdiknas akan melahirkan manusia yang cerdas beriman dan bertaqwa jika pada Bab X pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan yang tidak proporsional dan tidak dijadikan sebagai landasan bagi bidang mata pelajaran yang lain.
Dengan demikian depdiknas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasionalnya sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jelas yang menjadi akar masalah adalah asasnya yang sekuleristik yang berefek para struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguatan kepekaan spiritual dan pembentukan kepribadian mulia.
Adapun yang terjadi di madrasah sebagai basis pendidikan Islam yang terjadi juga tidak jauh berbeda. Porsi pelajaran agama belum proporsional dan tidak menjadikan paradigma Islam sebagai landasan pemikiran dalam mengkaji ilmu-ilmu saint. Akibatnya ilmu-ilmu saint di madrasah kering dengan nilai-nilai. Seolah ilmu umum tidak ada landasannya dalam Islam. Padahal bukankah para ilmuwan muslim seperti Ibn Sina adalah produk pendidikan Islam yang integralistik. Bagaimana mungkin madrasah hari ini mampu melahirkan Ibn Sina abad 21 jika yang diberlakukan di madrasah justru dikotomistik.
Namun demikian, Penyetaraan pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum yang tertuang dalam PP No 55 tahun 2007 sesungguhnya belum menuju kepada kondisi ideal yang kita inginkan sebagai umat Islam pengusung peradaban dan kejayaan. Namun demikian PP/55/2007 ini setidaknya menjadi pemicu bagi depag dan madrasah untuk melakukan revitalisasi kurikulum pendidikan agama dan keagamaan sebagai basis paradigma penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab ini adalah peluang dan tantangan tersendiri bagi umat Islam yang ingin membangun generasi unggul masa depan. Disinilah pesantren harus mampu mengambil peran strategis, sebab ini adalah peluang sekaligus tantangan.
Disinilah posisi pendidikan agama dan keagamaan tampak sangat dilematis. Dualisme kebijakan pendidikan oleh Depag di satu sisi yang hanya mengedepankan moral dan depdiknas yang mengembangkan iptek an sich disisi lain telah berpotensi melahirkan generasi muslim yang tidak berkualitas. Pelajar muslim yang sekolah umum maupun madrasah keduanya menjadi generasi setengah-setengah. Dengan kata lain menjadi ulama bukan, ilmuwan juga tidak. Generasi muslim hasil sistem pendidikan yang ada menjadi generasi bukan-bukan. Hal ini diakibatkan oleh sistem bernegara kita yang bukan-bukan juga. Mestinya generasi yang dilahirkan dari rahim sistem pendidikan ini adalah generasi yang ulama dan ilmuwan sekaligus. Generasi yang berilmu sekaligus berakhlak. Indonesia, seperti disinyalir oleh Hidayat Nur Wahid adalah negara yang bukan-bukan. Indonesia tidak berideologi kapitalis seperti Amerika, juga bukan berideologi sosialis seperti China dan parahnya lagi, Indonesia juga bukan negara yang berideologi Islam. Patut dipertanyakan, hendak kemanakah bangsa ini sebenarnya ?. Adakah masa depan cerah bagi negara bukan-bukan seperti Indonesia ini ?.

Berguru pada Generasi Muslim Terbaik
Kejayaan umat terdahulu telah menggoreskan kegemilangan dalam berbagai bidang kehidupan baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Berbagai peninggalan sejarah telah membuktikan hal tersebut. Selama kurang lebih 1000 tahun Islam telah memimpin dunia dengan landasan aqidah yang lurus. Dari sinilah kemudian lahir sebuah tatanan kehidupan yang penuh kemuliaan dan kemajuan. Ideologi Islam telah menjadi sumber kejayaan yang tidak pernah terbantahkan.
Semangat dan kesungguhan juang para pendahulu kita mestinya hari ini mampu menjadi daya ungkit dan pemicu motivasi kita untuk mewarisinya. Keberanian dan kemuliaan Nabi Muhammad di medan perang, kesungguhan Imam Syafe'i dalam menggali ilmu, kegagahan Uqbah bin Naafi dalam memimpin pasukan Islam, keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib, ketegasan Umar bin Khatab, dan kesungguhan para ulama terdahulu dalam menggali dan mengkaji khasanah keilmuwan Islam tercatat dengan jelas dalam lembaran sejarah.
Pada masa kejayaan Islam inilah, lahir para ilmuwan muslim yang telah menjadi inspirasi dan sumber rujukan para ilmuwan barat kini. Di bidang matematika kita mengenal Al Khawarizmi, Abu Kamil Suja', Al Khazin, Abu Al Banna, Abu Mansur Al Bagdadi, Al Khuyandi, Hajjaj bin Yusuf dan Al Kasaladi. Di bidang Fisika kita mengenal Ibnu Al Haytsam, Quthb Al Din Al Syirazi, Al Farisi dan Prof. Dr Abdus Salam. Dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, Izzudin Al Jaldaki, dan Abul Qosim Al Majriti. Dalam bidang biologi ada Ad Damiri, Al Jahiz, Ibnu Wafid, Abu Khayr, dan Rasyidudin Al Syuwari. Dalam bidang kedokteran ada Ibn Sina, Zakariyya Ar Razi, Ibnu Masawayh, Ibnu Jazla, Al Halabi, Ibnu Hubal dan masih banyak lagi. Dalam bidang astronomi kita mengenal Al Farghani, Al Battani, Ibnu Rusta Ibnu Irak, Abdul Rahman As Sufi, Al Biruni dan tokoh ilmuwan muslim lainnya. Dalam bidang geografi kita mengenal Ibnu Majid, Al Idrisi, Abu Fida', Al Balkhi, dan Yaqut al Hamawi. Dan dalam bidang sejarah kita mengenal Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Al Mas'udi, At Thabari, Al Maqrisi dan Ibnu Jubair. Para generasi muslim terbaik ini selain dikenal sebagai ilmuwan yang diakui oleh dunia, mereka juga adalah para ahli ibadah yang hafal al Qur'an. Luar biasa.
Kini semua ini telah menjadi kenangan. Seolah semuanya berlalu bagai mimpi, yang tinggal bayang-bayang saja. Umat Islam kini telah merosot kedudukannya, bersamaan dengan kemerosotan itu hilang pula kekuatan moral (akhlak) dan daya pikirnya. Sehingga pada siang hari yang cerahpun mereka melihat yang haq sebagai kebhatilan, sedangkan yang bhatil dianggap sebagai sesuatu yang haq dan benar. Kondisi umat hari ini telah menjadikan kebiasaan menjadi kebenaran dan tak lagi terbiasa dengan kebenaran. Ada sebuah keterputusan mata rantai sejarah kegemilangan ini.
Kini umat Islam dalam kondisi terjajah dalam semua bidang kehidupan. Dalam bidang politik, kini umat Islam tak lagi mampu menjadi pemimpin dunia bersamaan dengan runtuhnya Daulah Islamiyah, dari sinilah umat Islam mulai tercerai-berai menjadi berbagai ikatan kebangsaan (nasionalisme), kesukuan dan bahkan kepartaian yang sempit. Para penjajah telah membagi-bagi dunia Islam terkeping-keping dan menjadikannya terkotak-kotak. Dengan senjata demokrasi dan HAM ciptaan barat, umat Islam telah kehilangan segala-galanya.
Tidak jarang umat Islam mudah sekali diadu domba dikarenakan tak ada pemimpin umat yang dipatuhi. Ketika umat Islam dibelahan dunia dizalimi dan dibantai, kita bahkan tak bisa berbuat apa-apa. Inilah fakta kondisi umat jika tak ada kepemimpinan. Dalam bidang ekonomi, umat Islam hanyalah menjadi negeri miskin penghutang dan pengemis negara maju, padahal negeri-negeri Islam memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam telah dikeruk oleh negara-negara maju dengan sistem kapitalistiknya. Padahal dalam Al Qur'an kita dilarang untuk minta bantuan kepada kaum zalim penjajah itu. " Dan janganlah kamu cenderung (minta bantuan) kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api jahanam. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong selain Allah SWT, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan/kemenangan (atas musuh-musuh kalian) (QS. Huud : 113).

Kompetensi Global bagi Lulusan Pesantren
Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos dalam The Learning Revolution mengidentifikasi 16 kecenderungan utama yang akan membentuk dunia di masa datang. Keenembelas kecenderungan tersebut adalah :

(1) Adanya zaman komunikasi instant.
(2) Dunia tanpa batas ekonomi.
(3) Empat lompatan menuju ekonomi dunia-tunggal.
(4) perdagangan dan pembelajaran melalui internet.
(5) Masyarakat layanan baru.
(6) Penyatuan yang besar dengan yang kecil.
(7) Adanya era baru kesenangan.
(8) Perubahan bentuk kerja.
(9) perempuan sebagai pemimpin.
(10) Penemuan terbaru tentang otak yang mengagumkan.
(11) Nasionalisme budaya.
(12) Kelas bawah yang semakin besar.
(13) Semakin besarnya jumlah manusia.
(14) Ledakan praktek mandiri.
(15) Perusahaan kooperatif dan
(16) adanya kemenangan individu.

Karenanya, sebagai calon generasi muslim penerus, lulusan pesantren/madrasah harus menyadari bahwa fenomena perkembangan kekinian tidak akan pernah bisa dibendung. Kita hanya bisa menandingi atau akan terlindas oleh roda perubahan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan dan akan terus menggelinding sampai waktu yang tidak bisa ditebak. Yang menjadi persoalan adalah apakah kita memiliki peran utama dalam perubahan ini atau tidak. Atau bahkan kita hanya menjadi penonton. Apakah generasi penerus yang dilahirkan dari pesantren/madrasah ini akan menjadi pengendali perubahan (agent of change) peradaban dunia ini atau tidak, itu sangat bergantung kepada kita hari ini. Apakah kita mau merevolusi diri atau berdiam diri sambil bernostalgia dengan masa lalu. Bernostalgia dan berkhayal tidak akan pernah memberikan kontribusi apapun dalam pusaran perubahan dunia ini. Kita harus punya peran dan siap fight (tentunya harus menang). Saatnya pesanten memperkuat barisan yang kuat, baik secara konseptual maupun secara personal (baca : sistem dan SDM).
Untuk itu sebagai generasi penerus, para lulusan pesantren/madrasah harus meningkatkan kompetensi dalam rangka menghadapi dan mengendalikan perubahan masa depan. Setidaknya ada 10 kompetensi terkait dengan tuntutan dunia global hari ini.
1. Kompetensi lingkungan, yaitu kemampuan memahami lingkungan internasional, atau minimal kondisi negara di mana kita tinggal.
2. Kompetensi analitik, yaitu kemampuan untuk menganalisis peluang-peluang untuk diberdayakan demi kemajuan diri dan umat.
3. Kompetensi strategik, yaitu kemampuan menyusun dan mengembangkan strategik didasarkan analisa ke depan dan belakang (backward and forward linkages).
4. Kompetensi fungsional, yaitu kemampuan untuk merancang program dalam mengantisipasi setiap peluang dan perubahan yang mungkin terjadi.
5. Kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk mengelola setiap kegiatan yang diarahkan pada peningkatan kualitas diri dan umat.
6. Kompetensi profesi, yaitu kemampuan menguasai keterampilan secara professional atau keahlian pada suatu bidang tertentu.
7. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan suasana baru dalam setiap perubahan.
8. Kompetensi intelektual, yaitu kemampuan untuk mengembangkan intelektualitas dan daya nalar, yang sangat dibutuhkan agar mampu membangun konsepsi demi tegaknya sebuah peradaban.
9. Kompetensi individu, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan menggunakan keunggulan yang dimilikinya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnlogi, atau keunggulan dalam bidang yang lain.
10. Kompetensi perilaku, yaitu kemampuan untuk bersikap baik dalam setiap prilaku sesuai ajaran Islam.

Kompetensi ini menjadi sangat penting sebab sistem yang baik tapi jika tidak diiringi dengan kualitas yang baik pula, maka akan menjadi kesia-siaan. Kehebatan sistem normatif yang tertulis dalam Al Qur'an ditunjang dengan kualitas SDM Rasulullah telah melahirkan sinergitas yang maha dahsyat. Begitulah idealnya. Islam telah sempurna dan final. Namun SDM umat Islam sebagai penerus yang belum berkualitas. Untuk itu kitalah orang-orang yang bertanggungjawab mencetak para generasi berkulitas melalui pendidikan Islam di madrasah atau pesantren, atau lebih khusus melalui pendidikan agama dan keagamaan ini.

Islamisasi Saint sebagai Alternatif Solusi
Posisi PP No 55 Tahun 2007 dalam konteks keprihatinan rendahnya kualitas lulusan madrasah sesungguhnya belum bisa menjawab cita-cita ideal yang hendaknya dicapai oleh pesantren/madrasah yakni melahirkan generasi ilmuwan yang ulama. Pendidikan agama dan keagamaan mestinya menjadi sebuah ruh yang terinternalisasi dan terintegrasi dalam mata pelajaran saint di pesantren/madrasah. Lebih tepatnya mesti ada langkah islamisasi saint. Tidak mudah memang, merumuskan konsepsi islamisasi saint. Namun demikian ini bukanlah hal yang mustahil. Tinggal kita mau apa tidak. Setiap kemauan yang kuat, maka akan ditemukan jalan keluarnya. Sebab dengan islamisasi saint akan terintegrasi antara iptek dan imtaq yang kemudian akan melahirkan generasi ulama yang ilmuwan atau ilmuwan yang ulama.
Dalam bidang keilmuwan diperlukan sebuah langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan yang menyeluruh. Sebab ilmu pengetahuan yang akan menjadi landasan berfikir para siswa pesantren/madrasah yang nota bene sebagai seorang muslim. Setidaknya ada lima agenda besar dalam islamisasi ilmu pengetahuan ini. Pertama, penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua, penguasaan warisan ilmu pengetahuan Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam dengan setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat, mencari sintesis-kreatif antara warisan ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Kelima, memberikan arah bagi pemikiran Islam ke jalan yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
Adapun langkah-langkah penting dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al Faruqi setidaknya ada 12 langkah :
1. Menguasai dan ahli dalam disiplin ilmu pengetahuan modern : penguraian kategori, prinsip, metodologi dan tema.
2. Tinjauan disiplin ilmu pengetahuan baik yang terkait dengan asal-usul, perkembangannya, metodologinya, serta keluasan visinya yang kemudian disepakati identitas, sejarah, tipologi dan obyek yang akan diislamisasikan.
3. Menguasai warisan Islam, sebagai titik tolak ontologi dengan cara menerbitkan sebagai rujukan.
4. Menguasai warisan Islam sebagai tahap analisis agar jelas dalam upaya menggali visi Islam yang telah digagas oleh para pendahulu menjadi aturan-aturan praktis.
5. Penentuan penyesuaian Islam yang khusus terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan. Dengan demikian akan terlihat seberapa besar sumbangan Islam terhadap ilmu pengetahuan modern dan perlu dilakukan pelengkapan jika ada yang belum tersentuh.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern, hakekat dan kedudukannya saat ini.
7. Penilaian kritis terhadap warisan intelektual ilmuwan Islam dalam perkembangan saat ini.
8. Kajian masalah utama umat Islam yang sedang tertidur panjang ini. Sehingga dari seluruh bidang kehidupan (ipoleksosbudhankam) umat Islam terpuruk.
9. Kajian yang dihadapi umat manusia mengingat Islam adalah rahmatan lil'alamin. Artinya penerapan Islam adalah amanah untuk kebaikan jagat raya seluruhnya.
10. Analisis kreatif dan sintesis untuk membuat lompatan kreatif pemikiran Islam. Suatu metode baru harus dilahirkan oleh Islam sebagai antitesis peradaban barat yang destruktif untuk membangun kembali kemuliaan peradaban berdasarkan aqidah Islam.
11. Membentuk kembali disiplin ilmu modern dalam kerangkan kerja Islam isalnya berupa buku teks pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.
12. Pendistribusian ilmu yang telah diislamisasi kepada semua kalangan.

Acara raker pesantren hari ini adalah bagian penting dari proses dan langkah kecil dari 'proyek raksasa' islamisasi saint ini. Karenanya hendaknya kita sebagai generasi penerus umat untuk terus memupuk optimisme dalam rangka membangun kualitas diri agar kelak bisa memberikan kontribusi konstruktif bagi kemajuan umat Islam di masa mendatang. Saatnya umat Islam mandiri, dan tidak lagi bergantung kepada orang lain. Amien Rais pernah mengatakan bahwa kita ini adalah cucu-cucu dari Panglima Polim, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro dan Mohammad Natsir (pen). Mereka adalah singa-singa bermental baja yang berani menetang dan melawan kaum penjajah. Saat ini kita bermental kerdil, terjajah seperti kelinci. Umat telah turun-temurun terjajah, sehingga akan memberikan pengaruh psikologi sebagai orang terjajah yang tidak peka. Tatkala melihat transfer sumber daya alam ke asing, masyarakat hanya pringas-pringis. Kini kemandirian itu telah hilang. Anehnya masyarakat Indonesia tidak sadar jika dirinya sedang dijajah. Islamisasi saint adalah langkah awal dari refleksi kemandirian itu.
Merespons dan menindaklanjuti PP no 55 tahun 2007 dengan langkah-langkah islamisasi saint bukan pekerjaan ringan. Sebab sampai hari ini belum tercatat negara muslim yang telah berhasil melakukannya dengan baik. Belum didapatkan konsepsi yang integral tentang islamisasi saint ini. Al Faruqi telah meletakkan dasar epistimologi, tinggal bagaimana kita menjabarkan dalam ranah aksiologi. Pesantren/madrasah bekerja sama dengan pemerintah dalam hal ini mesti menjadi pelopor 'proyek raksasa' ini.

Saatnya Pesantren jadi Pelopor
Sebuah pepatah Arab mengatakan bahwa barang siapa tahu akan jauhnya perjalanan, maka bersiaplah dengan bekalnya. Pepatah ni sangat tepat jika dianalogkan dengan perjuangan kita di pesantren ini, demi kemajuan umat dan agama. Beratnya tantangan masa depan, beratnya godaan dan tingginya persaingan mengharuskan kita untuk menyiapkan bekal yang cukup. Sebab perjalanan ini begitu panjang, perjalanan perjuangan tak berujung. Hanya kematian yang mampu menghentikan langkah-langkah perjuangan kita.
Oleh karenanya melalui raker yang kita gagas hari ini, semoga dapat menyegarkan kembali niat tulus kita untuk berbakti kepada Allah dengan cara memperjuangkan agamaNya melalui lembaga pesantren darul Muttaqien ini. saatnya Darul Muttaqien menjadi pelopor kebangkitan pesantren di Indonesia. Saatnya kita meneguhkan ulang visi misi yang kita canangkan. Saatnya kita menyatukan langkah dan pemahaman untuk memajukan Darul Muttaqien agar lebih baik. Bagaimana mungkin pesantren ini akan maju jika paradigma berfikir kita tentang visi dan paradigma pendidikan pesantren berbeda-beda satu dengan yang lain. Apalagi jika visi dan misi lembaga tidak dipahami dengan baik dan benar. Entah apa jadinya nasib Darul Muttaqien di masa mendatang. Kini maju mundurnya Darul Muttaqien ada di pundak kita semua. Ini adalah amanah besar yang haurs kita jalankan. Pertanggungjwaban kita bukan dihadapan manusia, melainkan langsung dihadapan Allah kelak. Semoga kita termasuk orang-orang pilihan yang amanah.
Pada intinya semoga raker kali ini kita mampu merevitalisasi visi yang telah ada dan merekonsiliasi paradigma berfikir kita agar memiliki pemahaman yang sama untuk kemudian melahirkan kemajuan lembaga di masa mendatang. Itulah sebabnya kenapa tema raker kali ini adalah Merancang Esisiensi organisasi untuk Darul Muttaqien yang lebih baik.

Paradigma Perubahan : Merancang Efisiensi
Tahun ini diharapkan akan muncul ide-ide baru yang cemerlang demi kemajuan lembaga ke depan. Hal ini penting karena tantangan lembaga pendidikan Islam bukan tambah ringan, melainkan semakin berat. Karena secara organisatoris diperlukan juga sebuah kepengurusan yang lebih efektif dan efisien. Birokrasi organisasi tidak terlalu panjang, ramping tapi efektif untuk mencapai sasaran. Konsekuensinya akan ada penambahan program kerja di tingkat lini, seperti para kepala sekolah dan kepala bagian. Sebab menghilangkan biro dalam struktur akan sangat berpengaruh pada mekanisme organisasi dan perubahan pola kerja kepala sekolah dan kepala bagian yang notabene sebelumnya ada dalam kordinasi biro. Begitupun dengan dihilangkannya lembaga litbang, maka otomatis kerja pengembangan program dan SDM guru sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab dan program kerja para kepala sekolah.
Kebijakan ini merupakan evaluasi selama enam tahun kebelakang. Kelebihan dari kebijakan ini adalah adanya peluang kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kepala sekolah dan para kepala bagian. Begitupun kewenangan bagian keuangan yang otomatis akan menjadi pengendali sepenuhnya keuangan lembaga, yang sebelumnya dibawah koordinasi biro administrasi umum. Dengan demikian keuangan otomatis menjadi bendahara lembaga, tanpa mengubah sistem keuangan yang sentralistik. Begitupun sekretaris pimpinan merangkap menjadi sekretaris lembaga yang memiliki kewenangan di tingkat manajemen organisasi. Tentunya kewenangan keuangan dan sekretaris tetap dalam koridor aturan lembaga dan dibawah kebijakan pimpinan pesantren.
Memaknai kurikulum terpadu dalam perspektif perubahan organisasi pada prinsipnya diberikan kewenangannya kepada para kepala sekolah untuk merancang ulang atau merevitalisasi sesuai visi misi setiap lini pendidikan baik TMI, SMPIT, SDIT, RA maupun diniyah. Pada dasarnya makna dari kurikulum terpadu adalah kesatuan sistemik dalam semua proses pembelajaran dan kegiatan kependidikan. Tidak ada satu kegiatanpun di pesantren ini yang terpisah, satu sama lain saling terikat dan saling melengkapi/ menunjang. Adapun bidang-bidang non pendidikan yang dikomandoi oleh para kelapa bagian merupakan daya dukung utama yang akan mempercepat proses terwujudnya visi misi lembaga yang telah dicanangkan bersama. Karenanya tidak ada yang tidak penting di pesantren ini. Semuanya penting dan saling melengkapi dan mendukung.
Karenanya perubahan organisasi ini menuntut kepala sekolah dan kepala bagian untuk lebih fokus pada tingkat manajerial dan konseptual. Adapun wakasek dan kepala-kepala lini fokus pada tataran teknis operasional. Kepala sekolah, kepala pengasuhan dan kepala bagian sebagai manajer harus memberikan kerangka kerja yang jelas dan sistemik berupa kebijakan-kebijakan yang mendorong bawahan untuk selalu bergerak. Para pimpinan juga harus selalu fokus pada pengembangan konseptual untuk lembaga yang lebih maju dan berkualitas di masa mendatang. Agar terukur, maka semua proses pengembangan harus dilaporkan untuk dievaluasi setiap triwulan oleh pimpinan pesantren. Dengan demikian organisasi akan tampak lebih efisien dan terukur.
Efisiensi organisasi juga bisa diindikasikan dengan kondusifnya komunikasi organisasi internal bagian maupun lintas bagian. Rapat dan pertemuan-pertemuan setiaqp bagian harus dilakukan semaksimal mungkin hingga tercipta budaya kerja yang kondusif. Budaya kerja yang kondusif akan meningkatkan sikap positif, produktif dan kontributif. Ketiga sikap ini akan berbanding lurus dengan kemajuan dan kualitas lembaga.
Perubahan struktur organisasi dalam konteks ini jangan menjadi alasan baru dalam penurunan kinerja, mestinya justru menjadi motivasi baru dalam mengeksplor potensi diri agar lebih berkembang dan maju. Karenanya setelah ditetapkan struktur baru, semua pejabat struktural harus segera melakukan langkah-langkah manajerial strategis berupa perencanaan dan pengorganisasian. Visi misi lembaga dan bagian harus segera disosialisasikan kembali kepada semua anggota organisasi. Termasuk mensosialisasikan perubahan organisasi yang ada. Para pimpinan harus segera membentuk struktur kepengurusan yang baru dan mendata semua kondisi bagian sebagai laporan awal kepada pimpinan pesantren.
Efisiensi pada dasarnya adalah langkah rasionalisasi organisasi dalam rangka mencapai visi lembaga secara lebih simpel. Karenanya diperlukan fokus yang tinggi dari setiap kelapa bagian baik akademik maupun non akademik. Bagian pengasuhan mestinya menjadi pengasuh yang memiliki fokus kerja di pengasuhan. Sebab program keasramaan merupakan ujung tombak lembaga pendidikan model pesantren. Pengasuhan harus mulai menata manajemennya dengan profesional dengan SDM pengelola yang berkualitas dan terlatih. Karenanya seorang kepala pengasuhan kedudukannya sama dengan kepala sekolah, hanya beda ranah kerja. Oleh karenanya efisiensi menuntut pengasuhan untuk tidak banyak mengajar di kelas apalagi rangkap jabatan wali kelas, ini tidak akan efisien dan tidak akan mencapai titik optimal kinerja. Secara filosofis sebenarnya pengasuhan itu mewakili bagian wakasek bidang kesiswaan mengingat pengasuhan menangani kegiatan ekstrakulikuler siswa. Jika pengasuhan optimal kinerjanya dan fokus, maka wakasek kesiswaan bisa saja dihapuskan. Jikapun harus mengajar, pengasuhan mungkin hanya dua hari mengajar, selanjutnya harus fokus mengurus keasramaan. Begitu juga kepala sekolah harus fokus pada manajemen sekolah, tidak boleh rangkap jabatan dengan wali kelas atau wakasek misalnya. Sekali lagi efisiensi menuntut fokus. Hal ini berlaku juga untuk bagian-bagian lain seperti keuangan, humas, sekretaris dan bagian-bagian lainnya. Mereka harus fokus pada tugas masing-masing. Rangkap jabatan hanya bisa dilakukan jika sangat darurat dan tidak tumpang tindih hak dan kewajiban.
Adapun bagian penilik dalam perspektif perubahan organisasi Darul Muttaqien adalah sebagai mitra strategis bagai sekolah untuk menggagas program-program inovatif demi kemajuan lembaga di masa mendatang. Adapun bagian humas dan kerja sama juga merupakan mitra strategis bagi lembaga keseluruhan agar tercipta jejaring yang lebih baik dibawah kordinasi sekretariat. Jejaring yang kuat akan menjadi promosi gratis yang sangat efisien. Karenanya, bagian humas dan kerjasama harus menjalin komunikasi dengan seluruh elemen lembaga (stake holder) seperti orang tua siswa, rekanan bisnis, alumni, pemerintah, masyarakat, tokoh-tokoh, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga ekonomi dan sosial, dan lain sebagainya. Penilik dan humas akan menjadi mitra sinergi bagi sekolah dan bagian lain.

Setia pada Visi
Salah satu cara untuk membangun efisiensi kinerja organisasi adalah kesetiaan anggota organisasi pada visi lembaga yang telah ditetapkan bersama. Sebab seringkali ketidakefisienan proses dan kinerja organisasi adalah jika aktivitas itu tidak dilandaskan oleh visi yang ada. Bagaimana bisa dikatakan efisien jika visi menyuruh ke barat sedangkan para anggota malah berjalan ke timur. Mungkin satu saat akan sampai juga pada titik visi, nemun membutuhkan waktu yang terlalu panjang alias tidak efisien.
Membangun efisiensi juga bisa diwujudkan sebuah sinergitas antar bagian dalam organisasi itu. Antar organisasi saling bekerja sama, bukan malah saling menjatuhkan. Antar bagian sesungguhnya adalah potensi dan kekuatan. Dengan membangun kerja sama antar bagian berarti organisasi tersebut telah menghimpun kekuatan internal demi tercapainya visi lembaga lebih cepat. Bagaimana mungkin sebuah partai akan menang jika di dalam tubuhnya terjadi perpecahan antar anggota organisasi.
Dalam sebuah organisasi tentu ada konflik dan resistensi. Ini adalah hal yang wajar. Dalam literatur ilmu perang kuno Sun Tzu (500 BC) kita belajar bahwa untuk memenangkan sebuah peperangan "know the situation, know the circumstances", yakni kenali dirimu, kenali musuhmu, dan lihatlah situasi. Kita hanya akan bisa menyusun strategi dan menag, saat kita jelas betul apa yang kita perjuangkan, tahu luar dalam kekuatansekaligus kelemahan yang kita miliki. Sebaliknya, bagaiman kita bisa menag jika kita tidak paham apa kesamaan dan perbedaan kita dengan lawan, serta kelemahan dan kekuatan.
Filosofi Sun Tzu juga mengatakan bahwa," the supreme art of war is to subdue the enemy without fighting". Kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan menaklukkan, tetapi mengelola konflik untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi keseluruhan humanitas. Karenanya kepemimpinan yang bijak akan mengelola konflik menjadi satu kekuatan tersendiri untuk mewujudkan kemajuan lembaga. Tidak mudah memang. Tapi yang pasti pola kepemimpinan dalam menangani konflik akan menjadikan faktor efisiensi organisasi juga. .


Penutup
Pekerjaan besar hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang besar. Orang besar adalah orang yang selalu bersungguh-sungguh mengubah dirinya menjadi lebih baik. Dia bersabar dan dan tidak mudah putus asa. Semoga kita semua termasuk generasi terbaik pilihan Allah. Semoga dari usaha kita hari ini terlahir generasi Islam terbaik yang akan mewarnai dunia dengan cahaya peradaban Islam yang agung. Melalui pesantren/madrasah inilah kita akan memulai. Dari pendidikan agama dan keagamaan inilah kita akan bertolak. Dengan konsepsi islamisasi saint inilah kita melangkah. Seribu meter perjalanan harus dimulai dengan satu langkah kedepan. Siapa lagi kalau bukan kita dan kapan lagi kalau bukan sekarang. Selamat berfikir, semoga Allah meridhai usaha kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. 1974. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta : Bulan Bintang.
Albrecht, Karl. 1983. Pengembangan Organisasi : Pendekatan system yang menyeluruh untuk Mencapai Perubahan Positif dan dalam setiap Organisasi Usaha, Bandung : Penerbit Angkasa
Alma, Buchori. 2003. Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan. Bandung : Penerbit Alfabeta
Amin, Mahrus. 2008. Dakwah melalui Pondok Pesantren : Pengalaman Merintis dan Memimpin Darunnajah Jakarta. Jakarta : Penerbit Grup Dana.
Annabhani, Taqiuddin. 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Bogor : Thariqah Izzah.
Antonio, Muhammad Syafii. 2007. The Super Leader Super Manager. Jakarta : Tazkia Multimedia dan Pro LM
Arcaro, Jerome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
Armush, Ahmad ratib. 2006. The Great Leader, Strategi dan Kepemimpinan Muhammad SAW. Jakarta : Embun Publising.
Azzaini, Jamil, Farid Poniman dan Indrawan Nugroho. 2006. Kubik Leadership, solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup. Jakarta : Hikmah Zaman Baru.
Bacal, Robert. 2002. Performance Management : Memberdayakan Karyawan, meningkatkan Kinerja Melalui Umpan balik, Mengukur Kinerja. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Bennis, Warren dan Michael Mische, 1996, Organisasi Abad 21, Reinventing Melalui Reengineering, Jakarta : PT Pustaka Binamah Pressindo.
C, Nevizond. 2007. Profil Budaya Organisasi. Bandung.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Jakarta : Kaifa.
Dessler, Gari. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Klaten.
Dubin, R., et.al. 1965. Leadership and Produktivity, Chandler Publising Company.
Dryden, Gordon dan Jeannette Vos. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bagian II : Sekolah Masa Depan. Jakarta : Kaifa
Effendi. R. 1990. Budaya Organisasi. Jakarta : Prisma

Feinberg, Mortimer R, Robert Tanofsky dan John J Tarrant, 1996, Psikologi Manajemen, Jakarta : Mitra Utama
Handoko, T Hani. 1985. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Yogyakarta : Liberty.
Hafidhuddin, Didin. 2006. Agar layer Tetap Terkembang, Upaya Menyelamatkan Umat. Jakarta : Gema Insani Press.
Hasibuan, Malayu SP. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia : Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara
Hubeis, Musa. 2005. Manajemen Kreatifitas dan Inovasi dalam Bisnis. Jakarta : Hecca Publising.
Hesselbein, Frances. Et al (editor). 2001. The Organization of the Future. Jakarta : Alex Madia Komputindo.
Iqbal, Muhammad. 1966. Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam. Jakarta : Tintamas.
Kasali, Rhenald. 2005. Change. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Luth, Thohir. 1999. Mohammad Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta : Gema Insani Press.
Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning : Handbook, Panduan Kreatif dan Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta : Kaifa.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Poerwanto. 2008. Budaya Perusahaan. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Poster, Cyril. 2000. Gerakan Menciptakan Sekolah Unggulan. Jakarta : Lembaga Adidaya Indonesia.
Purwanto, Agus Joko, et.al. 2000. Teori Organisasi. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Rahman, Jamal Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Robbins, Stephen P, 2003, Perilaku Organisasi : edisi kesepuluh. Jakarta : Indeks
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran : untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Jakarta : Alfabeta.
Sallies, Edward. 2006. Total Quality Management in Education : Manajemen Mutu Pendidikan. Jakarta : IRCiSoD

Shaleh, Abdul Rahman. 2003. Psikologi Organisasi : Bagian Pertama bahan Ajar. Jakarta : Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sukarta, Mad Rodja. 2008. Catatan untuk Para Pejuang : Sebuah Refleksi tentang Pemikiran Pendidikan dan Keagamaan. Bogor : Darul Muttaqien Grafika Press.
Sukmalana, Soelaiman, 2006, Perilaku Organisasi : Modul Kuliah, Program Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen.
------------------, 2007. Manajemen Kinerja : Langkah Efektif untuk Membangun, Mengendalikan, dan Evaluasi Kerja. Jakarta : PT. Intermedia Personalia Utama.
-----------------, 2007. Manajemen Strategi dan Kebijakan Bisnis : untuk Mencapai Keunggulan Bersaing. Jakarta : PT. Intermedia Personalia Utama.
Tjakraatmadja, Jann Hidayat dan Donald Crestofel Lantu. 2006. Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar. Jakarta : School of Bussiness and` Management Institut Teknologi Bandung.
Luthan, F, 1995. Organizational Behavior, Sevent Edition, Mc. Graw- Hill International Editioan.
Tika, Mohammad Pabundu. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta : Bumi Aksara.
Tilaar, HAR. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional : kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Uwes, Sanusi. 1999. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta : Logos.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta : Rajawali Press.
Zarkasyi, Imam. 1975. Materi Khutbatul ‘Arsy. Gontor : Darussalam Press.

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

MENAKAR ORGANISASI PESANTREN

AHMAD ASSASTRA

Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir
(Ali Bin Abi Thalib)



Manusia selain sebagai individu adalah makhluk sosial. Dimensi sosial manusia ditandai dengan saling kebergantungan satu dengan yang lain (interdependensi). Dalam menjalani kehidupan, seseorang akan selalu terkait dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Sebab dalam memenuhi tujuan hidupnya, manusia akan melibatkan orang lain. Tidak mungkin semuanya dilakukan sendiri. Jika satu saat kita mau makan nasi, maka otomatis kita harus membeli beras di pasar. Itu artinya kita membutuhkan keberadaan penjual beras. Untuk mendapatkan beras yang akan dijual, seorang pedagang beras membutuhkan keberadaan petani padi. Untuk menanam padi agar subur, seorang petani membutuhkan keberadaan penjual pupuk. Begitu seterusnya.
Dimensi sosial manusia yang ditandai dengan saling kebergantungan ini biasanya membutuhkan apa yang disebut katarsis atau sarana penyaluran. Dalam konteks pemenuhan tujuan biologis, seseorang akan menikah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya. Terbentuklah sebuah keluarga. Dalam konteks pemenuhan tujuan sosial yang lebih luas, sebuah keluarga akan membuat sebuah perkumpulan antarkeluarga yang diikat dengan berbagai peraturan. Terbentuklah sebuah masyarakat.
Institusi keluarga dan masyarakat terdiri dari individu-individu yang saling bergantung untuk memenuhi tujuan bersama. Institusi inilah yang kemudian disebut dengan istilah organisasi. Jadi pada dasarnya lahirnya sebuah organisasi adalah refleksi dari pemenuhan kebutuhan sosial manusia. Jadi dimana ada sebuah perkumpulan orang dengan ikatan tertentu untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka dengan sendirinya mereka sedang memasuki sebuah organisasi, seberapapun ukuran organisasi itu.
Dr. Muhammad Yusuf Musa yang dikutip oleh Zainal Abidin Ahmad menuturkan bahwa rumah tangga atau keluarga sebagai ikatan hidup adalah bentuk organisasi terkecil yang yang pertama ditegakkan oleh manusia, yang paling kurang terdiri dari laki-laki (suami), wanita (istri), anak-anak dan pembantu. Sedangkan organisasi yang lebih besar adalah sebuah negara dengan ikatan resmi yang menghubungkan segenap manusia sebagai warga negara. Jika demikian organisasi memiliki peran yang sangat penting dalam merealisasikan tujuan sosial. Meminjam istilah Warren Bennis , seorang professor dari Dubell Distinguished Of management Universitas Of Southern California dengan ungkapan bahwa persoalan organisasi bukanlah persoalan kecil. Prof. Warren melakukan penelitian bahwa 95 % tenaga kerja Amerika Serikat bekerja dalam kerangka organisasi, dan hanya kurang dari 5 % yang bekerja untuk dirinya sendiri. Misalnya bekerja dalam badan hukum, pemerintahan dan perusahaan.
Ketika manusia telah mengenal organisasi, dan aktif didalamnya muncul kebutuhan baru. Kebutuhan baru itu terkait dengan sebuah pertanyaan : bagaimana mempertahankan organisasi itu agar terus bertahan dan mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Dari pertanyaan ini muncul pula pertanyaan bagaimana menyepakati sebuah nilai-nilai yang bisa dijalankan secara kolektif oleh semua anggota organisasi tersebut. Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan budaya organisasi.
Dengan demikian antara budaya dan organisasi adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Keduanya adalah setali mata uang. Artinya dimana ada sekelompok orang yang membentuk sebuah organisasi, maka pada saat yang sama sadar maupun tidak sadar akan terbentuk pula budaya organisasi yang mereka sepakati dan secara komitmen mereka jalankan, sebab mereka sadar telah menjadi anggota organisasi tersebut.
Organisasi sendiri pada umumnya terbagi menjadi dua jenis dilihat dari segi tujuan, yakni organisasi yang bertujuan profit seperti perusahaan (corporate) dan organisasi non profit yang berorientasi pelayanan seperti LSM dan lembaga pendidikan. Dalam kedua jenis organisasi tersebut akan berlaku sebuah budaya yang khas sesuai dengan tujuan masing-masing organisasi. Sebab setiap budaya yang disepakati dalam sebuah organisasi akan sangat dipengaruhi oleh tujuan organisasi dan gaya kepemimpinan organisasi yang bersangkutan.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa lembaga pendidikan adalah sebagai salah satu bentuk organisasi non profit, dimana didalamnya terdapat sebuah budaya yang khas. Lembaga pendidikan dilihat dari sisi strategi pembinaan siswanya terbagi menjadi dua, yakni lembaga pendidikan berasrama (boarding school) dan tidak berasrama. Lembaga pendidikan berasrama juga memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah lembaga pesantren yang berciri khas nilai-nilai keislaman. Didalam pesantren juga berlaku sebuah budaya organisasi yang khas sebagaimana tujuan yang khas dari lembaga pesantren tersebut.
Pesantren merupakan sekolah Islam dengan sistem asrama (boarding school) . Pesantren merupakan model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren pertama di perkenalkan di daerah jawa sekita 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren mengalami peningkatan yang signifikan dalam perannya mencerdaskan masyarakat.
Pesantren memiliki khas lain adalah kemandiriannya dalam mengelola proses pendidikan santri-santrinya. Dengan model asrama, pesantren melakukan pendidikan dan bimbingan terhadap para santrinya selama 24 jam. Artinya dalam waktu 24 jam itulah santri dalam proses pendidikan dan bimbingan oleh para pendidik yang biasa dipanggil dengan istilah ustadz. Kondisi ini tentu sangat jauh berbeda dengan model pendidikan di sekolah biasa yang tidak berasrama.
Tipe pesantren sendiri sangat beragam. Ada tipe pesantren yang hanya mengajarkan khasanah ilmu-ilmu klasik yang terdapat dalam kitab kuning (kutubut turost). Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren salafiyah (pesantren tradisional). Ada tipe pesantren yang kedua yakni yang mengajarkan khasanah ilmu-ilmu kekinian. Pesantren tipe ini biasa disebut dengan istilah pesantren khalafiyah (pesantren modern). Dan tipe ketiga adalah tipe pesantren yang menggabungkan antara kedua tipe tersebut dan biasa disebut pesantren tipe kombinasi. Klasifikasi pesantren ini tidaklah bersifat mutlak sebab pada prinsipnya apapun jenis pesantren tetap merupakan sebuah institusi Islam yang bertujuan menyiapkan generasi Islam yang siap meneruskan perjuangan dan menegakkan peradaban Islam. tujuan ini lebih penting dan prinsipil dibandingkan wacana klasifikasi pesantren itu sendiri.
Salah satu contoh pesantren dan lembaga pendidikan berasrama yang bertipe modern adalah pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo dan Universitas Al Azhar Mesir. Sebagaimana telah diungkapkan diatas, kedua lembaga pendidikan Islam tersebut juga memiliki sebuah budaya baik yang disepakati oleh seluruh anggota lembaga secara komitmen sehingga keduanya bertahan lama. Sebab pada faktanya Ada lembaga pesantren yang berumur panjang dan sebaliknya ada pula yang berumur pendek.
Lembaga pendidikan model pesantren adalah salah satu bentuk organisasi non profit. Panjang pendeknya umur sebuah lembaga pendidikan, jika merujuk pada pendapat Fremont , sangat terkait dengan budaya yang dikembangkan. Lembaga pendidikan Darussalam Gontor Ponorogo kini telah berumur 80 tahun atau telah berumur dua generasi, bahkan Universitas Al Azhar Mesir hingga sekarang telah berumur kira-kira 1036 tahun, dibangun sejak masa Bani Fatimiyah. Namun tidak jarang lembaga pendidikan yang baru berumur kurang dari 10 tahun telah “gulung tikar”. Tentu kita sadar bahwa yang dilaksud budaya organisasi pesantren adalah aplikasi dari nilai-nilai keislaman yang tertuang dalam berbagai perilaku organisasi. Budaya organisasi pesantren memiliki muatan ruh keislaman. Inilah yang kemudian membedakan dengan budaya organisasi lembaga lain.
Sedangkan dalam pesantren tradisional metode belajar yang dikembangkan menggunakan sistem bandongan (kyai yang sekaligus pendiri mengajarkan dan membacakan manuskrip keagamaan klasik dan para santri menyimaknya). Metode belajar kedua adalah sorogan yakni kebalikan dari sistem bandongan. Adapun pesantren modern biasanya pelajaran lebih beragam dengan metode yang beragam baik di kelas maupun diluar kelas. Kategorisasi ini tidaklah bersifat permanen. Sebab pada substansinya lembaga pesantren tidak bisa dikategorisasi menjadi modern dan tradisional, sebab hal ini bisa menjadi semacam jebakan epistimologis. Pesantren apapun kekhasan yang dimilikinya adalah lembaga Islam yang berdiri untuk memberikan dedikasinya bagi kemajuan umat Islam dan kebaikan bagi lingkungannya.
Santri secara umum adalah yang tinggal 24 jam di dalam asrama yang bertujuan untuk menggali ilmu-ilmu keagamaan dengan tujuan tafaquh fiddin. Semua pesantren umumnya adalah swasta dibawah naungan yayasan, organisasi atau perseorangan. Pesantren memiliki potensi yang sangat bagus. Dari sisi kuantitas pesantren kini berjumlah lebih dari 21.000 yang tersebar ke seluruh penjuru Indonesia dengan jumlah santri sebanyak 2. 737.805 jiwa. Dalam sistem pendidikan pesantren kyai sebagai pimpinan pesantren, ustadz, ustadzah sebagai pendidik dan pembimbing. Mereka bekerja dan beraktivitas selama 24 jam mengarahkan para santrinya.
Sebagai lembaga pendidikan yang khas, pesantren menyimpan budaya atau karakteristik yang khas pula. Bagaimana sebenarnya nilai-nilai yang disepakati dalam pesantren yang kemudian menjadi sebuah budaya. Konsepsi budaya yang dikembangkan oleh para ahli juga sangat beragam, sekalipun pada substansinya memiliki muara yang sama. Terkait dengan pesantren dan budaya organisasi, maka akan timbul beberapa pertanyaan mendasar, sebagai berikut : Bagaimana proses sosialisasi budaya organisasi yang dilakukan pondok pesantren kepada para pengurusnya ? Bagaimana gaya kepemimpinan budaya organisasi yang diterapkan oleh para pimpinan di pesantren? Bagaimanana pondok pesantren pada umumnya menerapkan budaya organisasinya ? Bagaimana strategi pesantren dalam membangun budaya organisasi yang kuat untuk menghadapi segala tantangan internal dan eksternal organisasi ? Bagaimana gambaran konsepsi budaya organisasi yang dibangun para pakar ? Apa peran dan fungsi budaya dalam sebuah organisasi ? Bagaimana budaya dan lingkungan bekerja sama ?
Jika kita menilik kerangka pemikiran diatas maka dengan demikian budaya organisasi merupakan faktor penting maju mundurnya dan berkualitas tidaknya, bahkan jaya dan runtuhnya organisasi, apapun bentuk organisasinya. Segala sesuatu yang tidak dimanaje akan berakibat buruk cepat atau lambat, dan sebaliknya segala sesuatu yang dimanaje dengan baik akan lebih bertahan lama, sekalipun sesuatu itu mungkin negatif. Sebab pengelolaan organisasi itu bersifat manusiawi dan memiliki hukum sebab akibat. Karenanya tidaklah mengherankan jika Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan : Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.
Para pimpinan pesantren dan semua struktur pengurusnya sudah harus menakar budaya organisasi yang dibangunnya, apakah memiliki pondasi yang kuat atau masih rapuh. Tema-tema pertanyaan diatas akan dibahas lebih jauh dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini. Pesantren sebagai institusi biasanya memiliki lini-lini bawahan yang dipimpin oleh kepala lini masing-masing. Kebijakan pesantren yang bersifat general mesti dianalisa dan dirumuskan secara lebih sistematis dan terukur oleh para pimpinan lini. Pimpinan lini harus mambangun budaya organisasinya sesuai dengan visi dan kondisi organisasi lini dengan catatan tidak menyimpang dari visi pesantren. Denganb demikian semua komponen organisasi ini harus berjalan sinergi. Pada hakekatnya budaya organisasi pesantren bersifat sistemik sekalipun setiap lini organisasi memiliki keleluasan untuk membangun budaya organisasinya sendiri.

Budaya Organisasi

KONSEPSI BUDAYA ORGANISASI

Ahmad Assastra



Berbagai literatur bidang manajemen dan teori organisasi yang ada, disana telah banyak dibahas mengenai arti budaya organisasi. Walaupun dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tidak ada yang persis sama, namun pada intinya mengandung komponen-komponen yang dominan dan serupa. Budaya organisasi yang dalam bahasa inggrisnya disebut organizational culture. Menurut Soejono dalam Sinaulan istilah culture yang berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan, hal ini merujuk pada pengolahan tanah atau bertani. Dari kata colore ini berkembang menjadi culture yang berarti segala daya dan kekuatan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
Adapun kata kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Sinaulan secara bahasa berasal dari dari bahasa Sansekerta : budhayah, yakni bentuk jamak dari budhi yang berarti akal. Dengan demikian budaya dapat dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan akal. Sedangkan kata budaya menurut Munandar dalam Sinaulan merupakan perkembangan, majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi sehingga dibedakan antara budaya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Dalam teori pengembangan organisasi aspek budaya menjadi pembahasan yang sangat penting. Sebab faktanya budaya sangat berperan dan berpengaruh sangat kuat dalam pencapaian visi sebuah organisasi. Tanpa dukungan budaya yang baik, maka dapat dipastikan sebuah organisasi tidak akan mampu menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan baik. Demikian pula dalam pencapaian visi organisasi. Hal ini dikarenakan budaya sangat erat hubungannya dengan perilaku manusia. Dalam arti jika perilaku anggota organisasi positif, maka dengan sendirinya akan menjadi sebuah energi positif yang berdampak baik dalam menjalankan organisasi. Hal ini senada dengan pengertian umum budaya menurut Sriwahyu Krisdayati . Menurutnya budaya adalah pola sikap perilaku konsisten, dalam konteks organisasi, budaya diartikan sebagai pola sikap perilaku konsisten tertentu dari seluruh anggota organisasi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.
Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert dalam Sinaulan (1995 : 181) merumuskan budaya sebagai “ the complex mixture of assumption, behaviors, stories, myths, metaphors, and other ideas that fit together to difine what is means to be a member of a particular society”. (Budaya sebagai perpaduan yang komplek antara asumsi-asumsi, perilaku, sejarah, mistis, perumpamaan, dan ide-ide lain untuk diusung bersama dan disepakati pengertiannya sebagai bagian dari kelompok). Pengertian budaya sebagai sebuah hasil sebagaimana dikemukakan oleh Hassan dalam Sinaulan yang mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hasil manusia hidup bermasyarakat, berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain kepandaian.
Sedangkan Engkoswara dalam Sinaulan mengutamakan pengertian budaya sebagai sistem nilai dengan mengatakan bahwa budaya adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku dalam kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku.
Dengan demikian makna budaya tidak bisa dipisahkan dengan perilaku. Perilaku dengan bahasa lain adalah sebagai gaya hidup (lifestyle). Budaya sebagai sebuah gaya hidup dikemukakan oleh Franzoi (1996 : 15) yang mengatakan bahwa “ culture is the total lifestyle of people from a particular social grouping, including all the ideas, symbols, preferences, and material objects that they share”. (Budaya adalah totalitas gaya hidup seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok, terkandung didalamnya ide-ide, simbol-simbol, preferensi, dalam bentuk sharing tujuan). Dalam konteks organisasi gaya kepemimpinan adalah bagian dari budaya itu sendiri. Karenanya style memimpin sangat menentukan kualitas dan kemajuan sebuah organisasi.
Dengan demikian budaya memiliki makna yang sangat luas dan bersifat abstraks maupun non abstrak. Luasnya makna budaya dikemukakan oleh Edward Burnett dan Vijae Santhe dalam Talizidudu Ndraha yang mengatakan bahwa budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggota masyarakat atau menurut bahasa Santhe sebagai seperangkat asumsi yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Budaya sebagai sebuah instrumen solusi atas permasalahan-permasalahan masyarakat dikemukakan oleh Edgar H Schein dalam Pabundu yang mengatakan bahwa budaya adalah pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan atau diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
Merujuk berbagai definisi tentang budaya yang telah dikemukakan diatas bisa diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa budaya merupakan kumpulan nilai oleh anggota masyarakat tertentu untuk dijadikan sebagai tolok ukur perilaku dalam berbagai bidang kehidupan baik yang berupa nilai abstraks maupun yang bisa dilihat dan diraba berupa karya-karya. Ada banyak ragam yang mengiringi teori budaya dari berbagai sudut pandang para pakar budaya. Misalnya teori tentang tingkat budaya, sifat budaya, jenis budaya, level budaya dan karakteristik budaya.
Terkait dengan tingkat budaya jika menggunakan metodologi Hofstede dalam Ndraha dapat diidentifikasi tiga atau lima tingkat budaya : universal, kolektif (kelompok), dan individual (pribadi), atau universal, regional, nasional, lokal, dan pribadi. Schein dalam Ndraha juga menidentifikasi budaya menjadi tiga tingkatan. Ketiganya berkisar antara yang konkret dan yang abstrak. Pertama, artifacts, yaitu struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan. Kedua, espoused values, yaitu tujuan, strategi, filsafat dan ketiga, basic underlaying assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan dan sebagaimana yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Jika dihubungkan dengan nilai dan lembaga dimana nilai itu tertanam, tingkat budaya menurut Ndraha dapat diidentifikasi menurut kejelasan (clarity) nilai, kuantitas dan kualitas sharing (keberbagian) suatu nilai dalam masyarakat, sedalam mana suatu nilai tertanam (dibudayakan) di dalam diri seseorang dan sejauh mana proses budaya berjalan sebagai learning procces. Semakin banyak anggota masyarakat yang menganut, memiliki dan mentaati suatu nilai, semakin tinggi tingkat budaya. Dilihat dari sudut ini , ada budaya global, budaya regional, budaya bangsa, budaya daerah, budaya kelompok, dan budaya setempat.
Terkait dengan sifat budaya, Ndraha dalam buku Teori Budaya Organisasi mengatakan bahwa setiap orang atau kelompok memiliki budaya yang berbeda-beda dan bersifat khas. Budaya an sich itu menurutnya tidak dapat dikatakan sebagai baik atau buruk (beyond moral judgment). Kesan sifat budaya baik dan buruk bahkan konflik timbul tatkala seseorang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain yang budayanya beda dengan menggunakan budayanya sendiri (encorder) tanpa memperhatikan dan menyesuaikan dirinya dengan budaya orang lain itu (decorder). Pendapat ini tidaklah bersifat permanen. Bahkan penulis sendiri tidak sependapat dengan analisa Ndraha. Bagi penulis makna budaya an sich itu tidaklah bebas nilai. Dirinya tetap memuat nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Karenanya budaya itu tidak bebas nilai atau tidak netral.
Fenomena ini dapat dikonseptualisasi menjadi Ketidaknetralan budaya. Budaya itu bersifat tidak bebas nilai dalam arti tidak normatif : ada budaya yang tinggi ada budaya yang rendah, ada budaya yang benar dan ada budaya yang salah. Ada budaya yang miskin tetapi ada budaya kemiskinan. Ada budaya yang baik dan ada budaya yang buruk. Hal ini diakibatkan karena budaya adalah pengejawantahan sebuah nilai yang diyakini oleh sebuah komunitas. Budaya akan terasa lebih baik dan buruk jika ada proses interaksi dua jenis budaya tanpa mau memahami antar kedua budaya tersebut. Sebagai contoh kata “besuk” akan menjadi berbeda jika dilihat dari pemahaman budaya orang jawa dengan pemahaman budaya orang melayu.
Terkait dengan jenis-jenis budaya (organisasi) menurut Robert E Quinn dan Michael R McGrath dalam Pabundu dapat ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya. Berdasarkan proses informasi budaya dapat dibedakan menjadi budaya rasional, budaya ideologis, budaya konsensus dan budaya hirarkis. Sedangkan berdasarkan tujuannya jenis budaya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu budaya organisasi perusahaan, budaya organisasi publik dan budaya organisasi sosial.
Schein dalam Pabundu membagi level budaya organisasi menjadi tiga yaitu pertama, artifak dan kreasi yakni mencakup semua fenomena yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan. Kedua, nilai-nilai, yakni solusi yang muncul dari seorang pemimpin dalam organisasi dengan maksud memecahkan masalah-masalah rutin dalam organisasi tersebut. Ketiga, asumsi dasar, yang merupakan bagian budaya organisasi yang paling utama. Asumsi dasar menjadi jaminan (taken for granted) bahwa seseorang menemukan variasi kecil dalam unit budaya. Dalam asumsi dasar terdapat petunjuk-petunjuk yang harus dipatuhi anggota organisasi menyangkut perilaku nyata, termasuk menjelaskan kepada anggota kelompok bagaimana merasakan dan memikirkan segala sesuatu.
Hatch yang dikutip Pebundu dari buku Organization Theory : Model Symbolic and Post Modern Perspective, memodifikasi level budaya menurut Schein dengan menempatkan simbol disamping artifak, nilai, dan asumsi. Simbol diartikan oleh Hatch sebagai anything that represents a conscious or unconscious association with some wider concept or meaning. Weinberg menambahkan dan memodifikasi level budaya organisasi Schein dengan menambahkan perspektif disamping artifak, nilai dan asumsi. Perspektif dalam arti norma sosial dan peraturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana para anggota organisasi harus berperilaku dalam situasi-situasi khusus.
Adapun budaya dilihat dari sisi karakteristiknya menurut Luthan dalam Purwanto dapat diidentifikasi menjadi 6 karakteristik. Pertama, kebiasaan sikap perilaku yang dapat diamati ketika para anggota organisasi berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam berinteraksi mereka akan menggunakan bahasa, tehnologi dan ritual, yang sama. Kedua, norma-norma, yaitu standar-standar sikap perilaku yang ditetapkan bersama dalam organisasi atau masyarakat. Ketiga, nilai-nilai dominan, yaitu nilai-nilai umum yang sengaja didorong dan menjadi harapan oleh semua anggota organisasi untuk dapat diterapkan. Keempat, filosofi, yakni kebijakan-kebijakan fundamental yang sengaja diciptakan sebagai landasan moral kerja dan kredo atau motto organisasi. Kelima, aturan-aturan main, yakni berbagai aturan yang bisa menjadikan kesadaran untuk menyesuaikan diri dalam menjalankan organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Dan keenam, iklim organisasi, yakni meliputi keadaan atau kondisi psikologis yang terfokuskan melalui hubungan interaksi antar anggota organisasi secara internal maupun eksternal dengan pihak luar organisasi.
Charles Hampden dan Turner dalam Kasali menggunakan istilah korporat dalam melakukan identifikasi karaktristik budaya. Diantara karaktristik budaya korporat adalah sebagai berikut. Pertama, budaya korporat dibentuk oleh keyakinan individu-individu korporat. Kedua, budaya korporat mencerminkan aspirasi anggota-anggotanya. Ketiga, budaya korporat memiliki sosiodinamika. Keempat, budaya korporat memiliki konskuensi. Kelima, budaya korporat sulit dipahami. Keenam, budaya korporat membentuk indentitas, memperkuat image, positioning, dan pencapaian tujuan. Ketujuh, budaya menuntut keseimbangan antara nilai-nilai. Kedelapan budaya korporat ‘belajar’. Kesembilan, budaya adalah pola. Kesepuluh, budaya membentuk hubungan sinergi. Kesebelas, budaya terdiri atas subkultur.
Menurut Robbins dalam Perilaku Organisasi karakteristik budaya dalam tingkat organisasi ada tujuh karakteristik utama. Pertama, inovasi dan pengambilan resiko (Innovation and risk taking). Sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko. Kedua, perhatian terhadap detail (attention to detail). Sejauh mana para karyawan diharapkan memperhatikan presis (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail. Ketiga, orientasi hasil (outcome orientation). Sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. Keempat, orientasi manusia (people orientation). Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di organisasi tersebut. Kelima, orientasi tim (team orientation). Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukan berdasarkan individu. Keenam, keagresifan (agressiveness). Sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. Ketujuh, kemantapan (stability). Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
Adapun tentang organisasi banyak para pakar menawarkan berbagai definisi yang melihat dari berbagai sudut pandang. Organisasi secara bahasa berasal dari kata organ yang artinya bagian tubuh dan mendapatkan akhiran asing isasi yang artinya sistem atau proses.
Dalam mengawali tulisan dalam buku Manajemen edisi II T Hani Handoko mengungkapkan bahwa setiap manusia dalam perjalanan hidupnya selalu akan menjadi anggota dari beberapa macam organisasi, seperti organisasi sekolah, perkumpulan olah raga, kelompok musik, militer maupun organisasi perusahaan. Semua jenis organisasi ini memiliki persamaan dasar, walupun dapat berbeda satu dengan yang lain dalam beberapa hal. Sebagai contoh organisasi perusahaan atau departemen pemerintah dikelola secara lebih formal dibanding kelompok olah raga atau rukun tetangga. Kesamaan mendasar antarorganisasi itu terletak pada fungsi-fungsi manajerial yang dijalankan.
Ungkapan Handoko menunjukkan bahwa betapa pentingnya kedudukan organisasi bagi kehidupan manusia. Tidak mungkin manusia bisa dilepaskan dari kecenderungan untuk berorganisasi. Kecenderungan untuk berorganisasi dilandasi oleh paradigma manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya menurut Stephen P Robbins (2003) dalam bukunya Perilaku Organisasi edisi kesepuluh bahwa kajian organisasi tidak bisa dilepaskan dari ilmu sosiologi yang notabene mempelajari tentang kecenderungan sosial pada setiap individu manusia. Kecenderungan sosial ini direfleksikan dengan membentuk organisasi yang berisi hubungan atau interaksi antar individu untuk meraih tujuan bersama.
Meminjam istilah Warren Bannis sebagaimana telah diungkapkan diawal pendahuluan bahwa kedudukan sebuah organisasi tidak bisa dipandang kecil, karena dengan adanya organisasi orang akan dapat mencapai tujuan bersama sebuah komunitas. Hal ini senada apa yang diungkapkan Prof. Soelaiman Sukmalana, bahwa organisasi didirikan karena satu alasan utama yakni karena organisasi dapat mencapai berbagai hal yang tidak dapat dicapai secara perseorangan
Sedangkan menurut istilah banyak sekali yang mendefinisikan tentang organisasi. Dalam En Carta Dictionary, organisasi dimaknai dengan empat hal yang sekaligus manjadi ciri dari organisasi diantaranya adalah : 1). Group of people indentified by shared interest or purpose. 2) Coordinating of separate elements into a unit of structure. 3). The relationship that exixst between separate element arranged into a coherent whole. 4). Effeciency in the way separate element are arranged into a coherent whole. Dari beberapa ciri diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah sekumpulan manusia yang terikat satu dengan yang lain dalam sebuah struktur untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya sesuatu itu bisa disebut terorganisir dalam En Carta Divtionary adalah ketika existing in a large scale and involving the systematic coordination of many different element and working in a systematic ang affecient way. Dengan kata lain sesuatu itu disebut terorganisir jika terjadi sebuah interaksi dan kinerja yang terkordinasi secara sistemik dari semua elemen yang ada dalam organisai tersebut.
Pada prinsipnya dalam sebuah organisasi adalah sebuah perserikatan. Perserikatan menghajadkan sebuah ikatan. Dengan ikatan-ikatan inilah kemudian orang-orang dalam organisasi itu bekerja untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal senada dikemukakan oleh Malayu SP Hasibuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia. Secara lengkap Malayu SP Hasibuan mendefiniskan organisasi sebagai suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Perserikatan formal dalam organisasi diwujudkan dengan adanya struktur. Struktur apapun bentuknya menjadi sangat penting akan keberlangsungan organisasi. Sebab dalam sebuah organisasi akan terdapat apa yang disebut dengan kewenangan dan tanggungjawab yang bersifat hirarkis.
Struktur organisasi yang hirarkis ini akan membentuk sebuah sistem kerja yang sinergis. Struktur dalam sebuah organisasi (organization structure) akan memberikan manfaat diantaranya adalah sebagai berikut : 1). Pembagian kerja artinya setiap kotak akan mewakili tanggungjawab seseorang atau subunit untuk bagian tertentu dari beban kerja organisasi. 2). Informasi atasan dan bawahan artinya bagan organisasi akan menunjukkan garis komando atau siapa atasan dan siapa bawahan. 3). Jenis pekerjaan yang dilaksanakan artinya uraian kotak-kotak menunjukkan tugas-tugas kerja organisasi atau bidang-bidang tanggungjawab yang berbeda. 4) Pengelompokan bagian-bagian kerja artinya keseluruhan bagan menunjukkan dasar pembagian aktivitas organisasi (atau dasar wilayah, produksi, interprice function, dan lain sebagainya). 5). Tingkat manajer artinya sebuah bagan tidak hanya menunjukkan manajer dan bawahan secara perseorangan, tetapi juga hirarki manajemen secara keseluruhan. 6). Pimpinan organisasi artinya bagan organisasi menunjukkan sistem kepemimpinan organisasi, apa pimpinan tunggal atau pimpinan kolektif.
Prof. DR. Soelaiman Sukmalana, MM memberikan gambarkan bahwa struktur dalam organisasi akan sangat menentukan hubungan resmi dalam sebuah organisasi. Artinya berbagai pekerjaan yang berbeda diperlukan untuk melakukan semua aktifitas organisasi. Ada manajer dan pegawai bukan manajer, akuntan dan perakit. Orang-orang ini harus dihubungkan dengan cara tertentu yang terstruktur agar pekerjaan mereka efektif. Semua hubungan ini menimbulkan berbagai masalah kerja sama, perundingan dan pengambilan keputusan rumit.
Berbagai hubungan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa organisai adalah bagian dari sebuah sistem sosial dan refleksi dari kepentingan bersama. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Soelaiman (2006) bahwa hakekat organisai adalah sebagai sistem sosial dan kepentingan bersama. Dalam konteks ilmu kemasyarakatan organisasi berarti sistem sosial. Definisi ini senada dengan apa yang diungkapkan Robbins dalam Purwanto, dkk (2000) dengan mengatakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja secara terus-menerus untuk mencapai suatu atau sekelompok tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian definisi organisasi Robbins setidaknya mengandung empat hal penting yaitu adanya kesatuan sosial, batasan yang bisa diidentifikasi, keterikatan dan adanya tujuan yang jelas.
Dalam membahas budaya organisasi Robbins (2003) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi dari organisasi-organisasi lain. Pelembagaan budaya diartikan oleh Robbins yaitu ketika organisasi memiliki kehidupan sendiri, terlepas dari para pendirinya atau anggotanya, dan mendapatkan ketenaran dan terlepas dari orang-orang tersebut. Budaya dominan dimaknai sebagai ungkapan nilai-nilai yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi tersebut. Sub budaya dalam sebuah organisasi diberikan arti sebagai budaya kecil didalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis. Sedangkan nilai inti dimaknai Robbins dengan istilah nilai pokok atau dominan yang diterima oleh seluruh orang yang berada didalam organisasi itu.
JR. Schemerhorn dalam Pabundu (2005) mendefinisikan organisasi sebagai kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. (organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose). Carles J Bernand mendefinisikan organisasi sebagai kerjasama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Sedangkan Philip Selznick mendefinisikan organisasi sebagai pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggungjawab.
Organisasi dapat diamati sebagai gejala sosial dari level makro dan bisa juga dilihat sebagai gejala administrasi dari sudut mikro. Menurut Stephen P Robbins dalam Ndraha (2005) mendefinisikan organisasi sebagai a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals. (Kerjasama yang dengan sengaja dilakukan sebuah entitas sosial, dengan pembatasan tertentu yang bersifat relatif, yang secara relatif pula dimaksudkan untuk meraih sebuah tujuan bersama). Definisi ini mirip dengan definisi organisasi yang dikemukakan Warren B Brown dan Dennis J Moberg dengan mengatakan bahwa organisasi adalah relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior. Chester I Bernand mendefinisikan organisasi dengan cooperation of two or more persons, a system of consciously coordinated personal activities or forces. (kerjasa antara dua atau lebih orang yang dengan sengaja membentuk sebuah sistem hubungan dalam melakukan aktifitas tertentu).
Hakekat organisasi sebagai sistem sosial menurut Soelaiman memiliki arti bahwa hubungan antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam organisasi menciptakan pengharapan-pengharapan bagi perilaku individu-individu. Dari pengharapan inilah timbul adanya peran-peran tertentu. Beberapa orang memainkan peran pemimpin dan beberapa orang memainkan peran pengikut. Manajer menengah memainkan kedua peran itu dimana kelompok-kelompok dalam organisasi juga mempunyai dampak kuat pada perilaku individu dan kinerja organisasi.
Adapun hakekat organisasi sebagai refleksi kepentingan bersama memiliki arti bahwa organisasi memerlukan orang-orang dan orang-orang memerlukan organisasi. Organisasi memilki tujuan manusia. Organisasi dibentuk dan dipertahankan atas dasar kebersamaan kepentingan dikalangan anggotanya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa sebuah organisasi berdiri untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan tujuannya organisasi menurut Hasibuan terbagi menjadi dua yaitu organisasi perusahaan (business organization) dan organisasi sosial (public organization). Organisasi perusahaan atau yang sering disebut dengan istilah corporate bertujuan untuk meraih profit atau keuntungan. Tidak ada perusahaan yang tidak ingin untung. Begitulah, sebab profit menjadi fokus tujuan didirikannya sebuah perusahaan. Sedangkan organisasi sosial bertujuan untuk pelayanan dengan prinsip kegiatannya adalah pengabdian sosial, seperti organisasi kenegaraan dan atau organisasi kependidikan.
Jika demikian maka budaya dan organisasi jika disatukan menjadi istilah baru yakni budaya organisasi (organizational culture). Banyak definisi yang terkait dengan istilah budaya organisasi ini. Piti Sithi Amnuai dalam Ndraha (2005) mendefinisikan budaya organisasi dengan a set of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adabtation and internal integration. (seperangkat asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh para anggota organisasi, yang kemudian dikembangkan dan diwariskan untuk mengatasi segala masalah baik yang terkait dengan adaptasi eksternal maupun integrasi iternal).
Definisi budaya organisasi yang bersifat operasional disajikan oleh Edgar H Schein dalam Ndraha dengan mengatakan bahwa the culture of a group can now be defined as a patern of shared basic assumption that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correc way to perceive, think, and feel in relation to those problems. (Budaya kelompok atau organisasi bisa didefinisikan sebagai sharing asumsi-asumsi dasar yang dipalajari oleh sekelompok orang untuk mengatasi berbagai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang dilakukan sebaik mungkin agar bisa terukur dan agar bisa dipahami oleh anggota baru sebagai sesuatu yang dianggap benar untuk dipikirkan, dan dirasakan dalam hubungan dengan permasalahan-permasalahan yang ada).
Peter F Druicker dalam Ndraha mendefinisikan budaya organisasi sebagai the body of solutions to external and internal problems that has worker consistenly for a group and that is therefore taught to new members as the correct way to perceive, think about and feel in relations to those problem. (Seperangkat solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah internal maupun eksternal yang pelaksanaanya dilakukan secara konsisten oleh suatu sekelompok orang yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru organisasi tersebut sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah yang terkait diatas ).
Soelaiman Sukmalana mendifinisikan budaya organisasi sebagai hasil interaksi fungsi-fungsi manajemen, perilaku, struktur, serta proses organisasi dan budaya lingkungan yang lebih luas tempat organisasi itu berada, yang mempengaruhi perilaku individu-individu atau kelompok-kelompok.
Dalam sebuah organisasi biasanya mempunyai prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Prinsip-prinsip organisasi itu bisa berupa nilai-nilai, konsensus, budaya, sikap, persepsi, komunikasi, dan kepemimpinan. Bahkan bisa lebih dari itu. Hal ini sangat bergantung pada kebutuhan organisasi yang bersangkutan berdasarkan kesepakatan para anggotanya.
Penamaan prinsip dalam buku ini karena mengacu pada konsepsi baku. Namun pada kenyataannya di lapangan prinsip-prinsip sebuah organisasi bisa dinamakan apa saya sesuai kesepakatan para anggota organisasi itu. Apapun namanya pada substansinya adalah apa yang disebut dengan istilah prinsip-prinsip atau asas-asas organisasi.
Banyak para pakar manajemen yang berbeda pandangan terkait dengan prinsip-prinsip organisasi ini. Keragaman pandangan para pakar manajemen itu bermuara pada satu hal penting bahwa apapun bentuk organisasi harus memiliki prinsip-prinsip yang disepakati oleh semua anggota untuk menjaga eksistensi, kinerja dan ketercapaian visi organisasi. Apapun prinsip-prinsipnya.
Pada kenyataanya penjagaan terhadap prinsip-prinsip yang disepakati akan sangat berpengaruh pada keberlangsungan organisasi itu. Meminjam bahasa Arie de Geus (1997) keberlangsungan organisasi dengan istilah organisasi yang berumur panjang. Berdasarkan penelitian Arie de Geus ditemukan empat karakteristik organisasi atau perusahaan yang berumur panjang, diantaranya adalah : Pertama, Sensitif terhadap lingkungan : yang dipresentasikan pada kemampuan perusahaan untuk belajar dan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan arah perubahan lingkungan bisnis. Kedua, Memiliki identitas / jati diri yang kuat : yaitu kemampuan perusahaan untuk membangun integritas atau jati diri, yang melekat dan tergambar pada sikap dan perilaku para anggota komunitasnya sehari-hari, sehingga tumbuh sense of belonging yang tinggi terhadap perusahaan. Ketiga, Memiliki sikap toleran terhadap perbedaan dan mampu melaksanakan proses desentralisasi kewenangan berdasarkan rasa saling percaya : yaitu memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan berbagai entitas yang berbeda, baik diantara anggota organisasi maupun dengan institusi di luar perusahaan. Keempat, Melaksanakan manajemen investasi yang rasional : yaitu melaksanakan kebijakan penggunaan uang (khususnya investasi yang berasal dari hutang) dengan hati-hati dan didasarkan pada rasionalitas, bukan spekulasi. Kalaupun terpaksa mereka melakukan pinjaman untuk investasi, mereka sudah menganalisis dengan cermat dan akan disiplin untuk dapat mengembalikan pinjaman atau cicilan dengan tepat waktu.
Dalam sebuah organisasi juga berlaku apa yang disebut dengan nilai. Nilai adalah sebuah pandangan normatif yang menjadi pegangan yang baik dan dikehendaki. Soelaiman Sukmalana mengemukakan setidaknya ada empat tingkat nilai yang berkembang dan melekat dalam sebuah organisasi. Diantara keempat nilai itu adalah sebagai berikut: pertama, Individual value, adalah nilai yang bersifat formal maupun informal yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan organisasi. Kedua, organization value, adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi yang merupakan pertimbangan nilai-nilai dari pada individu kelompok dan organisasi. Ketiga, Value of constutuante the task environment / specific environment, adalah nilai yang dimiliki oleh suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap organisasi. Keempat, culture value, adalah nilai masyarakat yang terdiri dari : a). individual human desired, adalah kebanggaan individu sebagai hak untuk perorangan menjadi suatu prestasi yang dicapai seseorang dan sebagai suatu nilai yang diterima dari masyarakat. b). Individual prepentsity rights, adalah hak akan kecenderungan yang dimiliki olah hak perorangan. c). Acceptance of legitimate authority, yaitu penerimaan dari pihak masyarakat untuk mengakui wewenang formal yang dimiliki seseorang, hal ini berlaku bagi organisasi kecil ataupun masyarakat dari suatu bangsa.
Max Weber dalam Sukmalana mengenalkan prinsip-prinsip organisasi dalam istilah birokrasi model. Didalam kantor atau organisai pemerintahan, menurut Weber, akan tampak model birokrasi yang akan memberi arah jalannya organisasi itu sendiri dan aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi.
Ada enam prinsip dalam birokrasi organisasi menurut Weber, diantaranya adalah , 1). Pembagian tugas yang didasarkan kepada spesialisasi fungsional. 2). Adanya kejelasan tentang hirarki wewenang dalam organisasi. 3). Adanya peraturan-peraturan yang menyangkut hak dan tanggungjawab atau kewajiban bagi masing-masing jabatan. 4). Berlakunya prosedur dan berhubungan dengan pekerjaan yang berlaku dalam organisai tersebut. 5). Hubungan yang terdapat dalam organisasi merupakan hubungan yang impersonal. 6). Promosi dan seleksi harus didasarkan pada kemampuan teknis baik untuk karyawan maupun manajer.
Sedangkan Henry Fayol dalam Robbins seorang ahli manajemen terdahulu yang merupakan seorang industriawan terkemuka Perancis mengemukakan setidaknya harus ada empat belas prinsip-prinsip dalam sebuah organisasi. Keempatbelas prinsip organisai henry Fayol ini ditulis dalam buku berbahasa Perancis berjudul Administration Industrielle et Generale pada tahun 1916. Buku ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sampai tahun 1929 dan tidak beredar secara luas di Amerika Serikat sampai tahun 1949. Pada tahun 1949 buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul General and Industrial management oleh Constance Storrs, Sr Issac Pitman and Sons, Ltd, London.
Keempat belas prinsip organisai Henry Fayol adalah sebagai berikut: 1). Pembagian kerja (Division of work). 2). Kekuasaan dan tanggungjawab, (Autority and responsibility ). 3). Disiplin (dicipline). 4). Kesatuan komando (Unity of Command). 5) .Kesatuan pengarahan (Unity of Direction). 6). Kepentingan individu-individu dibawah kepentingan organisasi (subordination of individual interest to general interest). 7) Pemberian ganjaran pada pegawai (remuneration of personel). 8). Sentralisasi (centralization). 9). Mata rantai (scalar chain). 10). Penempatan (order). 11). Persamaan (equity). 12). Stabilitas seseorang melakukan tugasnya (stability of tenture of personal). 13) Inisiatif (initiative). Dan 14). Kerja sebagai sebuah tim (Esprit de corps)..

Minggu, 27 Juni 2010

Terapi Berfikir Positif

TERAPI BERFIKIR POSITIF

Ahmad Assastra

Apa yang Anda alami hari ini adalah dampak dari pikiran Anda kemarin. Apa yang akan Anda alami esuk hari adalah dampak dari pikiran Anda hari ini. Pikiran yang sedang Anda bayangkan hari ini sedang menciptakan kehidupan masa depan Anda
(Dr. Ibrahim Elfiky)

Kemuliaan manusia terletak pada pikirannya
(Pascal)



Sebagaimana saya tulis sejak awal bahwa mental keberanian adalah modal dasar untuk meraih sukses hidup. Kesuksesan hidup bersifat positf. Karenanya keberanian yang dimaksud adalah keberanian yang bersifat positif. Jika demikian mesti ada pola fikir positif untuk menumbuhkan keberanian dalam jiwa kita. Sebab banyak pakar psikologi yang mengatakan bahwa pikiran sangat berpengaruh terhadap diri seseorang. Pola fikir seseorang akan mempengaruhi banyak hal dalam hidupnya. Jika kita berfikir bisa , maka kita akan bisa. Jika kita berfikir berani, maka kita akan berani. Jika kita berfikir sukses, maka kita akan sukses. Sukses gagalnya hidup seseorang sangat dipengaruhi oleh pola fikirnya.
Ibrahim Elfiky membeberkan secara panjang lebar dalam bukunya Taerapi Berfikir Positif bagaimana pola fikir seseorang sangat mempengaruhi segalanya. Ada sekitar 60.000 pikiran yang ada dalam otak kita dan 80 % nya mengarahkan pada pemikiran negatif. Untuk itulah diperlukan sebuah tekad untuk senantiasa berfikir positif. Elfiky menggambarkan bahwa pikiran adalah alat ukur yang digunakan manusia untuk memilih sesuatu yang dinilai lebih baik dan lebih menjamin masa depan diri dan keluarganya. Aktivitas berfikir akan menjadi penentu dan pembeda antara mansuia dengan hewan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran seseorang adalah orang tua, keluarga, masyarakat, sekolah, teman dan media massa serta diri sendiri. Dari pikiran inilah perilaku seserang bersumber. Dari pikiran inilah tindakan seseorang dimulai. Sebab dalam pikiran seseorang telah tersimpan berbagai file yang siap digunakan jika diperlukan. File-file pikiran ini ada yang positif dan ada yang negatif. File-file pikiran ini didapatkan dari tujuh faktor diatas. File-file dalam pikiran seseorang menjadi semacam arsip memori dalam akal seseorang yang siap pakai. Ketika dia mengalami musibah dan cobaan hidup, maka file kesedihan yang akan muncul. Begitu juga jika ketika dia mendapatkan anugerah dan rezki, maka file kebahagiaan yang muncul. Lebih rinci Elfiky mengidentifikasi aspek-aspek manusia yang dipengarhi oleh pikiran. Diantaranya adalah :
1. Pikiran melahirkan mindset. Ada banyak orang yang sering mengungkapkan keluhan misalnya, ” Ketika bangun pagi perut saya seringkali terasa mulas sehingga saya tidak enak untuk makan pagi”. Atau ” Setiap terjadi perubahan cuaca seringkali saya merasa demam dan pilek”. Sayang sekali orang-orang yang sering mengatakan demikian telah melakukan kesalahan dengan menanamkan mindset negatif. Mindset negatif ini akan tersimpan dalam file bawah sadar dan akan menumbuhkan perasaan dan persepsi negatif. Karenanya rasa sakit itu akan datang diakibatkan oleh mindsetnya yang meyakini hal tersebut. Mindset adalah sekumpulan pikiran yang terjadi berkali-kali di berbagai tenmpat dan waktu serta diperkuat dengan keyakinan dan proyeksi sehingga menjadi kenyataan yang dapat dipastikan di setiap tempat dan waktu yang sama. Ingin bukti, cobalah ubah pikiran bahwa setiap bangun tidur saya selalu bugar dan penuh semangat. Besuk pagi ketika bangun tidur anda akan mengalami apa yang anda pikirkan hari ini. Percayalah.
2. Pikiran mempengaruhi intelektualitas. Apapun yang dipikirkan oleh seseorang akan membuat otak langsung menangkap sinyal informasi saat itu juga. Dia kemudian akan melakukan beberapa hal berikut : pertama, memahami dan menyadari informasi dan pikiran. Kedua, membuat file yang khusus menyimpan pikiran ini dalam ruang memori. Ketiga, menganalisis pikiran tersebut dan membandingkannya dengan pikiran lain yang serupa dan tersimpan dalam memori. Keempat, mencari data dalam file memori yang dapat mendukung dan memperkuat pikiran. Kelima, melemahkan informasi lain agar membantu konsentrasi. Sebab akal manusia hanya dapat memikirkan satu obyek. Dengan demikian pikiran akan sangat mempengaruhi intelektualitas seseorang.
3. Pikiran mempengaruhi fisik. Coba ikuti saran saya : Pejamkan mata Anda dan bayangkan didepan Anda ada pisau dan jeruk nipis yang asam. Bayangkan anda memegang jeruk dan memotongnya dengan pisau, lantas potongan sebelah itu angkat dan dekatkan di mulut Anda. Buka mulut dan pencetlah jeruk itu hingga airnya mengucur masuk ke mulut anda. Apa yang terjadi dengan mulut Anda. Anda akan merasakan sesuatu hingga Anda akan menelan ludah Anda. Itulah bukti pikiran berpengaruh terhadap kondisi fisik seseorang. Bukankah jika seseorang dalam pikirannya marah, maka wajah seseorang itupun akan memerah menunjukkan kemarahan itu. Kenapa ada orang yang dalam pikirannya ada kesedihan yang mendalam, lantas matanya mengeluarkan air mata.
4. Pikiran mempengaruhi perasaan. Coba ikuti saran saya : belilah sebuah CD film horor yang sangat menakutkan. Bangunlah jam satu malam tatkala seluruh anggota keluarga sedang terlelap tidur. Matikan lampu dan putarlah film itu sendirian. Kenapa perasaan Anda tiba-tiba dihantui oleh ketakutan yang sangat. Atau cobalah sesekali berjalan malam sendirian dan melewati komplek pemakaman. Jika Anda tidak mau dan atau tidak berani, berarti Anda mengalami perasaan takut. Padahal rasa takut itu ada karena anda berfikir akan terjadi sesuatu di pemakaman itu atau akan muncul hantu di saat daru pojok rumah Anda saat Anda menonton film horor itu. Padahal itu semua tidak terjadi, peristiwa itu hanya terjadi dalam pikiran Anda, bukan dalam kenyataan. Berani membuktikan ?.
5. Pikiran mempengaruhi sikap. Manusia sesungguhnya diciptakan Allah menjadi makhluk terbaik dan sempurna. Sikap kita selama ini sesungguhnya dipengaruhi oleh dunia luar yang telah tertanam dalam pikiran bawah sadar kita. Manusia bukanlah sikapnya. Sikap hanyalah efek dari pikiran. Karenanya sikap itu bisa diubah dengan cara mengubah pikirannya. Takut akan datang hantu bisa diganti dengan pikiran bahwa film itu hanyalah rekayasa belaka bukanlah kenyataan. Sebab memang begitulah faktanya. Setidaknya ada tiga sikap seseorang : Pertama, memusuhi dan menyerang. Kedua, taat dan menerima. Ketiga, tegas dan percaya diri. Sikap seseorang dalam merespons lingkungan dimana dia hidup ada tiga : 1). Menerima dan larut. 2). Menolak dan keluar dari lingkungan. 3). Tetap di dalam dan mengubahnya sesuai dengan keyakinannya. Ketiganya sikap ini sangat dipengaruhi oleh pola fikir dan pemahaman dia terhadap kondisi lingkungan tersebut. Bayangkan Anda hidup di kampung pengemis atau kampung maling, apa sikap Anda dan kenapa Anda memutuskan sikap itu. Pilihan sikap Anda dipengaruhi oleh pikiran Anda

Islamisasi Sains

ISLAMISASI SAINS

Oleh : Ahmad Assastra


Abstrak
Implementasi epistemologi Islam di Indonesia sejatinya telah mengalami disorientasi dan distorsi dari konsepsi yang telah digariskan oleh Al Qur’an dan Al Hadist serta konteks kesejarahan zaman Rasulullah. Zaman keemasan peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari implikasi diterapkannya pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) oleh Rasulullah dan zaman setelahnya. Islam sebagai sebuah sistem dan peradaban telah memiliki rujukan ontologis, epistimologis dan aksiologis yang jelas yakni Al Qur’an dan Rasulullah. Namun semenjak Islam tak lagi memiliki hegemoni kepemimpinan peradaban dunia karena keruntuhan kekhilafahan Turki Ustmani dan adanya perang salib, maka runtuh pula sistem dan peradaban hingga berimplikasi terhadap kebangkrutan literatur dan kemunduran di segala bidang termasuk sains Islam. Kebangkitan dunia Barat hari ini adalah hasil transformasi keilmuwan Islam kepada mereka melalui sebuah konspirasi jahat. Mereka kemudian melakukan berbagai penetrasi dan penyerangan yang bersifat paradigmatik, politis, metodologis dan Psikologis dengan muatan liberal sekuler di dunia Islam. Dari sinilah malapetaka demi malapetaka di dunia Islam terus berlangsung hingga kini. Islam dan umat Islam secara konseptual adalah agama yang benar dan umat yang terbaik. Namun kini seluruh dunia Islam mengalami keterpurukan hingga titik nadhir, termasuk di Indonesia. Islamisasi sains adalah salah satu ranah yang strategis untuk membangkitkan ulang dan menggapai ulang kejayaan yang telah hilang. Diperlukan solusi yang komprehensif yang meliputi rekontruksi paradigmatik, politis, metodologis dan psikologis hingga mampu menghasilkan para ilmuwan ulama seperti dulu. Akhirnya peradaban Islam bisa terwujud lagi menjadi peradaban dunia. Mungkin dari Indonesia kita akan mulai proyek mulia ini.

Kata kunci : Genealogi, rekontruksi, paradigmatik, sistemik, filsafat, peradaban, liberalisme, sekulerisme, islamisasi sains, dan kebangkitan.

GENEALOGI ISLAMISASI SAINS
Jika ditelusuri asal usul dan silsilah (genealogi) gerakan Islamisasi, maka akan kita dapatkan fakta bahwa gerakan islamisasi di mulai sejak Muhammad SAW diutus untuk menjadi Rasul dan mulai melakukan gerakan kajian keilmuwan dan dakwah individu maupun sosial. Bahkan seluruh Nabi dan Rasul diutus Allah untuk melakukan gerakan ‘islamisasi’ ini. Itulah sebabnya setiap Rasul diutus oleh Allah selalu dihadapkan dengan kondisi sosial masyarakat yang penuh kezaliman, kemaksiatan dan kerusakan. Rasulullah Muhammad SAW sendiri diutus Allah ketika kondisi sosial bangsa Arab mencapai titik kulminasi kerusakan. Mindset dan sistem hidup (worldview) bangsa arab saat itu telah jauh dari ajaran dan wahyu illahi. Kondisi ini sering disebut dengan istilah jahiliyah.
Ayat pertama yang diturunkan Allah juga sangat berkaitan dengan keilmuwan
                        
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al Alaq : 1-5)

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qol’ahji menggambarkan kondisi bangsa Arab pra Islam dalam bukunya Sirah Nabawiyah, Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw dengan adanya berbagai bentuk kezaliman yang tiada tara. Setidaknya menurut dia, ada lima kezaliman yang terjadi di Arab pra Islam. Kelimanya adalah kezaliman politik , kezaliman sosial , kezaliman ekonomi , kesesatan aqidah , kesesatan pemikiran dan kezaliman jiwa .
Kondisi jahiliah yang sangat buruk dan mencapai titik kulminasi berbagai bentuk kezaliman ini sebagai representasi dari jauhnya mereka dengan ajaran-ajaran wahyu Allah. Kebodohan pemikiran, kesesatan aqidah dan system hidup yang destruktif telah menjerumuskan bangsa Arab pra Islam layak disebut sebagai bangsa paling tidak beradab dalam sejarah kemanusiaan. Dalam titik kulminasi inilah Rasulullah Muhammad saw diutus untuk membongkar kebrobrokan sistem jahiliyah sampai akar-akarnya dengan membawa ajaran yang sama sekali baru yakni Islam. Karena tantangan islamisasi yang sangat berat, maka Allah telah mengutus Rasulnya yang terbaik. Nabi Muhammad SAW adalah Rasul yang memiliki nasab yang terhormat , dari keturunan dua orang yang disembelih , dan yang telah dibelah dadanya untuk dibersihkan dari keburukan oleh malaikat .
Sejak mendapatkan perintah untuk berdakwah, maka Rasulullah mula-mula melakukan gerakan islamisasi kepada orang-orang jahiliah. Ketika Rasulullah diutus itulah beliau kemudian melakukan gerakan islamisasi pemikiran kepada manusia melalui dakwah yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Proses islamisasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada manusia saat itu agar mengubah keyakinan jahiliyah yang selama ini dianut. Dengan berbagai uslub (cara) Rasulullah secara terus menerus memberikan pencerahan ajaran Islam kepada umat yang tersesat saat itu. Kadang dengan menyeru, dialog, taklim, debat, keteladanan perilaku dan diskusi.
Ada banyak ayat dan hadist yang berkaitan dengan dakwah sebagai proses islamisasi. Diantaranya adalah :
             •     •       
“ Serulah manusia ke jalan Rabbmu (Allah) dengan jalan hikmah (hujjah) dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An Nahl : 125)

              •         •    

“ Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagaian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah dan sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”. (QS Ataubah : 71)

             
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang-orang yang menyeru kepada Allah (dakwah), mengerjakan amal shaleh dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang muslim. (QS Fushilat : 33)

Terkait rujukan hadist Rasulullah pernah bersabda,” Demi zat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kalian memiliki dua pilhan, yaitu) benar-benar memerintah berbuat ma’ruf (amar ma’ruf) dan melarang berbuat mungkar (nahi mungkar), ataukah Allah akan mendatangkan siksa dari sisinya yang akan menimpa kalian. Kemudian setelah itu kalian berdoa, maka doa itu tidak akan dikabulkan” (HR. Tirmidzi)
Proses internalisasi pemahaman ajaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah inilah yang kemudian menjadi cikal bakal proses islamisasi. Tujuan paling prinsip dari proses islamisasi yang dilakukan Rasulullah adalah untuk mengarahkan manusia kepada jalan Islam hingga mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Dengan makna yang lain islamisasi pada prinsipnya adalah gerakan untuk mengislamkan segala pemikiran, aqidah dan sistem hidup yang menyimpang.
Gerakan pencerahan dan perubahan pemikiran, perilaku, dan sistem hidup dari jahiliah yang sesat dan menyesatkan karena penuh kegelapan menuju cahaya Islam melalui dakwah bil lisan dan bil hal yang dilakukan Rasulullah inilah yang sesungguhnya menjadi cikal bakal (genealogi) gerakan Islamisasi. Faktanya banyak diantara orang-orang jahiliah yang sebelum datang Islam adalah orang-orang sesat dan jahat akhirnya menjadi manusia-manusia mulia dan penuh petunjuk.
Gerakan Islamisasi yang dilakukan Rasulullah inilah yang kelak menjadi faktor utama lahirnya para generasi terbaik sepanjang sejarah peradaban dunia. Abu Bakar Shidiq, Umat bin Khaththab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah sebagian kecil sahabat dan anak didik Rasulullah yang telah meletakkan pondasi bagi kegemilangan peradaban Islam di masa berikutnya. Pemikiran, pandangan hidup, dan aqidah mereka telah diislamkan oleh Rasulullah. Mereka dengan gemilang telah memahat sistem dan peradaban Islam sebagai pondasi kejayaan Islam yang mampu mendominasi dunia selama berabad-abad . Kejayaan Islam saat itu telah menjadi cahaya yang memancarkan energi positif bagi kebaikan dunia dengan berbagai karya keilmuwan para ulama cendikiawan atau ilmuwan muslim yang kemudian menjadi rujukan utama bagi kemajuan iptek di dunia Barat. Ini adalah fakta sejarah yang didasarkan oleh pengakuan para ilmuwan Barat sendiri bahwa Islam adalah penyumbang utama bagi kemajuan peradaban Barat.
Islamisasi dalam konteks kesejarahan Rasulullah didasarkan pada fakta sosial yang melanda kaum Arab yang dibelenggu oleh pandangan hidup jahiliah. Dengan demikian wajib bagi Rasulullah untuk melakukan gerakan Islamisasi (dakwah) untuk mengubah lingkungan yang penuh kegelapan menuju pancaran cahaya Islam. Sebab dakwah memang tugas utama kenabian.
Kini umat Islam yang secara konsepsi al Qur’an adalah umat terbaik, justru secara empirik tengah dalam kondisi terpuruk dari segala sisi hidupnya. Umat Islam tak lagi berada dalam kejayaan dan persatuan. Umat Islam kini terpecah-pecah dalam ragam perbedaan yang sangat fundamental. Pemikiran, aqidah, pandangan hidup dan sistem hidup umat Islam kini sama dengan zaman jahiliah. Inilah yang sering disebut dengan istilah jahiliah modern. Serangan para kafir Barat dengan berbagai cara telah dengan telak melumpuhkan umat Islam. Umat Islam yang dahulu gagah kini menjadi seorang pesakitan yang lumpuh. Umat Islam yang dulu memimpin peradaban, kini menjadi pembebek dungu yang mudah dibohongi dan diadu domba.
Menurut Taqiuddin An Nabhani, dunia Islam kini berada dalam kekacauan epistimologi dan kemunduran pemikiran juga masih terus merasakan pedihnya keterbelakangan dan berbagai gonjangan. Faktor penyebab utama kemunduran umat Islam kini adalah lemahnya pemahaman umat terhadap Islam yang amat parah, yang merasuk kedalam pikiran kaum muslimin secara tiba-tiba. Bahkan ilmuwan Barat Gregory Bateson mengatakan, ” Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan epistimologi Barat . mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masa mendatang”.
Islamisasi yang dilakukan Rasulullah saat itu, menurut Adian Husaini telah mengantarkan para sahabat nabi yang jahiliyah menjadi orang-orang berkualitas yang cinta ilmu pengetahuan dan akhlak. Sebelumnya mereka bukanlah bangsa yang diperhitungkan, namun berkat tradisi keilmuwan yanh di dasarkan oleh oleh ayat-ayat Al Qur’an, mereka menjadi para pemimpin dunia yang sangat disegani. Mereka menjelma menjadi para generasi pembelajar sejati yakni orang beriman sekaligus berilmu.
Dengan kata lain islamisasi sains yang dilakukan oleh Rasulullah telah melahirkan generasi yang senantiasa berfikir dan berzikir yang dalam istilah Al Qur’an disebut dengan istilah generasi Ulil Albab. Generasi Ulil Albab sebagai hasil dari proses pembelajaran memiliki beberapa ciri, diantaranya yang disampaikan oleh Prof. Didin Hafidhuddin dan Naquib al Atas. Dengan demikian genealogi atau sejarah Islamisasi Sains yang dilakukan oleh Rasulullah pada dasarnya adalah islamisasi epistimologi yang artinya perubahan landasan pemikiran dan cara pandang dari pemikiran jahiliah kepada landasan Al Qur’an. Dengan demikian Islam membedakan antara sains yang tidak bebas nilai dengan teknologi yang bebas nilai. Sebab dalam Al Qur’an dan Assunah bertebaran ayat-ayat yang mengajak umat untuk mencari ilmu dan ini menurut Mahdi Ghulsyani menjadi pembeda antara Islam dengan agama lain.

MAKNA ISLAMISASI SAINS
Berdasarkan perspektif genealogis diatas, maka menurut analisa penulis gerakan Islamisasi sains setidaknya memiliki sepuluh makna yang sekaligus menjadi landasan berpijak dalam proses islamisasi sekaligus menjadi filter bagi nalar para penolak islamisasi sains. Bagi para penolak islamisasi secara umum dilandaskan oleh pemahaman bahwa sains itu bebas nilai . Menurut penulis yang bebas nilai itu bukan sains melainkan teknologi sebagai hasil sains. Pandangan sains bebas nilai berakar dari pandangan Barat bukan dari Islam. Dengan demikian para pemikir muslim yang telah dirasuki pemikiran Barat telah mengalami kerancuan epitimologis. Kesepuluh makna Islamisasi sains yang dimaksud adalah :
Pertama, Porosisasi. Maksud dari makna ini adalah bahwa Islamisasi sains adalah sebuah upaya menjadikan Islam sebagai poros berfikir atau sebagai landasan epistimologi. Sebaliknya harus meninggalkan pemikiran Barat sebagai sebagai poros berfikir yang selama ini justru dilakukan oleh banyak ilmuwan muslim. Biasanya ini adalah dampak dari banyaknya sanjana muslim yang mengenyam pendidikan dari Barat. Akhirnya secara psikologis mereka butuh sebuah pengakuan eksistensi pada lingkungan yang ada, hal ini tentu berbeda dengan para sanjana alumni Timur Tengah. Faktanya banyak sarjana muslim yang bersatu dalam barisan Jaringan Islam Liberal (JIL) hampir semuanya adalah sarjana-sarjana muslim jebolan Barat. Dengan demikian makna Islamisasi sains adalah perubahan poros (sumber) pemikiran dengan menjadikan Islam dan Al Qur’an sebagai poros epistimologi. Cara pandang Islam (Islamic Worldview) mestinya menjadi landasan dalam memahami segala macam persoalan hidup, bukan sebaliknya pemikiran Barat yang menjadi acuan pemikiran. Banyak upaya kaum liberal untuk menjauhkan Islam dan Al Qur’an sebagai poros berfikir melalui berbagai pemikiran menyimpang yang berasal dari epistimologi Barat yang destruktif. Umat harus memiliki saringan ideologis untuk melacak pemikiran sesat sekaligus melakukan counter attack dan memberikan solusi yang benar. Dengan demikian Islamisasi sains menjadikan Islam atau al Qur’an sebagai pusat orbit. Semua aspek kehidupan berputar dalam orbit Al Qur’an, sebagaimana alam semesta berputar dalam satu orbit dengan penuh keteraturan. Isalmisasi dalam arti porosisasi juga mengandung arti seluruh kehidupan harus disesuaikan dengan Islam, bukan Islam disesuaikan dengan kehidupan dan perkembangan zaman.
Kedua, sterilisasi . Harus diakui pemikiran umat Islam kini telah banyak yang kerasukan virus-virus yang sangat berbahaya. Berbagai pemikiran Barat telah dengan masif diusung oleh para sarjana muslim dan disebarluaskan melalui kampus-kampus Islam seperti UIN di seluruh Indonesia. Akibatnya mahasiswa muslim yang notabene adalah para calon penegak panji-panji Islam justru berbalik arah menghujat dan menghina Islam. Lihatlah beberapa kasus pelecehan Al Qur’an yang dilakukan oleh seorang dosen di UIN Bandung, hingga mahasiswanya menulis spanduk, ”selamat datang di kampus bebas Tuhan”. Banyak motif yang menjadikan mereka kerasukan virus pemikiran, dari yang tidak sadar, sekedar mencari sesuap nasi hingga sengaja menjadi agen orang-orang kafir untuk merusak Islam. Memang ironis, para pemikir muslim yang mestinya mengusung kebangkitan Islam, justru mereka malah berusaha meruntuhkan Islam melalui kampus-kampus Islam. Karenanya tugas berat para pemikir dan akademisi muslim untuk mewujudkan kembali kampus-kampus yang islami. Mesti ada gerakan islamisasi kampus bagi kampus yang ada dan atau mendirikan kampus islami yang baru. Dalam sejarah kampus-kampus Islam pernah lahir pada zaman keemasan Islam . Setiap perjuangan membangun kebaikan akan selalu diiringi oleh orang-orang yang siap meruntuhkannya. Dan ini terjadi sejak zaman Rasulullah. Abdullah bin Ubay adalah salah satunya. Begitupun para Nabi dan Rasul yang lain, selalu dikelilingi oleh orang-orang yang merusak. Jika islamisasi Rasulullah berusaha mensterilkan pemikiran jahiliayh, maka hari ini islamisasi adalah upaya sterilisasi pemikiran umat dari bahaya pemikiran sekulerisme, liberalisme, pluralisme , demokrasi, kapitalisme, sosialisme, feminisme, nasionalisme, filsafat, gender, dan lain-lain. Semua pemikiran ini adalah sesat dan menyesatkan dan haram hukumnya umat mengadopsinya. Karenanya mesti ada upaya yang serius untuk membersihkan umat dari racun-racun pemikiran yang akan medekontruksi Islam ini. Umat harus disadarkan bahwa kita sedang berperang pemikiran (Ghozwul Fikr), karenanya harus menyiapkan senjata untuk memenangkannya.
Ketiga, rekonstruksi. Umat Islam yang telah kerasukan pemikiran sesat ibarat rumah telah rubuh tiang-tiangnya. Karenanya harus dibangun ulang. Mesti ada upaya rekontruksi pemikiran umat jika tidak ingin islam ini akan musnah. Para pemikir muslim melalui kampus-kampus dan dakwah di masyarakat harus secara masif melakukan diagnosa sedah sejauh mana kerusakan pemikiran yang dialami oleh umat. Selanjutnya mesti dibangun ulang dengan pemikiran Islam yang benar. Rekontruksi setidaknya harus melalui empat langkah strategis yakni unfreezing, refreezing, moving dan comitment. Langkah unfreezing pemikiran sesat yang telah membeku tidaklah mudah, bahkan Rasulullah menemui banyak tantangan dan permusuhan kaum Quraisy kafir. Rasulullah harus mendapatkan ancaman pembunuhan. Usaha ini juga membutuhkan waktu dan konsentrasi tinggi, serta pengorbanan yang tidak sedikit. Namun berkat kesungguhan Rasulullah, unfreezing ini berhasil secara revolusioner. Hendaknya kita mampu meneladaninya. Setidaknya ada empat aspek yang harus direkontruksi dari apa yang melanda umat kini. Pertama, Rekontruksi paradigmatik mengacu kepada pelurusan ulang serta pembersihan ulang keilmuwan Islam dari virus-virus liberalisme sekuler dengan melakukan islamisasi sains. . dengan demikian hakekat islamisasi sains adalah islamisasi paradigma. Kedua, Rekontruksi politis mengacu kepada perjuangan politik agar Islam bisa diterapkan secara sistemik oleh negara, sebagaimana telah dilakukan Rasulullah melalui penegakan daulah Islamiyah dan yang telah diperjuangkan oleh generasi Natsir dkk. Ketiga, Rekontruksi metodologis mengacu kepada pembersihan metodologi penggalian dan pengajaran ilmu dari pengaruh metodologi Barat yang destruktif, seperti metodologi hermeneutik . Keempat, rekontruksi psikologis, mengacu kepada membangun ulang kepercayaan diri umat Islam sebagai umat terbaik dan melepaskan euforia mereka terhadap bangsa Barat kafir yang justru telah menyesatkannya.
Keempat, pembaruan (tajdid). Meminjam istilah Wan Mohd Nor Wan Daud tajdid ini bisa disebut juga dengan istilah konseptualisasi yang mengacu pada upaya pemurnian (refinement). Pemurnian pada hakekatnya adalah reorientasi kepada ajaran asal dari pengadopsian pemikiran Barat. Kembali kepada ajaran asal bukan berarti harus berbentuk seperti kehidupan terdahulu pada zaman Nabi , melainkan harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Tajdid atau ishlah didefinisikan oleh Al Attas memiliki implikasi membebaskan. Artinya membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis, dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam, pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran yang sekuler terhadap pikiran dan bahasanya , atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil dalam fitrah atau hakekat kemanusiaan yang benar. Pembaruan disini bukan dimaknai sebagaimana kaum liberal memaknai, bahwa ajaran Islam telah usang dan perlu diperbarui agar sesuai dengan perkembangan zaman. Pembaruan dalam Islam bukan menolak dan atau menghapuskann pendapat lama atau konsep asalnya, melainkan merupakan rekonseptualisasi yang kreatif berdasarkan akumulasi pemikiran lama yang dijalin dalam ikatan tradisi otoritas. Pembaruan dalam arti islamisasi dengan demikian adalah membuang pemikiran sesat yang merasuki umat untuk diganti dengan pemikiran Islam yang benar. John L Esposito menganalisa pembaharuan Islam sebagai upaya islamisasi secara lebih luas.
Kelima, ideologisasi. Islam adalah sebuah ideologi dan peradaban. Islam adalah agama yang memancarkan aturan hidup di dunia dalam segala aspeknya untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Islam bukanlah semata-mata agama ritual sebagaimana kristen, budha, dan hindu. Islam adalah agama wahyu, bukan agama sejarah (historical religion) sebagaimana kristen, budha, dan hindu. Agama lain tidak pernah memiliki aturan yang permanen tentang bagaimana mengatur aspek-aspek hidup seperti ekonomi, pendidikan, budaya, politik, pergaulan, ibadah. Aturan ini hanya ada pada Islam. Inilah yang kemudian Islam disebut sebagai sebuah ideologi. Bukan sekedar ritual melainkan juga peradaban. Untuk itu Islam mestinya dijadikan sebagai pandangan hidup dan jalan hidup bagi umat baik dalam pola fikir dan pola sikap. Islam harus dijadikan sebagai acuan mengatur individu maupun sosial, keluarga maupun negara. Islam bukan sekedar agama individu melainkan untuk kesejahteraan manusia dan alam semesta (rahmatan lil alamin). Ideologisasi sebagai makna dari islamisasi adalah upaya mengembalikan umat Islam agar memiliki cara pandang Islam terhadap segala aspek hidupnya dan menggunakan Islam sebagai solusi atas seluruh permasalahan hidupnya dan membuang jauh-jauh cara pandang Barat yang sekuler dari pola fikir dan pola sikapnya. Dengan demikian perjuangan idologis mengharuskan umat untuk menempuh jalur politis sebagai upaya untuk mewujudkan negara Islam. Sebab bagaimana mungkin seluruh aspek kehidupan yang islami akan terwujud jika tidak ditopang oleh negara. Dan inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasulullah selain berdakwah secara kultural juga secara struktural, tanpa harus larut dalam sistem jahiliah. Itulah kenapa Rasulullah menolak untuk dijadikan sebagai pemimpin oleh orang kafir dengan syarat mau menghentikan dakwah, hingga beliau berhasil menegakkan negara madinah berdasarkan ajaran Islam dan Rasulullah sendiri yang langsung jadi pemimpin negaranya. Kepemimpinan umat inilah yang kemudian diwarisi oleh para sahabat dan khalifah. Sebab mereka sadar betul betapa penting dan fundamentalnya kepemimpinan Islam bagi eksistensi, dan kemajuan Islam bahkan sebagai pemersatu umat. Sayang pewarisan itu tak lagi terwujud semenjak 83 tahun yang lalu. Kini umat telah bercerai berai dan tak lagi punya jati diri apalagi hegemoni. Reideologi islam, dengan demikian adalah sebuah keniscayaan dan bersifat permanen. Ideologisasi ini bisa juga diberi makna dengan fundamentalisasi dan primordialisasi.
Keenam, dewesternisasi. Gerakan ini bisa dimaknai sebagai proses pelelehan (unfreezing) virus-virus pemikiran Barat yang destruktif yang telah lama mengakar dan mendarahdaging dalam pikiran umat Islam. Pemikiran Islam telah lama tercerabut dari umat dan telah bersemanyam pemikiran Barat. Dewesternisasi ini harus bersifat fundamental dan revolusioner, sebab epistimologi Barat jelas bertentangan secara diametral dengan Islam. Dewesternisasi harus bersifat totalitas, bukan parsial. Sebab Islam itu bersifat sistemik, diantara aspek saling terkait satu dengan yang lainnya. Dewesternisasi pada prinsipnya juga merupakan gerakan dan kesadaran demodernisasi. Sebab modernisme, neomodernisme dan postmodernisme telah menyumbang untuk kehancuran keilmuwan dan peradaban Islam.
Ketujuh, kebangkitan (an nahdhah). Menurut Hafidz Shalih, umat Islam sering salah paham atau pahamnya salah terhadap kata kebangkitan Islam. Buktinya seringkali secara otomatis tergambar dalam benak kita bahwa kebangkitan adalah kemajuan dalam bidang keilmuwan, makin meningkatnya produksi, pesatnya perkembangan industri, canggihnya teknologi, dan banyaknya penciptaan alat-alat yang mempermudah kehidupan. Hal ini terjadi karena adanya pemahaman bahwa kebangkitan adalah kemajuan. Dengan demikian negara yang maju ekonominya atau pendidikannya dianggap negara yang bangkit. Kebangkitan Islam pada dasarnya adalah kebangkitan pemikiran bukan yang bersifat bendawi. Kemajuan bendawi hanyalah salah satu dampak dari kebangkitan. Dengan demikian kebangkitan umat Islam akan terwujud ketika pemikiran umat islam telah tercerahkan oleh pemikiran yang cemerlang (mustanir) yang dilandaskan oleh Al Qur’an. Pemikiran yang telah tercerahkan (mustanir) adalah pemikiran yang paling tinggi ( dibanding pemikiran dangkal dan mendalam) yang mampu mengantarkan pada kebangkitan Islam. Kajian filsafat yang bersentuhan dengan realita hanya sampai pada pemikiran yang mendalam karena dilandaskan kepada akal semata, sedangkan pemikiran cemerlang hingga menemukan siapa pencipta dibalik realita. Analisa Samuel Hintington menyimpulkan bahwa kebangkitan Islam dalam makna yang paling dalam dan paling luas , merupakan fase akhir dari hubungan antara Islam dengan Barat; sebuah upaya untuk menemukan ”jalan keluar” yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi Barat, tapi di dalam Islam. Ia merupakan perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan rekomitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern. Islam bukan sekedar agama melainkan juga way of life. Kebangkitan Islam merupakan pengejawantahan usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam untuk mencapai tujuan ini. Ia adalah sebuah gerakan intelektual, kultural, sosial dan politis yang menyebar di seluruh dunia Islam. Fundamentalisme islam biasanya hanya dikaitkan dengan gerakan politik Islam, padahal itu hanya merupakan salah satu komponen kebangkitan Islam yang lebih luas. Kebangkitan tersebut mencakup ide-ide, praktek-praktek, retorika, dan pengembalian ajaran Islam pada sumber-sumber asasinya : al Qur’an dan as Sunnah yang dilakukan oleh umat Islam. Dengan demikian kebangkitan ini berkonsekuensi mempengaruhi setiap umat Islam di berbagai negara dan terhadap semua aspek kehidupan, sekalipun awalnya bisa jadi melalui islamisasi sains.

DAMPAK BURUK EPISTEMOLOGI BARAT
Sains modern sebagai konsekuensi hegemoni epistimologi Barat terbukti bersifat destruktif. Berbagai kerusakan di bumi dan di laut diakibatkan oleh pola fikir dan pola sikap mereka yang hanya mendasarkan perilakunya untuk kepentingan nafsu keserakahan mereka tanpa peduli terhadap dampak buruk bagi kemanusiaan.
Haidar Bagir mencatat setidaknya ada dua dampak epistimologi Barat yakni dampak yang bersifat fisis dan nonfisis. Dampak fisis merujuk pada kerusakan lingkungan dikarenakan terlalu banyaknya campur tangan manusia sekuler di dalamnya. Akibatnya alam berada kondisi yang sangat labil, pemanasan global semakin mengancam, lapisan ozon semakin menipis yang mengakibatkan timbulnya penyakit minamata di Jepang, kemungkinan terjadinya perang nuklir. Ramalan club of Rome lebih mengerikan lagi : jika kecenderungan yang ada kini berlangsung terus maka satu abad lagi manusia akan mengalami kehancuran, karena batas daya bumi akan terlampaui akibat pertumbuhan maksimum yang akan dicapai dalam satu abad ini. Pertumbuhan ini diakibatkan oleh industrialisasi, polusi, penggunaan sumberdaya alam tak terbarui, produksi pangan, dan jumlah penduduk.
Munculnya rekayasa genetika juga merupakan akibat dari sains modern yang kebablasan. Dampak lain adalah dampak psikologis yang ditandai dengan meningkatnya statistik penderita depresi, kekelisahan, psikosis, dan sebagainya. Sebagaimana pada abad ke 17, terjadinya distabilisasi dan keterpecahan ketika paradigma keagamaan digugat yang mengakibatkan meningkatnya pelaku bunuh diri. Keseluruhan krisi diatas menurut Ziauddin Sardar diakibatkan oleh kesalahan paradigma sains Barat beserta penerapannya.
Dampak lain dari sains modern yang bersifat nonfisis adalah munculnya penyimpangan pola fikir dan pola sikap manusia. Ini tampak pada dominasi rasionalisme dan empirisme sebagai pilar utama saintific method dalam penilaian atas realitas-realitas. Baik realitas sosial, individual dan bahkan keagamaan. Dampak ini, meminjam istilah Herman Kahn disebut dengan budaya inderawi yakni yang bersifat empiris, duniawi, sekuler, humanistik, pragmatis, utilitarian, dan hedonistik. Haidar Bagir memberi istilah fenomena dampak nonfisis ini dengan imperialisme epistimologis.
Descartes misalnya, melihat bahwa semua makhluk material adalah semacam mesin yang diatur oleh hukum-hukum mekanis yang sama; tubuh manusia terdiri dari materi yang tak lebih dari pada hewan dan tumbuhan. Selain dunia mekanis ini, ada lagi yang disebutnya dunia spiritual. Keduanya terpisah sama sekali, bahkan semua fenomena material, menurutnya, memiliki basis material saja. Inilah awal sekulerisme.

KARAKTERISTIK ISLAMISASI SAINS
Islam adalah agama dan peradaban. Islam bukanlah agama ritual semata. Islam adalah ideologi yang menjadi jalan hidup (way of life) yang memancarkan aturan dan system yang sempurna dalam segala aspek kehidupan. Peradaban Islam yang dibangun melalui islamisasi sains sejak zaman Rasulullah merupakan peradaban baru yang menggantikan perubahan peradaban jahiliah. Peradaban tidaklah bersifat linear sebagaimana di ungkapkan oleh Samuel P Huntington.
Paradaban mengalami pergantian dari satu peradaban dengan peradaban yang lain secara mendasar. Sebabnya karena pondasi dari peradaban dunia adalah ideologi. Itulah sebabnya setiap ideologi pasti akan terjadi benturan-benturan. Dua peradaban tidak mungkin terjadi asimilasi, sebab peradaban bersifat khas dan mendasar bukan bersifat asimilatif. Dengan demikian, Islam dan Barat adalah dua peradaban yang tidak mungkin disatukan dan dilakukan rekonsiliasi sebagaimana sering diucapkan oleh para penganjur liberal. Islam dan Barat selalu dianjurkan untuk dikompromikan. Padahal mereka sesungguhnya sedang menjadikan peradaban Barat sebagai cara untuk mendekonstruksi pemikiran dan ideologi Islam.
Dalam sejarah dakwah, Rasulullah tidak pernah melakukan keputusan kompromistik terhadap sistem jahiliah. Rasulullah justru melakukan apa yang disebut dengan pergolakan pemikiran (siraul fikr) dengan cara memberikan penyadaran yang fundamental kepada setiap individu agar mengadopsi pemikiran dan sistem Islam. Rasulullah juga melakukan manufer-manufer politik (kifahu as siyasi) dengan cara membongkar kebobrokan sistem dan pemikiran jahiliah dan memberikan alternatif penggantinya yakni pemikiran dan sistem Islam. Inilah yang menjadi cikal bakal ghozwul fikr.
Dalam sejarah, Rasulullah tidak pernah melakukan kompromi pemikiran maupun politik dengan orang-orang kafir jahiliah. Bahkan Rasulullah dengan tegas menolak upaya rekonsiliasi dengan iming-iming mendapat kekuasaan, harta dan wanita. Rasulullah menjawab dengan sumpahnya yang terkenal : seandainyapun kalian mampu meletakkan matahari ditangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku berhenti berdakwah, maka aku tidak akan pernah menghentikan dakwah ini hingga kemenangan tercapai atau aku binasa karenanya.
Didasarkan oleh kerangka pemikiran diatas maka dengan demikian islamisasi sains tentu memiliki karakteristik yang khas. Diantara karakteristik islamisasi sains yang dimaksud adalah :
Fundamental. Islamisasi sains harus berangkat dari akarnya yang paling mendasar (radikal). Sebab pemikiran Islam adalah pemikiran yang murni berasal dari Allah SWT yang tercantum dalam al Qur’an dan telah disimulasikan oleh Rasulullah hingga tegaknya peradaban Islam. Islam memiliki epistimologi tersendiri yang berbeda dengan agama apapun di dunia. Islamisasi sains harus merujuk pada akar pemikiran Islam dan menjauhi seluruh pemikiran yang berasal dari Barat. Pemikiran Barat dibangun diatas akal dan nafsu sedangkan pemikiran Islam dibangun diatas wahyu. Jelas merupakan dua hal yang berbeda sama sekali dan tak mungkin disatukan. Disinilah cara pandang Islam (Islamic Worldview) menjadi langkah awal yang harus ditempuh dalam upaya islamisasi sains dan peradaban. Dalam perspektif ini istilah Islam radikal dan fundamentalis bukanlah sebuah masalah. Sebab islam memang sebuah ideologi yang memiliki dasar dan pondasi berfikir yang khas, dan berbeda dengan ideologi yang lain. Hanya saja kedua istilah ini distigmatisasi oleh Barat untuk menjatuhkan Islam. Sayangnya umat Islam tidak memiliki pemahaman yang proporsional. Akibatnya umat Islam terpancing dan mengadopsinya. Umat Islam yang awam bahkan mempercayai bahwa Islam fundamentalis berarti teroris. Bahkan mendagri India Shri P Chidamram mengatakan bahwa jihad adalah terorisme (Republika, 5/1/2010). Padahal semua istilah-istilah itu sengaja diciptakan untuk menjebak kaum muslimin dan untuk memuluskan kampanye mereka tentang paham pluralisme, HAM, Demokrasi, Nasionalisme, Islam moderat dan sejenisnya.
Revolusioner. Islamisasi sains yang artinya adalah Islamisasi epistimologi yang bersifat paradigmatik adalah perubahan yang bersifat total dan mendasar. Sebab epitimologi Barat jelas bertentangan seratus persen dengan Islam dan menimbulkan kerusakan (destruktif). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh ilmuwan Barat Gregory Bateson , ” Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan epistimologi Barat . mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masa mendatang”. Adapun epistimologi Islam adalah konsepsi paradigmatik yang berasal dari Tuhan Yang Maha Benar, Allah SWT melalui lisan Rasulnya yang maksum Muhammad SAW yang diutus untuk rahmat bagi alam semesta. Revolusioner juga merujuk pada perubahan paradigma baru dengan membuang sama sekali paradigma lama sampai akar-akarnya. Rasulullah terbukti membuang semua paradigma jahiliah dan menggantikan dengan paradigma Islam.
Sistemik. Pengelolaan yang salah terhadap sumber daya alam, penyalahgunaan alat-alat teknologi dan berbagai sikap yang destruktif sesungguhnya bersumber dari epistimologi yang salah. Inilah yang terjadi di dunia Barat. Begitupan yang terjadi pada orang-orang jahiliah. Kerusakan kehidupan pada saat itu karena kerusakan pola fikir mereka dalam memandang realitas hidup. Perubahan epistimologi jahiliah oleh Rasulullah berdampak sistemik berupa terbangunnya sebuah peradaban mulia yang diakui oleh dunia. Dengan demikian epistimologi yang benar akan berdampak sistemik terhadap aspek-aspek kehidupan yang lain. Islamisasi sains dengan demikian, jika diterapkan akan berdampak sistemik terhadap semua aspek kehidupan manusia. Dampak sistemik yang konstruktif inilah yang disebut dengan istilah rahmatan lil’alamin. Islamisasi sains dengan demikian akan berdampak pada terbangunnya kembali peradaban Islam yang kini telah hilang tak tersisa. Kembalinya peradaban Islam tentu akan menggetarkan dan menghawatirkan orang-orang Barat kafir. Mereka tidak akan pernah berhenti untuk menghambat kemajuan Islam sampai kapanpun. Islamisasi sains, dengan demikian tidak akan pernah sepi dari tantangan dan hambatan yang datang dari Barat dan gerombolan Islam liberal.
Integralistik. Islam adalah sebuah sistem yang bersifat integralistik dan tidak bersifat dikotomostik. Islamisasi sains dengan demikian juga harus mengacu pada integrasi ilmu pengetahuan. Sebab al Qur’an dengan jelas membicarakan tentang ilmu duniawi dan juga ilmu akherat secara bersamaan. Meminjam istilah Al Ghazali dengan ilmu agama dan nonagama. Sebab penguasaan ilmu ini hakekatnya bertujuan untuk kebahagiaan dunia akherat. Karenanya menurut Syed M Naquib Al Attas faktor utama penyebab kemunduran umat Islam adalah lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga tidak lagi bisa dibedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Al Faruqi dalam konsepsinya tentang Islamisasi sains istilah integralistik ini merujuk pada format ulang terhadap seluruh disiplin ilmu dengan cara menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologi, strategi, data, masalah, obyek serta setiap inspirasinya, agar sesuai dengan Islam dalam kerangkan membentuk tauhid.

KESIMPULAN
Merujuk pada kajian dan analisa diatas menunjukkan bahwa Islamisasi sains dan kampus sesungguhnya merupakan perubahan paradigmatik yang berdampak sistemik. Keduanya (baca : islamisasi sains dan kampus) didasarkan oleh proses pelurusan dan pemurnian epistimologis yang notabene telah terpenetrasi oleh paradigma Barat yang menyimpang. Karenanya makna islamisasi kampus merujuk pada manajemen pengelolaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hal-hal yang bersifat fisik bangunan dan hasil-hasil teknologi bersifat netral dan merupakan dampak dari islamisasi manajemen tersebut.
Gerakan islamisasi ini bahkan bisa ditelusuri secara genealogis semenjak Rasulullah diangkat sebagai Rasul dan bertugas untuk mendakwahkan Islam untuk mengganti ideologi dan paradigma jahiliah yang destruktif. Sains (ilmu pengetahuan) tidaklah bersifat netral dan bebas nilai sebagaimana diklaim oleh orang Barat dan orang liberal. Islamisasi sains menjadi sebuah keharusan karena didasarkan oleh fakta kemunduran umat Islam yang dulu telah mengalami kejayaan peradaban. Nalar para penolak Islamisasi sains hanya didasarkan oleh pemahaman bahwa sains adalah bebas nilai adapau penyimpanganya karena faktor manusia. Selain mindset mereka dibangun dari epistimologi Barat, mereka juga tidak pernah mendasarkan pemikirannya pada upaya kebangkitan Islam dari fakta keterpurukan hari ini. Wajar jika mereka menolak islamisasi sains.
Dengan demikian Islamisasi sains dan kampus adalah sebuah keharusan dan kewajiban seluruh kaum muslim dengan menjadikan Islam sebagai poros berfikir (islamic thinking) dan pandangan hidup (islamic worldview) sekaligus menjadikan Islam sebagai ideologi yang memancarkan sistem dan aturan hidup (ideologi) menuju kebahagiaan dan kesejahteraan bagi alam semesta, dunia dan akherat.