Senin, 24 Mei 2010

disorientasi akut

Disorientasi Akut

Oleh : Ahmad Sastra

Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).
(QS. Al-An’am : 62-63)

Mengamati setiap peristiwa politik dan kepemimpinan di negeri ini nampaknya tengah terjadi sebuah malapetaka. Para elit politik yang mestinya mengemban amanah untuk menjaga dan mensejahterakan rakyat, justru tengah terjerumus pada kesalahan niat. Mereka tengah mengalami disorientasi akut.
Dari sisi filosofi kepemimpinan sebagai amanah rakyat telah mereka selewengkan menjadi ajang untuk kepuasan kepentingan dirinya sendiri atau kelompoknya. Ketika seorang menteri dari partai tertentu, maka yang dia pikirkan hanya bagaimana memanfaatkan anggaran untuk kepentingan proyek pribadi atau para sahabat di partainya saja. Padahal dipundak seorang menteri ada amanah semua rakyat tanpa kecuali.
Bandingkan dengan keteladanan seorang Umar bin Abdul Aziz dalam mengamban amanah. Suatu malam ketika beliau sedang menyendiri memikirkan dan mencari solusi permasalahan rakyatnya, datanglah anaknya yang ingin berbicara. Spontan Umar bin Abdul Aziz menanyakan apakah mau berbicara tentang urusan rakyat atau urusan pribadi. Ketika dijawab untuk urusan pribadi, maka Umar bin Abdul Aziz segera mematikan lampu di ruangan itu dengan alasan lampu itu diperuntukkan untuk urusan umat bukan pribadi. Sebab fasilitas yang dia dapatkan adalah berasal dari uang rakyat.
Kepemimpinan menurut Rasulullah adalah pelayan bagi rakyatnya. Namun faktanya yang terjadi kini adalah sebaliknya. Para pemimpin dengan sikap pongah justru menempatkan diri sebagai raja yang harus dilayani. Dalam mobil mewahnya mereka menutup kaca jendela agar tidak terganggu di tengah jalan oleh rakyatnya yang jadi pengemis. Kepekaan jiwanya sebagai pelayan rakyat hilang bersama kemewahan fasilitas dan kekuasaan. Alih-alih menyantuni si miskin, belum genap sebulan menjabat menteri, mereka telah menuntut kenaikan gaji.
Ketika Adi bin Hatim berjalan bersama Rasulullah menuju rumah. Di tengah jalan berpapasan dengan seorang wanita lemah dan tua. Wanita itu berkata, ” Wahai Rasulullah aku ingin berbincang denganmu.”. Saat itu juga Rasulullah berhenti dan berdiri sangat lama untuk mendengarkan secara seksama dan penuh simpati apa yang dikatakan wanita tersebut. Hingga terucap kata dari mulut Adi bin Hatim, ” Demi Allah ini pasti bukan seorang raja”.
Kondisi ini sesungguhnya diawali oleh proses yang salah sejak awal. Diawali oleh niat yang salah ketika ingin menjadi menteri atau ketika mencalonkan menjadi anggota dewan. Niat yang salah berimplikasi kepada cara yang salah. Karena niatnya untuk menggapai kekuasaan dan materi semata, maka lantas dia menghalalkan segala cara : dari money politik hingga perdukunan. Sayangnya sistem perundang-undangan tidak terlalu detail mengatur hal ini.
Dengan demikian setidaknya ada dua penyakit akut yang diderita oleh negeri ini : SDM yang disorientasi dan sistem yang carut marut. Dari sinilah awal bencana politik dan kekuasaan berakar. Hasilnya kekuasaan yang serakah, korup, mati rasa, zalim dan kebohongan. Dari sinilah kemudian melahirkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang kini semakin menjerat jutaan warga Indonesia.
Mestinya semua pemimpin sadar bahwa keuasaan itu bersifat nisbi dan singkat, namun pertanggungjawabanya sangat berat dihadapan Allah kelak. Mestinya sesuatu yang nisbi dan singkat ini dijadikan sebagai cara untuk beramal sholeh dan menggapai kemuliaan diri. Sebab sejatinya semua dunia dan isinya adalah milik Allah yang tidak ada harganya dibandingkan kenikmatan syurga yang abadi. Wallahua’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar